Selasa 07 May 2019 06:27 WIB

Riwayat Haji

Saya cinta Rasulullah. Makanya saya harus naik haji berkali-kali selama masih hidup

Riwayat Haji
Foto:

Dalam temaram lampu teplok yang terpiuh-piuh ditiup angin. Rahnawi tengah menyandarkan tubuhnya ke dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Hujan menggedor-gedor atap rumahnya. Hidupnya bergelantungan di garis kemiskinan.

Segelas teh tanpa gula dihidangkan di atas meja oleh Simar. Meskipun begitu, ia terbilang laki-laki nekat. Nekat naik haji. Tempo hari, laki-laki yang makin menonjolkan tulang belulang di tubuhnya itu bilang kepada Simar bahwa ia akan menabung demi bisa sampai di Tanah Suci.

“Jangan nekat, Mas.” Istrinya merasa tak yakin Rahnawi akan sampai di Mekkah. Menanggapinya Rahnawi memberikan senyuman.

“Untuk ibadah ya harus nekat. Yakinlah pasti dikabulkan.” Rahnawi meyakinkan. Mantap. Ia hisap sebatang kelobot (rokok dari kulit jagung). Asapnya berputar-putar di udara.

Kini hampir satu tahun kurang sepuluh hari. Tersimpan sudah dua puluh juta di dalam lemari. Rahnawi banting tulang demi Tanah Suci. Dengan pencapaian itu, Rahnawi semakin yakin dirinya bisa mencium hajar aswad atau berdoa di depan makam para Nabi. Jam delapan malam. Angin menusuk-nusuk daun mangga. Terdengar pintu diketuk. Rahnawi meminta Simar segera membukanya.

Seorang perempuan tua, keriput, dan bungkuk sedang berdiri di ambang pintu. Simar dapat mendengar tarikan napasnya berat dan goyah. Ia bicara terbata-bata disertai derai batuk. Bahwa cucu satu-satunya sedang terbaring di rumah sakit dan mesti dioperasi. Tak lama kemudian, perempuan tua itu menangis panjang dan sangat dalam.

“Berapa yang dibutuhkan untuk biaya operasi, Nek?” Rahnawi menggeser posisinya, duduk di sebelah si perempuan renta itu. Mengelus-elus tengkuknya.

“Rp 20 juta.” Jawaban nenek itu pendek. Kaget Rahnawi mendengar si nenek menyebut angka sebesar itu. Ia tarik napas dalam-dalam. Rahnawi masuk ke dalam kamar. Dengan bungkusan berisi uang Rahnawi memberikan kepada nenek tersebut. Perempuan tua itu berniat mencium tangan suam istri itu pertanda terima kasih. Namun mereka menolaknya. Simar mengantar nenek itu sampai di depan pintu.

Kenapa Mas berikan semua uang itu? Bukankah uang itu akan disetor untuk naik haji?”

“Apa guna saya naik haji kalau masih ada tetangga di sebelah rumah kita yang kelaparan. Apalagi ada tetangga yang sangat membutuhkan seperti nenek tadi.”

“Memang Mas kenal dengan nenek tadi?” Pertanyaan Simar membuat Rahnawi terperangah. Ia menggeleng. Sampai langit dibungkus gelap. Bintang ditabur di permukaan langit. Perempuan tua itu tetap diselimuti misteri.

Suami istri itu berpegangan tangan ketika terlelap di atas ranjang. Dalam mimpi, Rahnawi bertemu dengan perempuan tua tadi. Walaupun wajahnya tampak jauh lebih muda. Ia tetap bisa dikenali. Tubuhnya mengeluarkan pendar-pendar cahaya. Ia berdiri di samping ka’bah. Melambai-lambaikan kedua tangannya kepada Rahnawi.

TENTANG PENULIS

ZAINUL MUTTAQIN, Lahir di Garincang, Batang-batang Laok. Batang-Batang, Sumenep Madura 18 November 1991. Cerpen-cerpennya dimuat di pelbagai media nasional dan lokal. Salah satu penulis dalam antologi cerpen; Dari Jendela yang Terbuka (Edukasi Press; IAIN Walisongo Semarang. 2013). Perempuan dan Bunga-bunga  (Obsesi Press; STAIN Purwokerto. 2014). Sepotong Senja, Sepenggal Sangka (FAM Indonesia, 2016). Tinggal di Madura. Email: [email protected]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement