Senin 14 Oct 2019 06:14 WIB

Jejak Cinta Asmarandana

kutemukan jejak kehangatan cinta dan kasih ada pada dirinya.

Jejak Cinta Asmarandana
Foto:

5 April 2018, hari ini adalah Ching Ming Festival. Sesuai kepercayaan masyarakat Cina tradisional, Ching Ming identik dengan upacara memperingati keluarga dan leluhur yang sudah meninggal dengan melakukan ziarah kubur, membersihkan makam, mengantar sesajen, dan berdoa. Hari ini warga Hong Kong tumpah ruah di permakaman.

Ini pertama kalinya aku pergi ke permakaman. Nyonya Chow telah membantu segala persiapan dari uang kertas yang akan dibakar, makanan dan buah sesajen, juga dupa, serta mengingatkan agar membawa ku rsi roda sebagai persiapan jika Bobo kelelahan di perjalanan karena lokasi permakaman berada di perbukitan dan harus berjalan lumayan agak panjang dan menanjak.

Dengan menggunakan taksi umum, kami bertiga berangkat menuju permakaman yang berada di Diamond Hill. Nyonya Chow mengatakan, selain berkirim doa ke makam Tuan A Man, juga ke makam suami Bobo yang sudah meninggal lama.

Kami tiba di tempat makam Tuan A Man. Kubantu Nyonya Chow membersihkan, mengelap batu nisan yang tampak berdebu.

"Maafkan kami Koko*, kita tidak bisa menguburkanmu secara layak karena keterbatasan harta, sehingga kamu harus dikremasi. Walaupun itu tidak sesuai dengan kepercayaan yang kita anut. Semoga engkau tenang dan berbahagia di sana, bersama anak dan istrimu yang telah mendahuluimu." Ratap Nyonya Chow.

"Seandainya peristiwa itu tidak terjadi, pasti kamu tidak disini dan hidupmu ba hagia bersama anak dan istrimu. Kasihan ibu mu, sangat kesepian setelah kepergianmu."

"Kamu tahu tidak Ati a, Tuan A Man ini jika putrinya masih hidup pasti seusia denganmu. Berapa usiamu?"

"Hampir dua puluh tiga tahun, Nyonya," Nyonya Chow kembali mengangguk seolah merasa terkaannya benar. "Tuan A Man dan Bobo dulu pernah tinggal di Indonesia. Di kota emm.... Ah, aku lupa di mana te patnya. Tuan adalah seorang pengusaha."

Aku terperangah, "Benarkah?" Nyonya Chow belum pernah bercerita di bagian ini.

"Peristiwa yang menyedihkan, rumahnya dibakar habis. Dia tidak bisa menolong anak dan istrinya yang ikut menjadi korban kebakaran. Tragis sekali, mereka mati terbunuh. Tahun itu yat kau kau pak*, dua puluh tahun yang lalu, pernahkah kamu mendengar sejarah itu?" Tanya Nyonya Chow.

Aku mengangguk antara shockdan kebingungan. Jantungku tiba-tiba berdetak hebat, keringat dingin menyergap sekujur tubuhku, tak mampu berkata-kata, itu mirip kisah Bibi Mar. Jangan-jangan... "Yima*, mari kita berdoa untuk Koko A Man," kata Nyonya Chow mengalihkan percakapan sambil mengeluarkan segepok dupa dan membakarnya, lalu mengulurkan sebagian kepada Bobo.

"Baiklah, berdoa untuk siapa?" Bobo kembali bertanya.

"Untuk A Man, putramu,"

"A Man, di mana dia sekarang? Tolong telepon dia untuk segera menjemput, di sini banyak orang. Aku takut." Nadanya mulai gelisah dan panik.

"Jangan takut, ada saya. Bobo berdoa dulu, ya?" ujarku masih dengan hati tak menentu, seraya mengarahkan posisi Bobo berjajar dengan Nyonya Chow.

Sementara aku membelakangi punggung mereka berdua, hanya bisa menatap batu nisan Tuan A Man dengan perasaan campur aduk, menatap kembali fotonya dalam-dalam. Mencoba mengeja garis wajahnya, mata oriental, hidung lancip, bibir, dan rahangnya.

Namun, semakin kupandang, yang kurasakan pandanganku semakin kelu, mengabur, dan airmata tak mampu kubendung, meski telah berusaha menahan diri untuk tidak menangis. Hanya menatap dalam diam, berdoa jika benar dia adalah jawaban jejak pencarianku selama ini.

Dengan hati-hati dan tak sabar kubuka daun pintu kamar warna putih. Kamar Tuan A Man, yang berseberangan dengan kamar Bobo sekaligus kamarku. Selama ini aku hanya masuk untuk membersihkannya, TA kali ini aku memasukinya dengan ber juta kemelut untuk membuka misteri tentangnya.

Kubuka lemari baju miliknya, beberapa helai pakaian masih tergantung rapi di da lamnya, selebihnya adalah tumpukan selimut, handuk, mungkin milik Bobo. Kemu di an, kubuka satu per satu laci di dalamnya, tidak kutemukan. Beberapa album foto tua tak luput dari koreksiku. Kubuka satu per satu di halamannya. Masa muda Tuan A Man beserta Bobo suami ketika berada di Indonesia. Memang benar mereka pernah tinggal di Indonesia.

Sebuah dompet tua kutemukan, membukanya perlahan dan membuatku nyaris menjerit. Kubungkam rapat bibirku, tangisku pecah melihat foto itu. Foto yang sama persis dengan yang tergantung di dinding ruang tamu rumah Simbah, ibuku sedang menggendong diriku. Namun, di foto ini selain aku dan ibuku, ada Tuan A Man berdiri di samping ibuku.

"Ayah...," bibirku gemetar, dadaku penuh sesak dan tangisku pecah menyebut namanya. Akhirnya kutemukan jejaknya meski hanya gambaran wajah terbingkai dalam foto, meski tak sempat mendengar suaranya, tak sempat berbicara dengannya, karena dia telah damai bersama ibu dan Simbah di alam yang berbeda. Namun, rasa lega seperti sudah mendapatkannya kembali.

"Atia, kamu di mana?"

"Saya di sini, Bobo." Jawabku, buru-buru berbenah dan mengusap air mata dan mendatangi arah suara di kamar.

"Kamu jangan pergi, aku takut sendiri."

"Tidak Bobo, tidak akan. Aku akan menjaga dan merawatmu selalu. Aku akan menyanyi untukmu setiap hari. " Kataku sambil memeluknya erat dan hangat. Dia membalasnya dengan mengusap rambutku, Kwaila, kutemukan jejak kehangatan cinta dan kasih ada pada dirinya.

Ahla Jennan Lohas Park, 30 Mei 2018

TENTANG PENULIS: AHLA JENNAN adalah seorang pekerja migran Indonesia (PMI) di Hong Kong. Ia aktif dalam kegiatan tulis-menulis. Sejumlah karyanya diterbitkan dalam buku antologi cerpen. Cerpen "Jejak Cinta Asmaradana" merupakan pemenang Guratan Pena VOI Sastra Award 2019.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement