Selasa 21 Apr 2015 13:00 WIB

Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perludem: Logika Anggaran Tidak Ketemu Dengan Logika Tahapan

Red:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apa komentar Perludem melihat per soalan pilkada serentak yang mencuat saat ini?

Ketika pembahasan revisi UU Pilkada kita sudah sampaikan dua alasan utama ke napa pilkada serentak perlu dise leng ga rakan Juni 2016. Pertama, konsolidasi in ternal partai. Akibat pilpres, terjadi frag mentasi internal partai. Karena itu, perlu waktu cukup untuk membangun konsolidasi internal, sehingga saat pilkada partai betul-betul solid mengusung calon. Kalau 2015 masih terlalu tergesa-gesa, karena proses pilpres masih sangat terasa, terutama dalam kasus Golkar dan PPP.

Kedua, soal anggaran. Harus diakui pilkada kita ini sempat berada di antara keragu-raguan. Sejak Oktober ada perppu pilkada langsung, tapi masih ada keraguan ditolak atau diterima DPR. Memang akhir nya diterima oleh DPR pada 26 Januari 2015, tapi saat itu APBD-APBD kan sudah disahkan. Padahal, dalam perppu, pasal 200, disebutkan bahwa pembiayaan pil kada bersumber dari APBD.

Nah, selain 201 daerah yang AMJ (akhir masa jabatan) kepala daerahnya 2015, saat dilakukan revisi UU Pilkada, ju ga ditambah 68 daerah lagi yang AMJ-nya 2016 ditarik ke 2015. Padahal, daerah-daerah ini sama sekali tidak tidak berpikir untuk mengalokasikan dana pilkada dalam APBD 2015.

Kabarnya akan ada pembengkakan ang garan dalam pilkada?

Ya. Pertama, karena empat metode kampanye (debat terbuka kandidat, pengadaan bahan kampanye, penyebaran alat peraga, dan penyediaan alat peraga) dibia yai negara, dalam hal ini daerah.

Kedua, ada petugas baru yang bernama pengawas TPS. Misalnya kami di Tangerang Se latan ada 1.800 TPS, berarti ada 1.800 orang baru yang akan direkrut, dan itu perlu bia ya. Bagaimana dengan kesanggupan dae rah?

Kalau pilkadanya 2016, perhitungan, kalkulasi ini bisa dilakukan dengan baik, sehingga bisa mengukur kesiapan daerah. Selain kita berharap waktu itu, pembiayaan anggaran itu tidak semua dari APBD, tapi juga ada dukungan dari APBN.

Anggaran karena kampanye dan pe nam bahan petugas kontribusinya buat penambahan anggaran bisa berapa persen?

Sangat besar. Kalau ada lima kandidat bupati, dan setiap orang menghabiskan Rp 500 juta untuk pengadaan alat peraga saja, dikali lima kan sudah Rp 2,5 miliar. Itu pasti akan membebani anggaran daerah, terutama daerah otonom baru yang secara anggaran bisa jadi belum stabil.

Kalau dari hitung-hitungan kita, di Jabar, misalnya, kampanyenya Ahmad Heryawan untuk empat metode ini mengha biskan hampir 70 persen dari dana kampanye yang mereka keluarkan. Nah, kalau misalnya seorang calon gubenur menghabiskan dengan Rp 25 miliar,70 persennya itu besar kan. Dan itu harus ditanggung oleh APBD.

Nah, untuk pengawas TPS, kalau di satu daerah ada seribu TPS, dan pengawas TPS ini bekerja 23 hari, itu kan setiap pengawas TPS sama saja harus menerima gaji sebulan. Nah, kalau sebulan dibayar Rp 500 ribu, dikali seribu TPS, kan sudah Rp 500 juta. Kalau ukuran Jakarta me mang kecil, tapi bagaimana dengan daerah kecil? Kita khawatir nanti malah diambil dari angaran untuk pelayanan publik.

Dari 269 daerah, berapa yang sudah firm anggarannya?

Kita nggak punya datanya. Kita baru me lakukan sampling di 30 daerah. Ratarata baru komitmen, belum bisa direa lisa sikan. Karena Nota Perjanjian Hibah Dae rah (NPHD) belum bisa ditanda tangani KPUD dengan pemda. Kalau anggaran sudah ada di APBD, kalau belum ada di perjanjian, kan belum bisa dikatakan dana itu ada.

NPHD itu syaratnya dua. Pertama, permendagri, sebagai rujukan penggunaan anggaran. Tapi, sampai saat ini (Kamis, 16 April –Red) revisi Permendagri Nomor 57/2009 sebagai acuan penggunaan ang garan, belum selesai. Kedua, peraturan KPU soal tahapan dan jadwal sampai saat ini masih berupa draf, belum diberi nomor di Kemenkumham.

Karena itu kami meminta KPU ter buka, umumkan kepada publik mana dae rah yang siap, mana yang anggaran ter sedia tapi kurang, dan mana daerah yang anggarannya sama sekali tidak tersedia. Sampai sekarang kan KPU tidak merilis data itu.

Kedua kita mendesak Kemendagri se gera menunjukkan langkah konkret. Kalau kita baca di koran, kemendagri bilang tidak ada masalah dengan anggaran. Tapi kalau revisi Permendagri sebagai dasar hukum untuk mencairkan anggaran tidak ada, ba gaimana?

Sekarang soal anggaran masih ber masalah, padahal berdasarkan draf PKPU tentang tahapan dan jadwal, rekrutmen petugas ad hoc pelaksana pilkada sudah harus dilakukan 17 April. Nah, bagaimana mungkin tahapan berjalan, tapi logika tahapan tidak bertemu dengan logika anggaran?

Kalau anggaran pilkada membengkak, ada kemungkinan biaya pilkada yang disetujui pemda tak sesuai dengan yang diajukan KPU?

Sangat mungkin ada. Contohnya KPUD Nias Selatan mengajukan Rp 39 mi liar belum disetujui; Gunung Sitoli meng ajukan Rp 13 miliar baru disetujui 23 per sen; Mandailing Natal mengajukan Rp 25 miliar belum disetujui; Tanjung Jabung Barat mengajukan Rp 15 miliar belum disetujui; Pemalang minta Rp 30 miliar baru disetujui 17 persen; Demak minta Rp 17 miliar baru disetujui 24 persen. Daerahdaerah ini pun belum terkonfirmasi, apa kah yang diajukan itu sudah termasuk bia ya kampanye atau belum.

KPUD Poso mengajukan 16 miliar dan di setujui Rp 15 miliar. Tapi, itu belum ter masuk item kampanye. Indra Giri Hulu juga begitu, mengajukan Rp 19 miliar, disetujui Rp 17,6 miliar, tapi belum ter masuk kampanye.

Pilkada serentak 2015 ini dipaksakan ya?

Terkesan begitu. 

Harun Husein

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement