Selasa 31 Jan 2012 16:23 WIB

Teater Magnit Ngawi Pentaskan “Penagih Hutang” versi Bahasa Jawa

Pentas Teater Magnit Ngawi
Foto: Foto-foto: Khoirul Anwar
Pentas Teater Magnit Ngawi

 

Posturnya tinggi-besar, tangan kanan tato kupu-kupu “woyo-woyo”, tangan kiri tato “play boy”, wajahnya dekil, dan kumisnya seperti “susuh manuk” melintang tak karuan di atas bibirnya yang tebal khas orang Rusia. Tetapi, kalau diamati kumis itu mirip sekali dengan kumis para warok reog atau laki-laki Madura. Suaranya lantang dengan baju gaya preman, membuat keder yang melihatnya. Dialah sang penagih hutang atau debt collector.

Postur, gaya berpakaian dan bicara sangat cocok menggambarkan penagih hutang yang keras, raja tega dan suka kekerasan. Namun, benarkah demikian dengan sang penagih hutang dalam pentas teater kali ini?

Nagih utang ngalor ngidul, ora ana sing nyaur. Padha alasan durung duwe duwit, alasan awake pating greges utawa omahe tutupan mergo nglungani tekaku. Bajindul tenan! Utang gampang nyaure angel (menagih hutang kesana kemari, tidak ada yang membayar. Beralasan belum punya uang, alasan badannya meriang atau pintu rumah tertutup sebab menghindar dariku. Bajindul tenan! Hutangnya mudah kalau bayarnya susah),” kata Jayus (penagih hutang/tamu).

Ternyata tidak semua penagih hutang, meski memiliki wajah seram, berhasil dalam menjalankan misinya. Bahkan tidak jarang harus pulang dengan tangan kosong, padahal dia bekerja untuk mendapatkan bayaran sesuai dengan kesuksesan tugas yang diembannya. 

Begitu halnya, tidak semua penghutang menjadi keder melihat kedatangan penagih hutang, malah ada yang berani menantangnya. Seperti yang tergambar dalam lakon ini, Nyonya (seorang janda) tidak sedikit pun merasa gentar berhadapan dengan penagih hutang yang berwajah seram dan lantang suaranya.

Si Nyonya, yang berwajah cantik dan lembut suaranya, ini bukannya tidak mau melunasi hutang-hutang suaminya. Tetapi, memang dia masih ingin berkabung dan tidak ingin membahas masalah tetek bengek duniawiyah. 

Nyonya akan melunasi hutang suaminya barang seminggu atau dua minggu, bukan sekarang, itu janjinya. Dapat dipastikan, kengototan dari kedua pihak (penagih hutang dan Nyonya) membuahkan pertengkaran mulut. Klimaksnya adalah keduanya saling beradu ilmu yakni menembak dengan pistol yang dimiliki.

Sang Nyonya, yang lembut tadi, ternyata tidak bisa menggunakan pistol, dan dia minta diajari terlebih dahulu cara menggunakannya pada penagih hutang. Sang penagih hutang dengan sabar mengajari sang Nyonya cara menggunakan pistol. 

Di tengah ajar-mengajar inilah, sang penagih hutang jatuh cinta, walau sebenarnya bibit cinta itu sudah dirasakan pertama kali dia datang di rumah Nyonya itu. Tatapan matanya, kelembutannya, ketegasannya, bahkan sikap teguhnya sang Nyonya membuat sang penagih hutang tak berkutik, rasa cintanya tumbuh. Akhirnya, sang penagih hutang mengurungkan tantangan tembak-menembak dan malah mengutarakan cintanya. Apa yang terjadi selanjutnya?

Sang Nyonya menolak, dia mengusir sang penagih hutang. Dengan langkah berat, sang penagih hutang meninggalkan rumah sang Nyonya, namun nyonya menghentikannya. Tidak dinyana, sang Nyonya ternyata juga jatuh hati. Singkat cerita, keduanya saling jatuh cinta meski hutangnya tetap harus dilunasi oleh sang Nyonya.

Inilah sepenggal kisah drama yang dibawakan kelompok Teater Magnit Ngawi pada Sabtu Malam (28/01/2012) di Aula Kemenag Ngawi. Naskah drama karya Anton Chekov, yang dalam versi Bahasa Indonesia-nya diterjemahkan oleh Landung Simatupang, ini disadur oleh Kuspriyanto Namma.

Supaya mempunyai warna baru, oleh Pak Kus (sapaan akrab Kuspriyanto Namma) naskah itu dirubah ke dalam Bahasa Jawa. Dapat dipastikan, sepanjang dialog mengundang kelucuan-kelucuan. Apalagi, yang memainkan lakon tersebut usianya masih terbilang remaja, tentu semakin mengundang tawa penonton tanpa menghilangkan inti dari drama tersebut.

Khoirul Anwar

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement