Rabu 25 Sep 2019 16:01 WIB

Kemarau dan Emas Merah

Pada musim kemarau, kalkulator Tuhan berbeda dengan perhitungan manusia

Kemarau dan Emas Merah
Foto:

Kadang Pak Sobir tertawa dalam hati. Kadang dia juga sedih, melihat sahabatnya Pak Ahmad dan Pak Tohir tak mengeluarkan uang justru memproduksi uang.

Entah apa yang terjadi saat itu, tiba-tiba saja Badan Meteorologi Geofisika mengumumkan bahwa perubahan iklim sedang melanda dunia. Jadi, musim kemarau lebih pendek dari tahun lalu.

Itu artinya musim penghujan segera pula tiba. Mendengar berita itu, Pak Sobir bergembira. Saat Shalat Jumat digelar maka langsung dia cabut uang sebesar 150 ribu dimasukkannya ke kotak amal. Dia yakin sekali kalau Tuhan bersamanya.

Sekitar 1,5 bulan umur cabai, tomat dan semangka. Angin sejuk menerpa tubuh Pak Sobir dan mencium bau tanah disertai dengan air.

Benar saja awan sudah mendung, petir bergemuruh di mana-mana, dan hujan deras tiba, tetapi angin berhenti saat itu. Ladang Pak Sobir akhirnya disirami air hujan. Sambil gumam, dia berjalan di tengah hujan menuju ke rumah.

Begitu sampai di rumah, istrinya tersenyum karena dia tak yakin kalau keputusan suaminya benar. Dia merasa bersalah besar. Kata istrinya, harga cabai sudah mencapai Rp 180 ribu dan dijuluki si emas merah bukan lagi emas kuning.

Pak Ahmad dan Pak Tohir langsung mengikuti langkah Pak Sobir. Mereka kerja bakti untuk turun ke sawah dan tak mau lagi berdagang. Kini giliran Pak Sobir yang menasihati.

Dia bilang waktu musim penghujan bisa lebih pendek sehingga bisa langsung kemarau setelah tiga bulan. Sementara itu, tanaman mereka belum tentu bisa panen sekitar 3 bulan lagi. Omongan tadi tidak dihiraukan oleh warga.

Sementara itu, cabai Pak Sobir sudah mulai berbunga, semangka sudah mulai bercabang tiga, dan tomat juga sudah berbunga. Kebun tersebut menjadi perbincangan sebab cabai tidak diserang hama.

Saat kemarau, kutu daun selalu menyerang. Banyak warga datang untuk meminta ilmu pengetahuan tersebut, tetapi Pak Sobir tak pula menjawabnya.

Dia bilang tidak tahu mengapa demikian. Setelah seminggu, baru dia tahu jawabannya ketika ada penyuluhan pertanian di balai desa oleh insinyur pertanian.

Aroma tak sedap dari daun-daun tomat mengusir kutu-kutu daun sebab Pak Sobir menanam metode tumpang sari. Satu baris tomat, barisan berikutnya cabai, berikutnya tomat, dan cabai lagi.

Begitulah metodenya dalam satu bedengan. Sekitar 3 bulan berlalu, cabai merah hijau berubah warna menjadi merah, buah tomat sudah pula mulai menguning dan semangka sudah mulai berukuran 4 kg. Tengkulak dari pasar sudah menawar buah-buah itu sebelum waktu panen. Sobir menolaknya karena cara demikian dapat merugikan.

Pedagang-pedagang tersebut juga menawar dengan berbagai tingkatan harga. Ada pedagang menawar 1 kilogram cabai seharga Rp 170 ribu dan ada pedangan datang menawar harga lebih tinggi sekitar Rp 180 ribu. Puncak panen cabai akhirnya tiba setelah kurang lebih 3,5 bulan. Pohon cabai sampai merunduk karena buah-buah pada ketiak pohon bergantungan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement