Selasa 21 May 2019 16:30 WIB

Danau dan Sepotong Cerita

Aku bahkan tidak mengerti apakah Ibu masih menganggapku sebagai anak

Danau dan Sepotong Cerita
Foto:

Tetangga Srukat, perempuan itu, kerap menggunjing karena hampir setiap harinya tak ia luangkan untuk anak dan suaminya. Ia selalu menyerahkan urusan anak kepada Mbok Nah.

 

 

Sepulang kerja, perempuan itu langsung merebahkan tubuhnya, yang ia anggap ramping itu, ke atas tumpukan kasur. Ah, siapa bilang tubuhnya ramping? Itu hanya pujiannya saja untuk menghibur dirinya sendiri. Siapa lagi?

 

Iyas adalah lelaki yang cukup sabar dan setia. Kalau suami Srukat adalah lelaki lain, mungkin saja saat ini sudah memilih pergi. Banyak di luar sana yang masih lebih menawan dan lebih memiliki kepedulian ketimbang Srukat.

 

Pernah juga suatu kali anaknya mengadu. “Bu, kapan ibu bisa menemaniku ke danau? Aku jenuh di rumah terus. Mainan yang ibu belikan tidak mengubah apa pun. Aku tak mengerti apa-apa yang ada di luar sana. Sedangkan, ibu selalu sibuk keluar rumah, yang ibu bilang bekerja itu. Mbok Nah juga tak selalu bisa menemaniku karena ia sibuk membereskan pekerjaan.”

“Nanti kalau pekerjaan ibu sudah selesai, lagi pula ayahmu masih banyak urusan.” Bicaranya kasar, mungkin saja ia terlampau lelah.

 

“Kapan Ibu ada waktu? Apa perlu aku menceburkan diri ke dalam danau, baru Ibu akan mencari-cari beradaku? Atau justru itu yang Ibu harapkan?”

 

Perempuan itu menggelengkan kepalanya. Biji matanya yang cokelat kehitaman memancarkan tatapan tajam ke arah anaknya. Ia seolah tak percaya, anak semata wayangnya berkata demikian kepadanya. Ia menundukkan wajahnya, mungkin ia hatinya sedikit tergugah bahwa selama ini ia telah salah memperlakukan keluarganya.

 

 

“Bukan itu maksud Ibu.”

 

“Lalu? Aku bahkan tidak mengerti apakah Ibu masih menganggapku sebagai anak.”

 

Perempuan itu semakin tercengang. Kepalanya tiba-tiba mendongak dengan dua biji mata yang semakin berkaca-kaca. Kemudian beranjak dari duduknya di atas dipan di teras rumahnya.

 

 

Biarkan perempuan itu memilih ceritanya sendiri, barangkali menjadi dengan terlebih dahulu menjadi orang lain akan mengubahnya menjadi dirinya yang seutuhnya. “Mbok, mana Tiar? Katakan padanya, ada oleh-oleh untuknya. Dan sampaikan juga, besok lusa aku dan Mas Iyas akan mengajaknya ke danau.”

 

“Em. Anu, Nyonya …”

 

Kenapa Mbok?”

 

 

“Den Tiar tidak pulang sejak empat hari yang lalu,” ungkap Mbok Nah resah.

 

“Apa? Kenapa kamu tidak menghubungiku atau Mas Iyas?”

 

“Sudah berkali-kali, Nyonya. Maafkan saya.” Wajah Mbok Nah seketika lesu dan tak berdaya.

 

Ingatan Srukat membawanya pada sederet kalimat paling hening, “Kapan Ibu ada waktu? Apa perlu aku menceburkan diri ke dalam danau, baru Ibu akan mencari-cari beradaku? Atau justru itu yang Ibu harapkan?” Lidahnya tercekat.

Ia berlari dengan kecepatan yang hampir menyerupai kilat yang menyambar-nyambar ketika hari menjelang turun hujan. Sampailah ia pada tepian danau. Kemudian memanggil-manggil nama anaknya. Hening. Tidak ada jawaban. Di kepalanya berkelebat sederet kalimat, “Kau akan menyesal kelak, perempuan muda. Sebab perlakuan anakmu sendiri!”

TENTANG PENULIS

FINA LANAHDIANA, lahir dan tinggal di Kendal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement