Selasa 26 Mar 2019 15:24 WIB

Kalam Ilahi di Balik Jeruji Besi

Masa depan adalah labirin yang akan akan kujangkau dengan kegelapan

Kalam Ilahi di Balik Jeruji Besi
Foto:

Fa-ammaa-insaanu idzaa mabtalaahu rabbuhu fa-akramahu wana’aamahu fayaquulu rabbii akraman,” lantunan itu masuk ke gendang telingaku yang sedang tertidur pulas.

 

Setelah sebulan berada di hotel prodeo ini, ada seseorang yang mengaji saat subuh. Aku mengintip setelah mengendap-endap berjalan. Lantunan itu memberhentikan segala kesah yang terus membayangi. Suara itu mengingatkanku pada almarhum bapak.

Sebelum beliau meninggal, aku sering mendengar lantunan ayat suci tersebut. Kini, aku sungguh menyesal karena selalu menolak saat bapak akan membawaku ke masjid atau mengajariku cara membaca ayat-ayat suci Sang Khalik.

 

“Gih, mari masuk,” suara itu yang kukenal sebelumnya memberhentikan ingatanku tentang bapak.

 

Ngapain ngintip-ngintip. Sini ikut,” Mas Dim meraih tanganku dan memberikan sarung serta peci. Aku berjalan bingung.

Bagaimana bisa di tempat lapas ini ada perkumpulan orang-orang yang belajar agama. Aku seperti tersentil dengan kejadian ini. Saat menginjak lantai ruangan ini, udara sejuk masuk dan mengahampiri aorta tubuh.

 

Wajah-wajah yang kukenali selama di penjara tersenyum. Mereka menyambutku.

 

Selalu ada pintu pertobatan untuk manusia berdosa seperti kami, perkataan itu pernah dilontarkan ketua majelis hakim setelah membacakan hukuman vonis di persidanganku beberapa waktu lalu.

“Kau bisa membaca Alquran?” tanya Mas Dim.

 

“Belum,” malu-malu aku menjawab.

 

“Iqra?”

 

“Sedikit,” kataku ragu.

 

“Kukira kau fasih membaca Alquran. Pesantren di lapas ini didirikan dan sudah mendapat restu Kementerian Agama,” Mas Dim menjelaskan secara garis besar, lalu mengajakku untuk bergabung.

 

“Kami di sini akan sama-sama belajar. Tapi, ingat, dalam satu bulan kau harus sudah bisa menghafal satu ayat di luar kepala dan shalat lima waktu jangan sampai ketinggalan. Jangan main-main dengan aturan di pesantren ini,” ucapnya panjang lebar. Aku mengangguk tanda mengerti.

 

Aku belum percaya bahwa Mas Dim adalah salah seorang guru mengaji di lapas tersebut. Mas Dim menceritakan, dulu saat hendak bunuh diri di penjara, dirinya melihat teman lainnya sembahyang pukul 02.00. Sejak itu, dia kembali mengenal agama setelah berbelas tahun tak percaya tentang kehidupan selain dunia yang ditempatinya.

 

Mas Dim berusaha menata hidup di penjara. Memperbaiki segala hal yang kedengarannya seperti sudah telat dilaksanakan.

 

“Aku melakukan aktivitas sambil terus bergumam satu demi satu ayat sepanjang hari selama masa penahananku,” ungkapnya.

 

“Ada yang meragukan Mas Dim bisa berubah?”

 

“Seisi dunia mungkin berkata begitu, tapi Tuhanku tak pernah meragukan kesungguhanku.”

 

-- Ruang semesta, Januari 2018

TENTANG PENULIS

JULIA HARTINI lahir di Bandung, 19 Juli 1992. Alumnus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Pernah berkegiatan di Arena Studi Apresiasi Sastra UPI dan Unit Pers Mahasiswa ISOLAPOS UPI. Tulisannya mendarat di media cetak maupun online. Selain itu, tulisan-tulisannya tergabung dalam beberapa antologi bersama, baik yang diterbitkan dewan kesenian kota/kabupaten maupun komunitas. Saat ini mengelola blog pribadinya di http://www.akujulia.tumblr.com agar karya yang lahir bisa diapresiasi pembaca

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement