Kamis 02 May 2019 16:49 WIB

Hujan Terakhir

Bersama hujanlah ia menemukan segalanya, dengan hujanlah ia menemukan semuanya

Hujan Terakhir
Foto:

Kini anak ketiganya sedang sakit. Ia amat takut, cemas, dan risau. Cukup sudah sekali saja kehilangan buah hati dalam hidupnya. “Cukup sekali saja, Tuhan,” bisiknya bila terkenang masa-masa gelap itu.

Walaupun sakit, anak ketiganya itu tak henti-hentinya mengail di parit sekitar perumahan tempat ia tinggal. Tak sekali dua ia ingatkan, tapi anaknya tak peduli.

Bila pulang dari sekolah, anaknya pun pergi ke parit. Ia tak peduli pada pesan ayahnya dan pada ibunya. Anaknya itu betul-betul suka mengail di parit. Dan itu pun sebenarnya taklah aneh karena buah jatuh takkan jauh dari batangnya, kata bidal orang tua-tua.

Sewaktu kecil di kampung dahulu, ia memang suka pada sungai. Suka mengail, suka menjaring, suka menajur (menangkap ikan dengan pancing yang jorannya terbuat dari anak-anak kayu atau bambu yang dicacakkan di tepi sungai), suka merawai (menangkap ikan dengan pancing, talinya diikat pada tali besar yang merentang panjang di tepi sungai atau ke tengah sungai) dan merambat (menangakap ikan seperti cara orang menangguk ikan, tapi tangguknya sangat besar hingga mencapai 3 meter panjangnya). Ikan kala purnama mulai senyum malu di langit malam.

Apalagi kalau tatah atau atuknya yang mengajak. Ia amat senang ikut orang tua itu menangkap ikan kala malam. Di samping dapat duit sebagai hasil menemani kakeknya itu, ia juga suka dan amat senang dengan malam penuh bintang. Kalau malam itu hanya bulan yang timbul, ia pun menikmatinya di bagian kemudi perahu.

Ia berbaring menikmati angin malam dan menyaksikan bulan yang mencarak di langit. Sambil merambat ikan ke hilir, atuknya akan menyanyikan, atau mendendangkan, lagu-lagu selawat nabi, seperti thala’al badru ‘alaina, min tsaniyyatil wada’, wajabas syukru ‘alaina ma da’a lillahi da’a. Asyraqal badru alaina/ Fakhtafat minhu albudhuru, mitsla husnika maa’raina, qhattu ya wajhas sururi.

Bila ikan masuk ke angguh (alat menangkap ikan seperti sesauk atau tangguk tetapi lebih besar dan lebih panjang), atuknya, orang tua itu pun, mengingatkannya. “San, duduk. Pegang kemudi baik-baik. Kita dapat ikan.” Atuk pun mulai menggulung angguh. “Kurrih de de dihhhh,” kata kakeknya bahagia benar.

Matanya pun tak berkedip melihat ke alat menangkap ikan itu. Ikan apa gerangan yang tertangguk? Sebelum ikan dimasukkan ke dalam perahu, atuk pun mulai meraba-raba pusar ikan sambil tak henti-hentinya mendendangkan shalawat nabi dengan riang gembira. Mata Hasan pun tak lintar, tak berkedip-kedip melihat ke dalam angguh, melihat ikan apa gerangan yang tertangkap.

Walaupun masa kecilnya hampir saban saat bermain di air, dan sangat akrab dengan ikan, ia tetap tak mau kalau anaknya bermain air. Sungguh tak mau menyaksikan anaknya bermain di tepi parit. Ia amat takut kalau anaknya ditelan air parit. Padahal kalau dibandingkan dengan kedalaman sungai di kampungnya yang mencapi 30 depa, tentulah kedalaman parit di sekitar perumahannya tak sebanding dengan itu. Tapi itulah, ia tetap tak mau melihat anaknya main di parit.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement