Selasa 23 Jul 2019 06:13 WIB

Tasbih Kupu-Kupu Pengarang

Selama hidupnya, baru kali ini ada kupu-kupu yang bisa bicara seperti manusia.

Tasbih Kupu-kupu Pengarang
Foto:

Entah sudah berapa lama pengarang itu menjadi kupu-kupu. Terbang ke sana ke mari di angkasa. Hinggap dari pohon ke pohon, dari bunga yang satu ke bunga yang lain. Namun perempuan yang dicarinya belum juga ditemukan.

“Maaf, kau tahu di mana mantan pacarku?” Ia bertanya kepada beberapa ku pu-kupu yang lewat di udara.

Kupu-kupu yang lewat itu tertawa-tawa.

Setelah menempuh perjalanan panjang, ia kelelahan dan istirahat di ranting pohon jambu yang putik-putik buahnya sudah mulai bermunculan. Pohon itu tumbuh di depan rumah panggung. Entah milik siapa.

Di ranting pohon jambu itu, ia memikirkan nasib dirinya yang lara dan luka. Ia lelah dan frustasi. Ia ingin kembali jadi manusia dan kembali ke rumahnya. Walau rumahnya sepi. Tak ada istri, tak ada anak-anak.

Tiba-tiba ranting pohon bergoyang-goyang ditiup angin sore. Dalam samar, di teras rumah panggung itu dilihatnya seorang anak kecil bermain-main dengan kucing kesayangannya yang lucu dan jinak. Tak lama muncul sesosok perempuan dari pintu rumah dan ikut bermain-main bersama anak kecil dan kucingnya.

Ditatapnya wajah perempuan itu lekat-lekat sambil mengernyitkan dahi. Wajah perempuan itu sendu dan dihiasi garis-garis ketuaan. Ia kenal betul perempuan itu, seperti wajah yang dikenalinya 20 tahun lampau. Dada pengarang itu berdeburan seperti ombak di lautan.

Perempuan itu menyuruh anak kecil itu masuk ke dalam rumah. Tak lupa, anak itu membawa serta kucingnya dan dipeluk di dadanya. Perempuan itu kemudian melihat-lihat putik-putik buah jambu.

“Aih.. ini benar-benar mantan pacarku…,” kata kupu-kupu itu.

Ia gembira hingga rasa lelah di tubuhnya mendadak hilang.

Dulu, ketika ia bertemu perempuan itu di kelas 1 SMA, seperti kena sihir. Sekarang pun sihir itu masih dirasakannya begitu kuat.

“Assalamualaikum…,” sapanya agak terbata.

Perempuan itu terhenyak. Ia melihat ke kiri dan ke kanan. Heran. Tak ada siapa-siapa, kecuali ada kupu-kupu hinggap di ranting pohon jambu. Sayapnya besar sekali seperti kupu-kupu di hutan Bantimurung.

“Wa’alaikumsalam…” jawab perempuan itu sambil menekan rasa takut.

Dilihatnya kupu-kupu bersayap besar mengepak-ngepakan sayapnya dan berjingkat-jingkat seperti kegirangan. Perempuan itu penasaran, lalu mendekati kupu-kupu itu.

“Kupu-kupu.. kau gagah sekali… kau bisa bicara?”

Perempuan itu takjub campur bingung. Selama hidupnya, baru kali ini ada kupu-kupu yang bisa bicara seperti manusia. Lebih heran lagi, suaranya mirip seseorang yang pernah dikenalnya 20 tahun lalu.

“Kau masih mengenalku?”

Sejenak, pikiran perempuan itu mengembara pada kenangan masa lalunya. Wajahnya berubah sumringah. “Dari suaramu, aku kenal sekali.”

“Aku pengarang yang kau tinggalkan dulu…”

Perempuan itu merunduk. Kalimat itu betul-betul menusuk hatinya. Tapi perempuan itu mencoba menguasi perasaannya, lalu mendekat dan mencium kupu-kupu itu. Sayap kupu-kupu itu bergetar.

“Kau dari dulu selalu punya imajinasi yang aneh-aneh. Tapi mengapa kau menemuiku dengan cara seperti ini?”

Kupu-kupu itu diam.

“Kalau aku tahu caranya berubah, aku pun ingin jadi kupu-kupu sepertimu,” kata perempuan itu sambil mengusap lembut sayap kupu-kupu itu.

“Cukup aku saja seperti ini. Setelah ini, aku akan meninggalkan dunia dengan tenang, di pangkuanmu.”

Seketika bola mata perempuan itu berawan. Ia kemudian berlari kecil masuk ke dalam rumah dengan hati sedih, sedangkan kupu-kupu terbang mengikuti perempuan itu masuk ke dalam rumah.

Perempuan itu duduk di kursi sofa. Kupu-kupu terbang rendah dan hinggap di pangkuan perempuan itu.

“Dari mana kau tahu akan segera mati?”

“Usiaku sudah tua, rambutku sudah beruban, mataku sudah mulai kabur, tulang-tulangku sudah merapuh, tenagaku makin lemah. Bukankah itu tanda-tanda kematian yang diberikan Tuhan? Kalau Tuhan mengizinkan dan engkau pun rela, aku ingin mati di pangkuanmu.”

Perempuan itu menarik nafas berat, ada air hujan di matanya yang mengalir ke pipinya. “Mengapa kau datang hanya ingin mengabarkan kematian kepadaku?”

Ditanya seperti itu, lidah kupu-kupu itu kelu sekali. Ia tak bisa menahan kesedihannya juga. Air mata mereka berjatuhan.

“Kau tidak tahu aku sedang berkabung. Suami dan dua anakku baru kemarin meninggal dalam kecelakaan lalu lintas. Kini aku hidup bersama cucuku. Dan kini kau datang mengabarkan kematian pula kepadaku. Oh, Tuhan,” kata perempuan itu sambil sesenggukan.

Perempuan itu menjerit sambil menutup wajahnya. Suaranya parau dan menyayat.

Kupu-kupu kebingungan. Ia berusaha menenangkan perempuan itu dengan cara berterbangan di atas kepala perempuan itu sambil membacakan sajak yang dikarangnya dulu.

Masih kuingat kularungkan cinta di sungai ini

Ketika engkau pergi di antara tangis hujan

Kenangan itu sudah melewati abad-abad hari

Di bantarannya kuratapi akar, pohon, daun, rumput mati

Aku bersujud kepada pemilik semesta alam

Sebab sungai kering dan hanya ada batu-batu di dalamnya

Mendengar puisi itu, perempuan itu malah semakin sedih, karena dengan puisi itulah ia menerima cintanya pengarang. Perempuan itu masih menutup matanya dengan kedua telapak tangannya sambil menundukkan kepalanya ke pahanya. Air matanya merembes ke sela-sela lengannya. Deras.

Kupu-kupu semakin bingung. Namun ia terus berterbangan di antara punggung dan kepala perempuan itu, hingga akhirnya ia hinggap di atas meja. Menatap perempuan yang merunduk dan menangis.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement