Ahad 24 Feb 2019 14:42 WIB

Shalawat Cinta dari Venesia

Shalawat itu saya lantunkan di Venesia, sehingga menjadi shalawat cinta dari Venesia

Shalawat Cinta dari Venesia
Foto:

Hari pertama di Eropa. Gerimis jatuh di wajah Habibah. Ia menyapunya dengan sapu tangan. Kemudian mengibaskan butiran yang menempel di jaketnya.

Tiba-tiba datang Irham, salah seorang peserta pelatihan, sambil membawa payung. "Boleh aku payungi?" ujarnya lembut.

Habibah terdiam sejenak. Tapi tanpa dia sadari, ia mengangguk perlahan.

Berdua, Habibah dan Irham menyusuri pelataran Menara Eiffel itu. Di antara gerimis dan angin dingin yang hinggap di wajah dan jaket tebal yang mereka kenakan.

Tapi entah mengapa, tiba-tiba Habibah merasakan kehangatan di hatinya. Seperti ada yang lahir dan hadir di sana. Entah  perasaan apakah itu? Ataukah ini karena ia terbawa romantisme Paris? Ah, entahlah.

"Nah, gitu dong. Senang melihat kemesraan kalian berdua. Saya jadi pengen kembali muda," kata Priyadi.

Spontan Habibah menoleh ke arah Irham. Pada saat yang sama, Irham pun menatap Habibah.

Entah siapa yang lebih dulu tersenyum: Habibah ataukah Irham? Yang jelas, tiba-tiba seperti ada  bunga bermekaran di hati Habibah.

Hari keempat. Canal Cruise itu berjalan perlahan menyusuri Kota Amsterdam, Belanda.

Seperti sudah ditakdirkan, Irham dan Habibah duduk berdampingan. Para peserta ramai berbincang. Namun Irham lebih banyak diam.

Di satu kesempatan, Habibah bertanya, "Saya perhatikan, dari tadi Mas Irham banyak diam. Ada masalah?"

"Ibuku tadi Subuh japri. Ia mengabarkan bahwa maagnya kumat dan pagi ini juga ia akan ke rumah sakit."

"Semoga ibu Mas Irham lekas sehat kembali," kata Habibah.

"Terima kasih, Habibah. Beberapa tahun terakhir ia terkena sakit maag. Dan beberapa kali pula, maagnya kumat saat aku sedang di luar negeri."

"Aku sedang berpikir. Aku sudah delapan tahun jadi tour leader. Sejak aku lulus kuliah di UI. Dan sejakempat  tahun terakhir, aku lebih banyak berada di luar negeri daripada di Indonesia. Dalam sebulan hanya beberapa hari aku tidur di rumah ibuku. Selebihnya aku lebih sering berada di destinasi Eropa Barat, Maroko, Spanyol, Eropa Timur, Korea dan Jepang."

"Ibuku berkali-kali bilang kepadaku. Ia ingin aku segera menikah. Apalagi aku adalah anak bungsu. Dua kakakku perempuan. Mereka sudah menikah dan sibuk dengan keluarga kecilnya masing-masing."

"Kenapa Mas Irham belum menikah? Aduh, maaf ya Mas, Habibah jadi kepo." Habibah tiba-tiba merasa bersalah.

"No problemo, Habibah. Aku pernah punya calon. Tapi ia dinikahkan oleh ayahnya yang pengusaha besar dengan anak temannya yang juga seorang konglomerat. Sedangkan aku waktu itu baru merintis karier sebagai seorang tour leader. Aku anak yatim dan miskin. Mirip kisah sinetron ya. Tapi begitulah faktanya."

"Sejak itu aku fokus karier. Aku ingin jadi tour leader yang hebat dan sukses. Bukan untuk mengalahkan keluarga mantanku. Aku hanya tak mau ibuku dihina untuk kedua kalinya. Aku sangat menyayangi beliau. Aku yatim sejak kelas 1 SD. Ibuku bekerja keras untuk menghidupi dan membiayai sekolah aku dan kakak-kakakku. Alhamdulillah, kami semua bisa menjadi sarjana."

"Alhamdulillah, ibu Mas Irham luar biasa," ujar Habibah tulus.

"Terima kasih, Habibah. Alhamdulillah, karierku sebagai tour leader terus berkembang sampai sejauh ini. Dan aku belum memikirkan untuk berumah tangga. Tapi sejak ibuku sakit-sakitan dan usiaku sudah melewati kepala tiga, aku pikir, sudah waktunya aku mengakhiri kesendirian ini, membawakan menantu yang cantik dan solehah untuk ibuku, dan memberinya cucu-cucu yang lucu."

"Semoga Mas Irham segera mendapatkan istri yang Mas dambakan."

"Aamiin. Terima kasih doanya, Habibah."

Hari terakhir, rombongan mengunjungi  Venesia. Irham dan Habibah, naik gondola yang sama.

"Habibah, boleh saya minta bantuan?"

"Boleh, Mas. Apa yang bisa saya bantu?"

"Saya mau merekam bacaan Alquran saya. Surah Ar Rahman. Diakhiri dengan bacaan shalawat."

"Wah, bagus sekali, Mas."

"Jelek-jelek begini, saya pernah nyantri enam tahun. Punya hapalan beberapa juz. Termasuk Surah Ar-Rahman yg merupakan surat favorit saya dan ingin saya persembahkan saat saya mengkhitbah calon istri saya. Kemudian, mengapa saya tutup dengan shalawat, karena saya ingin cinta itu begitu lembut dan indah seperti cinta Rasulullah kepada istri-istri beliau. Dan shalawat itu saya lantunkan di Venesia, sehingga menjadi shalawat cinta dari Venesia."

"Sungguh beruntung wanita yang mendapatkan cinta Mas Irham," ujar Habibah lembut.

"Semoga demikian, Habibah. Dan semoga ia menyayangi dan mencintai ibuku dengan tulus."

"Aamiin."

Irham menyerahkan HP-nya kepada Habibah. Gadis itu memegang iPhone tersebut dan menyalakan fitur video recorder. "Siap ya?"

"Siap, Mas."

Irham mengambil posisi duduk bersila. Lalu ia membaca Surah Ar Rahman.

Ternyata suaranya sangat merdu. Habibah dibuat terkesima. Lantunan shalawatnya pun sangat lembut. Tanpa sadar, Habibah beberapa kali mengangguk perlahan.

Sekitar 20 menit perekaman itu selesai.

"Alhamdulillah. Terima kasih, Habibah," kata Irham.

"Sama-sama, Mas Irham. Suara Mas Irham merdu sekali."

"Wah, dipuji gadis salehah dan cantik, hidung saya jadi mekar."

"Mas Irham bisa aja." Wajah Habibah tiba-tiba memerah. Hatinya seperti dipenuhi bunga.

"Dia pacar kamu?" tiba-tiba sang pengayuh gondola bertanya dalam bahasa Inggris kepada Irham.

Irham dan Habibah saling bertatapan. "Bukan," kata Irham. "Dia calon istri saya."

Tiba-tiba seperti ada segunung bahagia menghampiri hati Habibah. "OK, congratulations," kata pengayuh gondola.

Irham melirik Habibah. Ia tersenyum. Spontan, Habibah pun tersenyum manis. Senyum termanis yang pernah dilihat oleh Irham selama kebersamaan mereka di benua biru itu.

Pesawat Qatar Airlines rute Roma-Jakarta itu  meninggalkan landasan. Habibah memejamkan mata. Ia tak bisa menahan senyumnya. Sesaat sebelum pesawat take off, lelaki yang duduk di sebelahnya, Irham, japri kepadanya, "Bolehkah aku berharap kebersamaan kita selama 10 hari di Eropa bermuara di Surat Ar Rahman?"

Pramugari sudah mengumumkan, pesawat sebentar lagi tinggal landas. Semua HP harus dimatikan.

Habibah berjanji akan menjawab pertanyaan Irham saat pesawat QatarAirlines itu transit di Doha, ibukota Qatar. Tanpa terasa, Habibah melirik ke samping. Tepat pada saat yang sama, Irham  menatap lembut ke arahnya.

Keduanya tersenyum penuh arti. Suara lembut mesin pesawat  itu terdengar seperti tembang  shalawat. Shalawat cinta dari Venesia.

 

Venesia, Februari 2016.

Kuala Lumpur-Selat Melaka, Februari 2019

 

TENTANG PENULIS

IRWAN KELANA adalah cerpenis, novelis dan wartawan Harian Republika. Ia telah menerbitkan sekitar 25 judul buku, baik novel, kumpulan cerpen, biografi maupun buku-buku Islam. Telah 14  kali memenangkan lomba menulis novel, cerpen, karya tulis dan artikel tingkat nasional. Ia juga aktif memberikan pelatihan jurnalistik dan sastra di dalam maupun luar negeri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement