Rabu 07 Dec 2011 14:20 WIB

Yudi Pawitan, Sosok Sederhana yang Menginspirasi

Professor Yudi Pawitan saat bertemu dengan PPI Swedia akhir November 2011.
Foto: Isroi/PPI Swedia
Professor Yudi Pawitan saat bertemu dengan PPI Swedia akhir November 2011.

Tulisan singkat ini merupakan sebuah rangkuman yang dibuat oleh para mahasiswa Indonesia di Gothenburg Swedia sebagai bentuk penghargaan terhadap sosok Yudi Pawitan.

Kesibukan mahasiswa Indonesia di Gothenburg pada Sabtu sore itu tampak berbeda. Sejak Jumat, para mahasiswi sibuk mempersiapkan makanan di rumah masing-masing. Di lain pihak, para mahasiswa putra sibuk bahu-membahu mengurus detil persiapan acara sarasehan yang digelar pada Sabtu 26 November 2011.

Bukanlah seorang pejabat atau artis yang akan kami sambut, melainkan seorang ilmuwan yang memiliki kursi professorship di Karolinska Institute Stockholm. Karolinska Institute adalah salah satu universitas medis terbaik di muka bumi ini. Setiap tahun Karolinska Institute menyeleksi peraih gelar nobel di bidang kedokteran bersama Royal Swedish Academy of Science.

Setelah waktu menunjukkan pukul 3 di sabtu sore itu, tamu spesial yang kami tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Ia adalah Professor Yudi Pawitan, seorang yang telah lebih dari 30 tahun malang-melintang dalam dunia statistika, khususnya biostatistik, di dunia.

Kiprah Yudi Pawitan dalam dunia biostatistik dan genetika sudah diakui di level internasional. Selain aktif menulis publikasi ilmiah di berbagai jurnal kedokteran, ia juga telah menulis dua buah text boox: "In All Likelihood: Statistical modelling and inference using likelihood" yang diterbitkan oleh Oxford University Press tahun 2001 dan "Generalized Linear Models with Random Effects" pada tahun 2006 bersama professor Lee dan Professor Nelder.

Kesan pertama bertemu dengan beliau, tampak terpancar sosok yang penuh kesederhanaan dibalut keramahan khas orang Indonesia. Penampilannya mirip seperti mahasiswa dengan membawa tas kulit tua yang terselempang di pundak. Ia dengan ramah menyapa setiap mahasiswa dengan bahasa Indonesia yang beraksen Inggris kental. Sore itu beliau memang dijadwalkan untuk memberikan materi pada sarasehan PPI Swedia di Chalmers University of Technology, Gothenburg, Swedia.

Kisah kehidupan Yudi di Indonesia

Secara rendah hati dan terbuka, Professor Yudi membagikan refleksi perjalanan hidupnya sebagai seorang peneliti yang membangun karier akademis di manca negara. Yudi pawitan dilahirkan di kota hujan Bogor pada tahun 1960. Tumbuh dari keluarga pedagang yang sederhana dimana ayahnya bekerja sebagai pedagang batik dan ibunya sebagai ibu rumah tangga.

Sebagai seorang remaja, Yudi muda telah memiliki motivasi yang kuat untuk menjadi seorang ilmuwan walau ia masih duduk di bangku SMA Regina Pacis Bogor. Setamat SMA pada tahun 1977, Yudi muda melanjutkan kuliah di jurusan statistik di Institut Pertanian Bogor, yang saat itu bisa dikatakan memiliki program studi statistik terbaik di Indonesia.

Sempat terbersit keinginan kuat untuk menjadi dosen IPB setelah Yudi muda menamatkan gelar sarjananya, namun perjalanan hidup akhirnya membawa Yudi muda bekerja di perusahaan swasta yang bergerak di bidang komputer di Jakarta. Pria yang hingga saat ini tidak memiliki mobil ini pun bertutur ”Ada satu waktu dimana saya mungkin akan bekerja di swasta selamanya kalau kakak saya tidak aktif mendorong saya untuk melanjutkan studi lanjut ke Amerika”.

Memulai karir sebagai akademisi di mancanegara

Kurang dari setahun bekerja, komunikasi yang intensif dengan sang kakak (Professor Hidayat Pawitan, dosen di IPB Bogor) yang sedang kuliah di negeri Paman Sam akhirnya membulatkan tekad Yudi muda untuk menuntut ilmu ke tempat yang sama. Singkat cerita, pada tahun 1983, Yudi muda melamar dan diterima di program master di bidang statistik di University of California Davis (UCLA Davis). Cita cita sebagai seorang peneliti semakin mendekati kenyataan ketika gelar MSc dan PhD di bidang statistik, khususnya Time Series Analysis diselesaikan Yudi muda di tahun 1987.

Menurut Professor Yudi, ada dua faktor yang mempengaruhi perjalanan hidup beliau yaitu keinginan kuat menjadi peneliti dan keberuntungan. Semua orang bisa mengikuti jejak beliau untuk menjadi peneliti atau ilmuwan di manca negara bila sudah memiliki faktor pertama. Selain itu, ia selalu merasa bahwa ia menjadi orang yang paling beruntung. Pada tahun 80an memang tak bisa dipungkiri biaya kuliah di UCLA Davis relatif rendah. Selain itu, banyak dukungan dana dari universitas dalam bentuk tunjangan sebagai Research Assistant atau Teaching Assistant yang membuka kesempatan bagi siapapun untuk menyelesaikan studi di AS tanpa memerlukan sumber pendanaan dari beasiswa.

Namun, motivasi kuat dan sikap pantang menyerah adalah kunci utama untuk bisa belajar maupun berkarier di luar negeri. Selain itu, kemampuan orang Indonesia secara intelektual cukup sejajar dengan bangsa lain, misalnya China atau India yang saat ini cukup mendominasi penelitian untuk sains dan teknologi

Setamat dari UCLA Davis, Professor Yudi bekerja sebagai staf pengajar dan riset (Assistant Professor) di bidang Bio-Statistics (Clinical Trials dan Radiology) di University of Washington, Seattle. Di tempat inilah Professor Yudi menemukan tambatan hatinya seorang wanita asal Irlandia yang saat itu sedang menempuh pendidikan S3 di universitas yang sama.

Setelah menjalani karir akademis di Amerika Serikat selama empat tahun hingga tahun 1991, Professor Yudi Pawitan memutuskan untuk hijrah ke Irlandia bersama keluarganya dan mengajar di National University of Ireland sampai tahun 2001. Dalam pekerjaan baru di Irlandia ini, Professor Yudi banyak menghabiskan waktu baik untuk mengajar dan melakukan riset. Setelah berkiprah selama 10 tahun, ia sampai pada satu titik dimana ia memutuskan untuk memfokuskan diri meneliti. Ia pun menuturkan bahwa salah satu periode tersulit hidupnya pada saat ia harus mengajar sambil meneliti di Irlandia.

Begulat dengan riset kanker di Swedia

Suatu kebetulan pada tahun 2001, Karolinska Institute di Stockholm membuka lowongan posisi professor di bidang Bio-Statistik, Professor Yudi pun tertarik dan ingin mencoba karier akademis sebagai peneliti di Swedia. Professor Yudi akhirnya bergabung di Department of Medical Epidemiology and Biostatistics, dengan fokus penelitian dalam bidang statistical genetics dan molecular biology yang terkait dengan penelitian kanker. Suatu pilihan yang tepat karena ternyata penelitian dibidang statistik di Swedia jauh lebih berkembang karena tersedianya data dan informasi secara terorganisir.

Sejak lahir, penduduk Swedia sudah diberikan person number, satu nomor identifikasi tunggal kependudukan yang dipergunakan untuk berbagai keperluan. Nomor identitas ini diperlukan baik untuk membuka rekening bank, sekolah, perawatan kesehatan bahkan sampai membayar denda parkir. Dengan ini, data penduduk Swedia sudah terdokumentasi dengan baik dan memudahkan olah data statistik untuk berbagai keperluan studi.

Ia sedikit berbagi tentang riset yang ia geluti saat ini yaitu tentang pentingnya menghitung probabilitas pasien kanker untuk menerima therapi kanker. Seperti yang kita ketahui, therapi kanker merupakan salah satu therapi termahal di dunia. Di negara seperti Swedia, pemerintah menanggung sebagian besar biaya pengobatan warganya. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi yang tepat untuk menentukan pasien kanker mana yang akan menerima keuntungan besar dengan menjalani therapi. Hal ini menjadi informasi yang penting bagi dokter untuk menentukan langkah medis yang tepat terhadap pasien kanker.

Dengan bantuan slide power point yang sudah dipersiapkan, Professor Yudi membagikan refleksi beliau mengenai perkembangan penelitian dan tantangan yang dihadapi dunia akademis di Indonesia dalam konteks persaingan dengan negara lain. Swedia sendiri memiliki penelitian yang maju dengan dukungan pendanaan dari dunia usaha, sedangkan dana penelitian dari pemerintah sendiri relatif kecil.

Dijelaskan pula adanya hubungan antara perkembangan iptek dan penelitian dengan faktor budaya, pembagian peran dan tanggung jawab antara peneliti, pengajar dan administrator, infrastruktur pendukung, penegakan hukum dan dukungan dana dari pemerintah maupun swasta. Peran pemerintah dan dunia bisnis (swasta) dalam mengembangkan penelitian adalah satu aspek penting demi kemajuan iptek di setiap negara. Peranan ilmuwan sendiri dalam membantu institusi pemerintahan untuk memutuskan kebijakan publik juga akan membantu kemajuan penelitian di Indonesia.

Untuk menjadi peneliti yang baik, seorang cendekiawan mesti belajar mencari pertanyaan yang relevan dan menarik untuk dikembangkan, mampu memotivasi diri untuk maju, berkolaborasi dengan cendekiawan lain dan bergaul dalam suatu lingkungan yang kondusif. Beliau juga menekankan pentingnya untuk fokus pada keahlian kita karena tidak ada yang ahli di semua bidang. Dengan menjadi ahli di bidang yang kita geluti, terbuka peluang untuk bersinergi dengan bidang penelitian lainnya. Dalam meniti karir kita sebaiknya pandai melihat peluang dan cepat memanfaatkan. Setelah didapat, kita jalani dengan sebaik-baiknya.

Professor yang gemar bermain bulutangkis ini pun menambahkan ”Beranilah mengambil keputusan untuk melakukan perubahan dalam berkarir apabila memang kondisinya tidak seperti yang kita inginkan dan janganlah melakukan sesuatu yang memang tidak kita sukai”.

Dalam kesempatannya bertemu dengan mahasiswa Indonesia, Professor Yudi banyak memberikan jawaban dan saran atas beragam pertanyaan baik dari pertanyaan mengenai kesulitan pendanaan untuk riset di Indonesia, sistem yg kurang kondusif untuk perkembangan penelitian, birokrasi pemerintahan yang gemuk dan peran universitas untuk riset. Tak lupa ia banyak memberikan pesan-pesan moral tentang berbagai hal yang terkait pendidikan, tips menjadi peneliti yang baik, mengatasi kejenuhan dan menghadapi kegagalan.

Di tengah gelapnya musim gugur dan hujan yang turun mengguyur Gothenburg, hal ini sama sekali tidak mengurangi kehangatan perjumpaan kami dengan Professor Yudi Pawitan. Tak terasa 5 jam sudah kami berbincang dengan berbagai topik yang lebih luas mulai dari statistik, lalu lintas di Indonesia, sampai masalah politik nasional. Semoga Professor Yudi Pawitan sehat selalu dan terus berkarya demi peradaban umat manusia.

Natanel Yuyun Suryadi dan Muhammad Mufti Azis

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Swedia di Gothenburg

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement