Kamis 21 Mar 2019 14:58 WIB

Di Tengah Desing Mesin

Jamil menggigil di kamar ketika tentara menginterogasi emak di teras rumah

Di Tengah Deru Mesin
Foto: Rendra Purnama/ Republika
Di Tengah Deru Mesin

Selepas kepergian Ayah, kami melewati berbagai peristiwa. Satu hari, Jamil, putra angkat Emak, datang ke rumah. Peluh memenuhi tubuh. Tangan kanannya menekan sekuat tenaga perut. Warna merah keluar lewat sela jari.

"Mak, tolong obati saya. Baru saja tertembak di kaki Gunung Beuriget oleh aparat kemaanan negara yang menyisir hutan." Jamil memelas, napasnya tersengal, berhembus sangat pelan.

Emak memerintahkanku membawanya ke kamar. Di atas dipan bambu. Membuka baju dan celana Jamil, menggantikannya dengan kain sarung. Tubuhnya lunglai, tak begerak. Pingsan.

Wanita yang paling kuhormati itu memeriksa luka di perut sisi kanan putra angkatnya. Ayah Jamil telah lama meninggal dunia. Sejak kecil, Emak merawatnya, bahkan tak membedakan antara aku dan Jamil.

Belakangan, Jamil ikut latihan militer bersama gerilyawan di pinggir Sungai Kereto, nun jauh di jantung hutan. Lama tak terlihat Jamil di desa dan tiba-tiba wajahnya muncul dengan luka tembak menganga.

"Untung, peluru hanya mengelupas kulit perutnya, tak merobek usus. Seminggu ini dia akan pulih," kata Emak mengusap rambut ikal Jamil yang menjuntai ke bahu.

Situasi keamanan kian tak menentu. Aparat negara berseragam loreng, padu padan warna hijau, hitam, dan cokelat menyisir kampung nyaris setiap menit. Rasanya tak ada sejengkal tanah pun yang bebas dari pantauan mereka.

Tank, panser, hingga berbagai senjata laras panjang seperti dalam aksi film laga terlihat saban hari ketika mereka memerik sa perumahan warga, melewati semak-semak, dan sebagiannya menapaki pelan jalan desa.

"Ibu ada lihat gerilyawan lewat sini?" tanya seorang militer bersurban di kepala. Lengan kanannya dibalut pita hitam.

"Gerilyawan itu apa ya, Nak?"

"Oh ... Ibu tak tahu arti gerilyawan. GAM bu. GAM, gerakan separatis itu ibu pernah lihat?"

Seulas senyum tersungging di bibir wanita ringkih itu. Emak mencoba menghilangkan rasa takutnya diinterogasi tentara. Sepanjang hidupnya, berhubungan dengan tentara dengan cara diintrogasi baru hari itu dirasakannya. Ketika remaja, sebagai perawat, dia turut membantu tentara yang terluka dalam aksi massa 1965.

"Kalau saya bilang tak pernah lihat, Nak, tentara pasti bilang saya bohong. Saya pernah lihat. Mereka lewat-lewat di jalan ini sesekali," jawab Emak.

Sang tentara tertawa dan mengakui jawaban jujur Ibu. Di dalam kamar, Jamil menggigil ketakutan. Melihat interograsi tentara pada Emak dari sela dinding kamar. Tangannya memegang senjata, panjangnya sedepan. Menurut Jamil, senjata itu hanya bisa meledak satu-satu. Manual, karena dibuat sendiri olehnya.

"Boleh kami masuk ke rumah?" tanya tentara itu lagi. Emak bahkan tak memperlihatkan perubahan raut muka. Wajahnya terlihat santai. Berupaya setenang mungkin. Di dalam rumah dia tahu putra angkatnya terbaring lemah. Lengkap dengan senjata di bawah bantal.

Dua tentara masuk ke rumah, memeriksa mulai dapur hingga tempat tidur. Mendengar ucapan Emak angkatnya, Jamil pun pura-pura tidur. Sang ibu mengusap rambutnya, meminta Jamil bangun karena ada tamu.

"Tak usah Bu. Tak usah. Biar saja dia tidur. Kalau lagi demam memang bawaan tubuh kita mau istirahat terus," jawab sang tentara.

Dalam hati, Emak terbahak. Jamil bak lolos dari lubang jarum. Bagi Emak, batas umur manusia di bumi sudah tercatat sejak lahir. Dan, hari itu, belum habis masa waktu Jamil tinggal di bumi. Seandainya tentara itu memeriksa bantal Jamil, pasti putranya hari itu sudah ditangkap. Tak tertutup kemungkinan ditembak mati.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement