Sabtu 29 Jun 2019 13:11 WIB

Obituarium Origami (Cerita Pendek)

Aku tak jemu mengirimkan lipatan-lipatan origami kertas yang kuguratkan dengan doa

Obituarium Origami (Cerpen)
Foto:

Pengungsian itu tampak murung. Banyak orang yang kehilangan kerabat dan harta karena bencana ini. Pekik tangis seolah menjadi pemanis kamp setiap hari. Mungkin terikan tangis itu sudah menggumpal dan memenuhi sela-sela sudut tempat. Aku sendiri hanya termenung menyaksikan kepiluan demi kepiluan yang datang silih berganti.

Setiap waktu yang bergulir selalu bermunculan wajah-wajah pucat tanpa nyawa dan asing, yang menjadi korban bencana. Tubuh-tubuh yang telah koyak atau setengah busuk itu terlihat sangat mengerikan menggelepar. Tubuh-tubuh itu mungkin sudah tertimbun lumpur atau bangunan beberapa hari dan pasrah menunggu untuk lekas diselamatkan.

Namun, hingga kini aku belum bertemu dengan sosok ayah dan ibuku. Aku tak tahu apakah mereka masih hidup atau telah mem busuk dalam tumpukan lumpur seperti tubuh-tubuh itu. Betapa berat hidup dengan terus memanggul kegelisahaan seperti ini. Setiap saat aku hanya dipaksa menunggu sebuah kabar murung yang mungkin saja datang terlambat.

Oleh sebab itu, dengan origami kertas, aku menyampaikan doa-doa dan harapan-harapanku. Aku menyampaikan semua angan dan kegelisahanku: semoga mereka semua masih hidup dan kini sedang memikirkanku!

Siang ini, setelah lama menunggu, hal yang aku harapankan tak juga datang. Malah yang datang padaku adalah kesedihan berupa kenangan atas Ayah dan Ibu. Mereka seakan hadir waktu aku melihat setumpuk mayat yang bergelimpangan. Aku seolah melihat sosok Ayah dan Ibu yang terkapar tiada daya di sana. Namun ketika aku pastikan lebih lanjut dengan mendekat, sosok itu bukan mereka.

Tubuhku melemas. Lamat-lamat, air mataku menetes. Aku lari ke barak pengungsian; duduk seorang diri seraya memintal origami kertas dan menuliskan doa-doa di dalamnya. Setelah tujuh origami kertas selesai aku buat; bergegas kumenuju parit kecil yang setiap waktu tak jemu melabuhkan doa-doaku.

Sebelum aku melarutkan origami-origami itu, aku memeluknya beberapa menit. Aku kemudian dengan pelan-pelan melepaskannya seraya arus air membawa. Air mataku ikut jatuh melihat origami-origami itu menjauh dariku.

“Tolong sampaikan pada Tuhan kalau aku begitu sedih dan ingin dipeluk-Nya!”

Aku termenung beberapa saat seraya mengutuk nasib burukku. Mengapa aku tak direnggut saja dalam bencana itu? Tiba-tiba dadaku terasa sakit. Air mataku deras mengalir dari hilir.

“Mengapa Kau ciptakan kesedihaan ini untuk kami, Tuhan?” pekikku lirih.

Origami-origami kertas sudah jauh pergi. Namun, kesedihan di hatiku tidak lekas berlalu. Kesedihan itu malah mengental dan memberatkan dada.

***

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement