Jumat 21 Mar 2014 10:40 WIB

Ini Solusi Irmanputra Sidin Pascaputusan MK

Pakar Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin
Pakar Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara, Irmanputra Sidin, menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak perkara yang diajukan Yusril Ihza Mahendra memiliki alasan rasional. Namun, dia berpendapat, bila dikabulkan perkara tersebut, maka rakyat diberikan pilihan sesuai dengan harapannya.

"Dengan munculnya berbagai pilihan aneka prasmanan pasangan capres, maka suka atau tidak akan menggiring rakyat untuk memilih menggunakan rasionalitasnya, bukan sekedar elektabilitas atau popularitas dari pasangan capres. Bagaimana pun elektabilitas dan popularitas sesungguhnya “hantu” dalam proses konstitusi kita," kata dia dalam pernyataan yang diterima Republika, Jumat (21/3) pagi.

Sebelumnya, pada Kamis (20/3), MK memutuskan perkara No 108/PUU XI/2013 yang menolak permohonan Yusril Ihza Mahendra soal pengajuan calon presiden yang selama ini dibatasi hanya bagi partai politik (parpol) yang meraih kursi 20 persen. Perkara sejenis, kata Irman, sudah beberapa kali diuji di MK dan terakhir putusan pemilu serentak yang diajukan Effendy Gazali.

Namun, saya pribadi mengharapkan MK mengabulkan permohonan tersebut mengingat implikasi, jikalau dikabulkan maka, rakyat  ada harapan, bahwa parpol parpol yang sudah diberikan hak eksklusif sebagai  satu satunya organisasi yang bisa mengusulkan pasangan capres, masing masing bisa memanfaatkan hak eksklusif tersebut guna mengajukan pasangan capresnya masing masing. Pilihan pasangan capres kemungkinan maksimal bisa 15 pasang karena peserta pemilu ada 15 parpol termasuk parpol local. 

"Dengan putusan MK ini, maka harapan agar parpol bisa menggunakan hak eksklusif untuk dapat mengajukan pasangan capres adalah dengan segera merevisi secara cepat UU Pilpres sebelum pengusulan pasangan calon presiden pascapemilu 9 April 2014," kata Irman. Usulan itu agar DPR dan Presiden sepakat menurunkan ambang batas presidensial hingga ke titik ambang batas parlemen atau bahkan 0 persen.

Kekhawatiran konstitusional, lanjutnya, adalah jika parpol yang sudah menjadi peserta pemilu enggan dan tidak kompak untuk memaksimalkan penggunaaan hak eksklusif dalam mengajukan pasangan capresnya masing masing. Karena itu, ke depan, logika konstitusionalnya tidak perlu lagi ada hak eksklusif yang, tapi diberikan hanya kepada parpol untuk mengusulkan pasangan capres.

Untuk itulah, sambung Irman, ke depan perlu dipikirkan ormas “istimewa” yang sudah berjuang sejak prakemerdekaan seperti Muhammadiyah dan sejenisnya juga bisa mengusulkan pasangan capres. "Bahkan kalau perlu memunculkan pasangan capres perseorangan seperti yang sudah berlangsung dalam pilkada selama ini."

Untuk contoh, jika ada parpol yang secara mandiri mampu meraih 20 - 25 persen perolehan kursi, maka parpol lain yang tidak memenuhi ambang batas bisa bergabung (meleburkan diri). Itu ditujukan untuk mengusulkan pasangan capres dan memenuhi ambang presidensial bagi kepesertaan pemilu berikutnya.

"Desain ini menjadi penting agar parpol yang sudah diberikan hak eksklusif oleh rakyat, percaya diri mengajukan pasangan capres, tidak menyia-nyiakan hak eksklusif itu, karena semua ini menyangkut kepercayaan konstitusional rakyat, hanya kepada parpol. Tidak kepada yang lain, yang bisa mengajukan pasangan capres. Karenanya jangan sia siakan itu," kata dia.

Mention Yukk, Satu jenis kosmetik yang ada di Meja rias Kamu!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement