Jumat 05 Jul 2019 05:07 WIB

Ketupat dan Rendang Daging (Cerita Pendek)

Tepat di ruang tamu, aku sudah melihat ketupat bersebelahan dengan semur

Ketupat dan Rendang Daging (Ilustrasi)
Foto:

“Kita berangkat sekarang, Bu,” sela Firda penuh harap sebelum aku menjawab pertanyaan ayahnya. Lalu, aku menoleh ke Firda. Aku mengerti kerinduannya kepada Dewi.

Setiap kali kami ke rumahnya, perempuan yang belum memiliki anak itu memang senang mengemong anak seusianya. Apalagi, keponakannya sendiri. Tidak banyak mendiamkannya.

Ia selalu mengajaknya ke manapun. Ke Pasar Pamor yang tidak jauh dari rumahnya. Bahkan, ia bisa kecewa bila Firda tak segera merespons permintaannya. Lalu ia menawarkan bermacam makanan atau kudapan kesukaannya. Dan, di Lebaran begini, ia berkeinginan ke rumah Dewi.

“Kamu tega tidak menuruti permintaannya, Resti,” sergahnya ketika aku masih diam. Lalu ia melangkah ke luar. Firda mengiringinya.

Aku segera menghentikan pekerjaan. “Sebentar, Firda.”

Firda berhenti. Membiarkan bapaknya berlalu. “Tapi, kenapa sebentar lagi, Bu, padahal rumah sudah sepi.”

Memang, setelah kunjungan terakhir dari teman pengajian, rumah sepi. Hanya aku sendiri. Firda lebih banyak masuk keluar rumah.

Kini, aku baru mengerti ia dalam bingung setelah mengungkapkan keinginannya. Lalu, aku mendekati. Namun, ketika siap menemaninya, tiba-tiba aku diingatkan menu olahan Dewi.

Ketupat legit yang diguyur kuah rendang daging kental dengan cita rasa bumbu yang kuat. “Kamu siap, Firda?” tanyaku pelan, tapi tegas memintanya bersiap.

Firda segera mengangguk. Aku senang. Tapi, aku menyesal kenapa tidak sedari tadi mengingat menu kesukaanku itu. Dengan kupat dan kuah rending tentu aku akan merasakan lebaran menjadi lebih sempurna.

Memang, hanya di rumah Dewi kudapati, tidak ketupat di rumahku. Aku tidak bisa mengambil warisan membuat cangkang kupat dari almarhum ibu. Padahal berkali ibuku menegur, “Untuk di kampung kamu harus bisa membikin cangkang, Resti, biar gak repot harus ke pasar.”

Entah malas atau gak sabar, aku selalu salah mengatur jari-jemari tangan ke arah mana memasukkan lembar yang satu ke lainnya. “Sulit, Bu.”

“Tidak ada yang sulit, Resti.”

Aku tak berkata. Masih berusaha menyelipkan lembar-lembar daun nyiur yang sudah lepas dari tulangnya ke sela yang lain.

“Pesawat saja bisa dibikin, apalagi sekadar membuat seringan ini.” Ibu memperlihatkan cangkang yang sedang ia jalin rapi.

Mendengar perkataan ibu, aku mengangguk pelan sembari berusaha menyelipkan lembar-lembar dari jemariku, tapi lagi-lagi gagal. Dan merasa jenuh, aku meninggalkannya.

Namun, kini bila ingin menikmati beras yang dimasak dalam cangkang ketupat, aku hanya berharap dari Dewi. Namun, bila kupat habis setelah menyimpannya beberapa hari, aku berkali mengeluh sendiri tidak bisa membuat cang kang ketupat.

Namun, ketika aku masih berdiri mengharap kemunculannya, Dewi bergegas dari ruang dapur. Aku lega. Tak terjadi sesuatu. “Kenapa Teteh yang harus ke sini?” tanya Dewi menyambut kami. Seolah tak menginginkan kami ke rumahnya.

Aku memandanginya. “Memangnya kenapa?” tanyaku segera.

Dewi tak menjawab. Melangkah mendekati kami. “Duduk saja dulu,” pintanya segera. Lalu ia mengambil bak ketupat, rending, dan rantang. Meletakkannya ke lantai antara meja dan lemari barang-barang yang tersandar di dinding. Lalu Dewi menyajikan kami bandeng masak kecap yang ia ambil dari kotak lemari.

Tanpa mengatakan aku suka kupat, apalagi bikinannya, aku menerima saja begitu ia memintaku menikmatinya. Tapi, aku berpikir, kalau berminat, setiap hari bisa saja aku mendapatkan menu semacam bandeng.

“Aku akan merapikan menu Lebaran.” Lalu Dewi duduk di lantai menghadapi bak dan baskom rendang. “Kita agak sore ke rumah Teteh,” kata Dewi sembari mengambil panci-panci yang tersusun di tangkai rantang.

Mengapa tidak sekarang saja, hatiku, hanya ingin segera menikmati kupat. Aku menduga ia menyiapkan untuk ke rumahku. Tapi, sembari menunggu kupat sampai di rumah, aku menikmati sajiannya meski tidak banyak.

Dan, masakan bikinan Dewi memang benar-benar nikmat. Nasi pun terasa pulen, cukup membuatku ketagihan. Tapi, tidak mengalahkan kesukaanku kepada ketupat dan rendang olahannya.

Rantang itu kosong. Tidak ada isinya. Lalu Dewi memasukkan kupat dari bak kecil ke beberapa panci. Ia lebih dahulu meletakkan panci berisi rendang ke tangkai di susunan paling bawah. Tiga panci lainnya yang sudah dipenuhi ketupat di atasnya. Lalu ia menoleh. Aku pelan menikmatinya. Firda hanya diam, tapi tampak kebahagiaannya.

Lalu Dewi berdiri. Sembari mengambil rantang yang sudah siap bawa, ia berkata, “Aku akan ke rumah ibu Hajah Rumsinah dulu, ketua pengajian.”

Aku hanya diam. Pandanganku lekat ke rantang yang dibawa Dewi.

 --Pengarengan, Juni 2018

TENTANG PENULIS: MAKANUDIN, Penulis adalah guru di Bekasi Kabupaten, kader muda NU di luar struktur. Ia bisa dihubungi di e-mail [email protected]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement