Selasa 28 Jan 2014 18:21 WIB

Majelis Etik Diminta Selidiki Penundaan Pembacaan Putusan MK

Spanduk sosialisasi pemilu terpasang di jalan Rawajati Timur, Jakarta, Ahad (29/12). jenis media sosial dan teknologi informasi bisa dimanfaatkan KPU untuk meningkatkan partisipasi, keingintahuan, serta aktifitas masyarakat dalam pelaksanaan pemilu 2014.
Foto: Tahta Aidilla/ Republika
Spanduk sosialisasi pemilu terpasang di jalan Rawajati Timur, Jakarta, Ahad (29/12). jenis media sosial dan teknologi informasi bisa dimanfaatkan KPU untuk meningkatkan partisipasi, keingintahuan, serta aktifitas masyarakat dalam pelaksanaan pemilu 2014.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan rektor UIN Bandung Prof Nanat Fatah Natsir mendesak Majelis Etik Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menyelidiki penyebab penundaan pembacaan putusan uji UU Nomor 42/2008. 

"Mengapa putusan itu baru dibacakan baru-baru ini? Padahal, menurut mantan Ketua MK Mahfud MD, perkara itu sudah diputuskan pada Maret 2013," kata Nanat di Jakarta, Selasa (28/1)

Direktur Madani Nusantara itu mengatakan penundaan pembacaan putusan tersebut bisa menjadi preseden buruk bagi MK. Karenanya, hal itu harus diselidiki agar kejadian serupa tak terulang.

Apalagi, hal itu menimbulkan kecurigaan di masyarakat karena pengganti Mahfud MD, Akil Mochtar ternyata memiliki catatan buruk setelah disangka melakukan manipulasi hasil sengketa pilkada untuk kepentingan pribadi.

"Bukan bermaksud menuduh, tetapi akan lebih baik kalau alasan penundaan pembacaan putusan itu diselidiki oleh MK. Sebab, pembacaan putusan yang dilakukan beberapa waktu lalu membawa dampak bagi penyelenggaraan pemilu 2014," tuturnya.

Anggota Presidium Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) itu mengatakan MK sudah menyatakan, pemisahan pileg dan pilpres bersifat inkonstitusional.

Namun, karena pembacaan putusan yang terlalu mepet, akhirnya pemilu 2014 tetap terpisah. "Apakah memang dibuat seperti itu? Karena itu Majelis Etik MK harus menyelidiki," ujarnya.

MK mengabulkan pengujian Undang-Undang Nomor 42/2008 tentang Pilpres terkait pelaksanaan pemilu serentak pada 2019 dan seterusnya.

"Menyatakan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Amar putusan dalam angka 1 tersebut di atas berlaku untuk penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya," kata Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva, saat membacakan amar putusan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement