Kamis 06 Jun 2019 09:14 WIB

Imam Masjid

Mang Badrun tahu satu hal yang harus dilakukannya, yakni mengurus masjid

Imam Masjid
Foto:

Hari semakin malam. Kiai Djasim tak mau mengulur waktu terlalu lama. “Punten, saya akan segera meminta kepada saudara-saudara di depan ini untuk menunjukkan kemampuan membaca Alqurannya terlebih dahulu. Baru setelahnya akan sedikit membahas mengenai pengetahuan soal ilmu fikih dan lainnya.”

Kiai Djasim seketika terkenang masa-masa ketika ia dulu di posisi mereka. Ia murid dari Kiai Shidiq dan saat di minta mengaji di depan warga tubuhnya bergetar dan keringat tak henti-hentinya mengalir. Waktu terus berjalan. Tak terasa kini ia ada pada posisi sebagai tetua kampung.

Ustaz Rasyid dengan amat yakin mengajukan diri lebih dulu. Dalam hatinya barangkali menganggap ini adalah hal mudah. Karena hampir setiap hari ia menguruk santri-santrinya mengaji.

Sudah banyak tempat ia datangi untuk menimba ilmu agama sewaktu muda dulu. Selesai dari satu mubalig lanjut ke ulama yang lain. Dari ahli qiraah ke ahli fikih yang lain.

“Katuran Pak Ustaz….”

Ustaz Rasyid duduk bersila menghadap Kiai Djasim. Ketika dipersilakan dan mata mereka bertemu, mendadak tubuhnya bergetar. Dadanya bergemuruh dan matanya tak kuasa menatap lama ke wajah Pak Kiai.

“A‘udzzz…, bbill.. ahh..,” Ustaz Rasyid tergeragap. Lidahnya tiba-tiba kelu. Ia tak paham apa yang terjadi. Suara bisik-bisik warga yang keheranan terdengar semakin riuh. Namun bukan itu yang membuatnya panik. Justru bayangan di kepalanya yang sangat mengganggu.

Wajah-wajah santri yang pernah ia usir, singgah di tempurung kepalanya. Bahkan yang pernah ia sabet karena tak lekas mengerti pelajaran pun meraung-raung malam itu. Tak lama badannya limbung. Dua santrinya lekas mendekat dan menyanggah tubuhnya. Warga membantu dan membawa ia pulang kembali ke rumahnya.

“Astagfirullah….” Kiai Djasim diperlihatkan oleh Allah apa yang membuat Ustaz Rasyid mengalami hal itu. Tapi masih ada dua orang lagi. Ia lekas meminta satu dari mereka untuk menghadap ke arahnya.

“Baca basmallah lebih dahulu. Mohon izin dan ridho pada Allah. Mulailah kapan pun saudara siap,” ucapnya teduh penuh saran.

“Baik, Pak Kiai,” jawab Haji Masykur lekas. Belum ia mulai membaca ayat basmallah, mulutnya hanya megap-megap seperti ikan mujair dalam air.

Ia mencoba berteriak sampai tenggorokannya sakit, tetapi nihil. Suaranya tetap hilang detik itu juga. Sama halnya Ustaz Rasyid, ia pun tak paham apa yang tengah terjadi. Tak kuasa menahan malu ia gegas bangkit dan berlari pulang ke rumahnya.

Kepalanya dibayang-bayangi wajah orang-orang yang sering ia hina ketika tak sanggup membeli barang dagangannya. Ia membuka lebar mulutnya berusaha menjerit, tetapi tak ada getar suara yang keluar.

Lagi-lagi Kiai Djasim dikehendaki tahu apa yang menimpanya. Ia beristigfar tiada henti. Masih ada satu orang di sebelahnya. Barangkali ia yang bakal jadi imam masjid penggantinya kelak. Belum diminta duduk menghadap Pak Kiai, Haji Salim inisiatif.

Ia bergeser mengambil posisi duduk di depan Kiai. Ketika Kiai Djasim memberi aba-aba untuk memulai, Haji Salim dikagetkan oleh kehadiran almarhum abahnya yang duduk bersebelahan dengan Kiai Djasim.

Wajah Haji Salim sekonyong-konyong pucat. Matanya melotot tak percaya. Bibirnya pelan sekali menyebut nama Tuhan, dan berhasil. Ia tidak bisu dan gagap mendadak. Namun, badannya seolah membatu. Ia tidak bisa bergeser sedikit pun. Mendiang abahnya menegur Haji Salim.

Warga bingung dengan kejadian malam itu. Mereka tidak melihat kehadiran Kiai Shidiq, tetapi Kiai Djasim merasakan kehadiran gurunya itu. Dengan kepala merunduk ia tetap diam dan menyimak apa yang ingin disampaikan Kiai Shidiq pada anak semata wayangnya itu.

“Bertobatlah, Salim. Allah tak menyukai hambaNya yang memakan uang riba. Bantulah saudara dan tetanggamu dengan hati yang tulus. Demi Allah aku tak pernah mengajarkanmu berlaku culas dan angkuh. Sesungguhnya Allah maha pengampun.”

Haji Salim menangkap air muka abahnya yang murka. Ia pun menangis tersedu-sedu. “Maafkan, saya, Bah. Mohon ampun….” Setelahnya Haji Salim menjerit-jerit tak jelas. Sopirnya sergap membawa majikannya ke mobil. Ia tancap gas meninggalkan warga tanpa permisi. Bahkan teko dan gelas-gelas ia biarkan tergeletak setelah tertendang olehnya.

Kedua mata Kiai Djasim berkaca-kaca. Hatinya menahan tangis menghadapi kenyataan ini. Sedangkan warga tak mampu berbuat apa-apa. Mereka terlampau syok dihadapkan dengan kejadian aneh yang datang nyaris bersamaan.

Mang Badrun melihatnya biasa saja. Lelaki separuh baya itu hanya tahu satu hal yang harus dilakukannya; mengurus masjid. Segera ia merapikan kembali teko dan gelas-gelas yang berantakan. Ia mengelap airnya yang tumpah membasahi lantai masjid.

Sosok almarhum Kiai Shidiq masih berada di sebelah Kiai Djasim. Sebelum pergi ia menitipkan sebuah pesan, “Jaga Badrun agar tak jauh-jauh dari pengimaman. Dulu, ia juga pernah mengaji padaku.” Kiai Djasim mengangguk takzim. Seketika ia teringat, dulu saat mengaji di rumah Kiai Shidiq, Badrun kecil selalu bersembunyi di atas pohon mangga dan mendengarkan orang-orang yang sedang mengaji.

TENTANG PENULIS

ADE UBAIDIL, pengarang asal Cilegon. Terpilih sebagai salah satu penulis Emerging Ubud Writers and Readers Festival 2017. Buku terbarunya berjudul, “Surat yang Berbicara tentang Masa Lalu” (Basabasi, 2017). Arsip tulisannya bisa dilihat di:www.quadraterz.com.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement