Kamis 13 Mar 2014 10:06 WIB

The Act of Killing (2)

HM Subarkah
Foto: Republika/Daan
HM Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhaammad Subarkah

Sama dengan ibu, Ayah saya yang merupakan pegawai negeri yang juga kerapkali menjadi tukang khutbah Jumat di masjid itu memang merasa ada hal yang aneh. Menjelang akhir September 1965 rumah itu dipadati banyak orang. Kesan dari luar mereka melakukan rapat. Tapi ganjilnya rapat itu dilakukan di dalam rumah pada malam hari dengan suasana gelap. Meski rumah itu ramai dikunjungi orang tapi lampu dipadamkan.

''Banyak sekali orang yang datang. Tapi lampu kok tidak dinyalakan. Dari kejauhan kadang terdengar suara orang menyanyi dengan semangat. Kesannya seperti rapat partai,'' tukas ayah saya. Yang membuat ayah semakin heran adalah sikap dari salah satu penghuni rumah itu yang sempat sejenak ngobrol bersama ketika bertemu di jalan. Kata dia:''Pak kalau nanti ada tersiar kabar radio dari Jakarta jangan jangan gelisah. Jangan terlalu dipikirkan!''

Meski berbeda aliran politik ayah dan ibu sebagai tetangga satu kampung hidup dengan baik. Saling menyapa dan mengunjungi. Bedanya si tetangga itu suka banget ngomong politik sedangkan ayah saya lebih suka ngomong soal agama. Mereka akrab dipertemukan dalam permainan catur.  Menurut ayah sikap tetangganya yang beda aliran itu pun cukup unik.

Selain membenarkan cerita ibu saya soal pembuatan lubang di tengah rumah dan lamanya tempat itu tak ditinggali kembali, ayah saya mengisahkan pada awal Oktober 1965 dalam sepekan hampir tak ada bus yang bertolak dan datang dari Jakarta ke Ajibarang. Terminal tiba-tba kosong. Bus yang tak ada yang beroperasi. Di radio muncul pertanyaan simpang siur, Letkol Untung berpidato soal Dewan Jendral pada pagi hari dan petang hari ada pidato dari Pangkostard Mayjen Soeharto bahwa telah terjadi sebuah kudeta dan Presiden Soekarno dalam keadaan selamat dan aman.

Suasana makin tak menentu ketika beberapa pekan kemudian muncul selebaran yang berisi daftar orang yang akan dibunuh. Ayah mengingat betul salah satu nama yang ada dalam daftar itu oleh kyai berpengaruh yang tinggal di sebuah pesantren di dekat Ajibarang,KH Yusuf (ayahanda Ketua PBNU Slamet Effendy Yusuf). Ayah selalu bercerita soal sosok kyai ini karena selain mampu berbahasa Arab dengan sangat bagus, Kiai Yusuf adalah seorang 'hafidz' Alquran. Bersama beliau ayah sempat mendirikan sebuah sekolah menengah Nahdlatul Ulama yang diberi nama Sekolah Menengah Pertama Pangeran Diponegoro.

Mencekamnya suasana, makin terjadi ketika kemudian terjadi penangkapan besar-besaran anggota PKI. Sebagian orang memang tak diketahui nasibnya, namun sebagian diantara mereka beberapa tahun kemudian ada yang bisa pulang ke rumah kembali. Isu perang saudara merebak kuat. Yang paling konyol  lagi sebagian sawah eyang yang berada di Cilacap sudah dirampas massa PKI dengan alasan 'pembagian tanah'. Padahal sawah itu dibeli dari hasil menabung selama sepuluh tahun gaji ayah saya sebagai guru.

Adik ibu saya yang saat itu menjadi aktivis remaja NU pun sudah pergi ke sebuah pesantren di wilayah lain di Banyumas untuk mencari ilmu kebal tubuh. Menurut dia, saat itu zaman mengharuskan dirinya untuk siap berkelahi karena pilihannya sudah dibunuh atau terbunuh.

''Saat itu para lelaki di kampung tak ada yang berani tidur di rumah pada malam hari. Mereka pergi sembunyi. Provokasi pemuda rakyat saat itu sudah sangat hebat.Kami menjaga pesantren karena dikabarkan akan diserbu dan kyai kami akan diangkut,'' katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement