Rabu 02 Oct 2019 16:52 WIB

Air Mata Jingga

Kota ini memang terlalu kejam buat yang melarat.

Air Mata Jingga
Foto: Rendra Purnama/Republika
Air Mata Jingga

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azwim Zulliandri

Langit sudah jingga. Kepakan bangau disertai kicauannya terdengar sayup-sayup di telinga. Perahu-perahu pencari ikan telah tertambat. Wajah-wajah lelah nelayan seolah sirna dengan hasil tangkapan yang lumayan banyak. Ditambah lagi kedatangan mereka disambut dengan senyum manis keluarganya, yang sedari tadi menunggu kehadirannya di tepian pantai. Rasa lelah seharian berlayar di tengah laut sirna sudah.

Para nelayan bergegas pulang ke rumahnya. Sebentar lagi kumandang azan magrib akan terdengar. Hasil tangkapan tadi segera dibawa ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI)untuk dijual. Lumayan, hasil tangkapan hari ini bisa untuk mencukupi kebutuhan satu minggu ke depan. Namun demikian, bukan berarti para nelayan tidak melaut esoknya. Mereka tetap melaut sampai suatu saat kondisi alam tidak memungkinkan mereka melaut.

Begitulah kehidupan Fais dan para nelayan lainnya di Kampung Pinggir wilayah pesisir. Sehari-hari Fais dan nelayan lain nya menghabiskan waktu di tengah laut. Sebenarnya, menjadi nelayan bukanlah kehendak ha ti Fais. Sedari kecil ia bercita-cita untuk menjadi Tentara Nasional Indo nesia Ang katan Laut (TNI AL). Namun, apa daya ia terpaksa mengubur impiannya itu dalam-dalam.

Tepat sepuluh tahun lalu, ketika ia hendak melanjutkan pendidikan di salah satu SMA Negeri favorit yang ada di kotanya, yang hanya berjarak 2 km dari Kampung Pinggir, namanya yang semula ada di daftar calon siswa baru, tiba-tiba menghilang bak ditelan bumi. Padahal, nilainya cukup tinggi untuk masuk ke sekolah itu. 

Ia sempat menanyakan itu pada pihak sekolah. Namun, pihak sekolah memberi penjelasan yang tidak memuaskan, yang membuat Fais merasa sakit hati.

"Kenapa bisa begini, Bu? Nilai saya bagus. Kemarin nama saya ada di urutan 91. Lantas, sekarang kenapa tidak ada?" Wajah Fais merah menahan marah kepada ibu yang di hadapannya kala itu.

"Masak iya? Ananda salah lihat nama mungkin," kata ibu berkacamata tebal itu.

"Sungguh, Bu. Saya tidak berbohong. Ibu lihatlah nilai saya ini. Semua bagus. Dan, jika dibandingkan dengan nama yang ada di daftar ini, harusnya nama saya ada dalam urutan 100 besar. Nah, sedangkan sekolah ini menerima sebanyak 200-an orang siswa baru. Ke mana nama saya, Bu?" kata Fais memelas kepada ibu di hadapannya itu sambil melihatkan nilai-nilainya.

Sekolah itu adalah harapan satu-satunya bagi dia. Kalau mendaftar di sekolah lain --apalagi swasta-- tak sanggup keluarganya untuk membiayainya. Maka, ayah Fais pun memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement