Jumat 10 May 2019 08:03 WIB

Berjalan Menembus Batas

Batas keadaan bukanlah jurang yang akan menghalangi langkahmu

Ibu dan anak (ilustrasi)
Foto:

Tiga bulan telah berlalu. Bergulirnya waktu dari nama bulan ke nama bulan lainnya begitu lekas. Aku sudah lulus SMA dan mendapatkan beasiswa kuliah ke Jakarta sebagaimana inginku. Rasanya begitu cepat Allah mengabulkan doaku yang kupanjatkan tanpa putus. Namun, ada perasaan yang mengganjal di hatiku. Sepanjang hari ini aku tergolek di dalam kamar. Persis seperti batu yang menggeletak tak bergeser dari tempatnya.

"Rendra boleh ibu masuk?" ujar ibuku suatu sore.

"Silakan Bu."

"Kamu sudah kemas barang-barangmu, minggu besok kan kamu sudah harus berangkat ke Jakarta."

"Aku ragu Bu."

"Ragu kenapa? Bukankah ini cita-citamu Nak."

"Benar Bu. Tapi aku tak sampai hati meninggalkan Ibu seorang diri."

"Ibu tidak apa-apa. Ibu juga akan baik-baik saja. Sebaliknya Ibu akan bahagia jika cita-citamu terwujud menjadi sarjana ekonomi dari kampus negeri. Kejarlah terus mimpimu Nak. Ini baru awal, jangan puas sampai di sini. Berjalanlah menembus batas. Dari batas ketakutan, batas ketidakmampuan, batas keterasingan, batas keadaan bukanlah jurang yang akan menghalangi langkahmu. Jangan hanya lantaran kita miskin kamu padamkan cita-citamu. Sebaliknya jadikanlah kepedihan dalam hidup ini sebagai cambuk untuk berusaha lebih keras lagi. Tidak ada yang abadi, termasuk kepedihan kita, Nak. Nanti besok ibu antar kamu terminal, sekalian mungkin banyak barang yang bisa ibu ambil di sana." Mendengar itu aku hanya menangis kemudian kupelukan ibuku. Tak ada lagi yang dapat kukatakan.

Keesokan harinya aku sudah bersiap berangkat ke Jakarta. Sesudah sarapan kami langsung bergegas menuju terminal. Sepanjang jalan ibu tak henti menangis. Baru kali ini kudapati ibu menangis. Jikalau perempuan menitihkan air mata laksana embun yang jatuh dari mahkota bunga. Air matanya adalah laut yang tak pernah surut. Maka dari itu kepandaian seorang perempuan hanyalah menangis. Begitulah kata pujangga.

"Jaga dirimu Nak. Kalau bekalmu habis kabari Ibu," katanya di telingaku.

Aku hanya mengangguk. Sepanjang jalan banyak penumpang memperhatika kami. Begitulah manusia selalu curiga dan ingin tahu jika ada yang berbeda di sekitarnya.

Sesampainya di terminal aku langsung masuk ke dalam bus setelah mencium tangan ibu. Tak beberapa lama perlahan-lahan bus kota yang menelanku menggeliat dan menderu, lalu menjauh dari kerumuan. Kulihat ibu tak henti melambaikan tangan. Aku tergugu menangis saat ibu hilang dari pandangan kulihat sedang memunguti botol-botol bekas air mineral dan melemparkannya ke keranjang di punggungnya.

TENTANG PENULIS

ARIAN PANGESTU. Puisi, esai, dan cerpennya dimuat di Radar Surabaya, Pikiran Rakyat, Harian Analisa, Koran Merapi, Tribun Jateng Tabloid Minggu Pagi, Padang Ekspres, Bangka Pos, dan Harian Rakyat Sultra dan media daring SuaraKebenasan.org, Geotimes. Novel perdananya Lautan Cinta Tak Bertepi (2018).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement