Jumat 16 Oct 2020 12:25 WIB

Memfitnah Anjing Raja Thailand Bisa Berakhir Masuk Bui

Antara kudeta 2014 dan 2018, setidaknya ada 98 dakwaan Lese Majeste diajukan

Rep: Fergi Nadira/ Red: Christiyaningsih
 Seorang royalis Thailand mengibarkan bendera nasional Thailand selama protes balasan terhadap unjuk rasa anti-pemerintah di monumen demokrasi di Bangkok, Thailand, 14 Oktober 2020. Pengunjuk rasa pro-demokrasi mengambil bagian dalam unjuk rasa melawan elit royalis dan yang didukung militer pemerintah menyerukan pengunduran diri Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha, penulisan ulang piagam baru monarki yang direformasi di bawah konstitusi.
Foto: EPA-EFE/DIEGO AZUBEL
Seorang royalis Thailand mengibarkan bendera nasional Thailand selama protes balasan terhadap unjuk rasa anti-pemerintah di monumen demokrasi di Bangkok, Thailand, 14 Oktober 2020. Pengunjuk rasa pro-demokrasi mengambil bagian dalam unjuk rasa melawan elit royalis dan yang didukung militer pemerintah menyerukan pengunduran diri Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha, penulisan ulang piagam baru monarki yang direformasi di bawah konstitusi.

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK - Menurut Pengacara Hak Asasi Manusia Thailand, hanya ada sejumlah kecil penuntutan soal Lese Majeste sebelum 2014. Itu terjadi ketika perdana menteri Thailand Prayuth Chan-ocha mengambil alih kekuasaan melalui kudeta.

Hukum Lese Majeste Thailand melarang penghinaan terhadap monarki. Hukum ini pun dibilang hukuman yang paling ketat di dunia.

Baca Juga

Banyak dari mereka yang dihukum pada saat itu diampuni oleh Raja Bhumibol. Namun, menurut basis data hukum oleh pengawas Thailand iLaw, antara kudeta 2014 dan 2018, setidaknya ada 98 dakwaan Lese Majeste diajukan.

Dilansir laman Aljazirah, kelompok hak asasi manusia menyebut banyak dari kasus itu digunakan untuk menganiaya lawan pemerintah militer, meski tuduhan itu dibantah oleh pemerintah militer. Di antara penuntutan adalah salah satunya memfitnah anjing peliharaan almarhum raja.

Dalam kasus Lese Majeste yang terkenal pada 2011, seorang pria Thailand berusia 61 tahun bernama Ampon Tangnoppakul dijatuhi hukuman 20 tahun penjara karena diduga mengirim empat pesan teks yang dianggap menyinggung keluarga kerajaan. Tahun berikutnya, Ampon meninggal karena kanker hati di penjara. Dia pun masih mengeklaim dia tidak bersalah atas semua tuduhan.

Sementara, untuk kasus penghinaan kerajaan terbaru diadili pada Maret 2018 terhadap dua pria karena mencoba membakar foto raja. Pengadilan setempat membatalkan dakwaan penghinaan kerajaan tetapi dinyatakan bersalah sebagai bagian dari organisasi kriminal dan pembakaran.

Menurut undang-undang Lese Majeste, siapa pun dapat mengajukan keluhan terhadap orang lain tanpa menjadi pihak yang dirugikan. Itu merupakan sebuah ketentuan yang menurut para kritikus disalahgunakan oleh kaum royalis dan pemerintah saat ini.

Kelompok hak asasi manusia juga mengatakan penentang pemerintah baru-baru ini dituntut berdasarkan undang-undang lain seperti mereka yang menentang hasutan dan kejahatan komputer. Tahun lalu, tiga aktivis Thailand di pengasingan yang menghadapi tuduhan menghina kerajaan menghilang di Vietnam setelah dilaporkan ditangkap di sana.

Menurut Human Rights Watch, ketiganya dilaporkan diserahkan oleh Vietnam kepada otoritas Thailand. Namun Pemerintah Thailand membantah laporan tersebut.

Pada Januari 2019, jasad dua orang kritikus militer dan keluarga kerajaan yang diasingkan ditemukan di sepanjang perbatasan Sungai Mekong dengan Laos. Pemerintah mengatakan tidak menargetkan lawan dan merupakan tanggung jawab polisi untuk menegakkan hukum.

Menurut laman BBC, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia mengatakan jumlah orang yang diselidiki untuk hukum Lese Majeste telah meningkat menjadi lebih dari dua kali lipat jumlah yang diselidiki dalam 12 tahun sebelumnya. Hanya empat persen dari mereka yang dikenai tuntutan pada tahun 2016 dibebaskan.

sumber : Reuters/Aljazirah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement