Selasa 07 Jul 2020 22:09 WIB

Brasil Gempar Dengar Berita Perempuan Jadi Budak 16 Tahun

Pelaku perbudakan dikenal masyarakat Brasil sebagai pengusaha kecantikan kaya.

Brasil Gempar Dengar Berita Perempuan Jadi Budak 16 Tahun
Foto: blogspot.com
Brasil Gempar Dengar Berita Perempuan Jadi Budak 16 Tahun

REPUBLIKA.CO.ID, RIO DE JANEIRO -- Seorang perempuan dipaksa bekerja jadi budak selama bertahun-tahun dalam rumah milik orang kaya di Kota Sao Paulo, Brasil. Kabar itu membuat warga setempat terkejut.

Tim jaksa urusan tenaga kerja pun berusaha menuntut ganti rugi sebesar satu juta real Brasil (sekitar Rp 2,74 miliar) terhadap pelaku kejahatan, mengingat kasus itu telah masuk ke pengadilan. Korban, perempuan berusia 61 tahun, diselamatkan oleh otoritas terkait pada Juni.

Baca Juga

Ia telah bekerja untuk keluarga yang sama sejak 1998. Sejak saat itu, ia menempati gudang penyimpanan di luar rumah.

Otoritas ketenagakerjaan di Brasil meminta media tidak menyebarkan nama korban.

Beberapa dokumen pengadilan menyebutkan, selama beberapa bulan korban tidak diperbolehkan masuk ke rumah majikannya. Ia hanya bisa tidur di sofa dan menggunakan ember untuk keperluan buang air. Korban pun bergantung pada seorang tetangga untuk makan dan keperluan mendasar lainnya.

Selama 22 tahun bekerja jadi pembantu rumah tangga, korban tidak pernah menerima hak libur atau cuti. Para tersangka pelaku perbudakan itu adalah Mariah Corazza Barreto beserta suaminya Dora Ustandag, serta penghuni lainnya Sonia Regina Corazza, ibu Mariah yang juga pemilik rumah mewah tersebut. Mereka dituntut bersalah karena mempekerjakan orang seperti budak.

Keluarga itu tidak dapat dihubungi untuk dimintai tanggapan. Penyelamatan korban mengejutkan warga Brasil sebagaimana terlihat dalam komentar di dunia maya. Mariah Ustundag banyak dikenal sebagai seorang eksekutif atau pimpinan Avon, sebuah perusahaan kecantikan.

Namun, Mariah telah dipecat dari pekerjaannya pada 26 Juni 2020. "The Avon Institute ... memutuskan menyediakan bantuan untuk korban, antara lain pendampingan psikologi, bantuan sewa rumah selama satu tahun di lokasi yang dipilih oleh korban, dan bantuan pembelian beberapa alat rumah tangga," kata  perusahaan lewat pernyataan tertulis.

Otoritas setempat, lewat bagian pembuka dokumen pengadilan, menegaskan temuan itu mengejutkan masyarakat Brasil. Inspektur ketenagakerjaan di Brasil pada tahun lalu menemukan 1.054 orang dipekerjakan dalam kondisi dan situasi yang mirip praktik perbudakan. Dalam 25 tahun terakhir, otoritas setempat menemukan lebih dari 5.400 orang jadi korban perbudakan.

"Temuan yang mengejutkan, meskipun lebih dari 20 tahun (korban diperbudak), pelaku tidak menunjukkan empati (kepada korban)," kata jaksa Alline Pedrosa Oishi Delena dan pengacara publik Joao Paulo Dorini melalui pernyataan tertulis.

"Mereka tega menempatkan korban dalam ruangan yang buruk, tanpa kondisi layak, setelah menjadi pekerja rumah tangga selama 22 tahun," kata dua orang tersebut.

Otoritas di Brasil mendefinisikan perbudakan sebagai kerja paksa, tetapi istilah itu juga mencakup upaya mempekerjakan orang lewat jeratan utang, bekerja dengan kondisi buruk, dan kerja dalam waktu panjang sehingga mengancam kesehatan korban. Pengertian perbudakan di Brasil juga terkait dengan tiap pekerjaan yang merendahkan martabat seseorang.

Dalam pernyataan pembukanya, Delena dan Dorini menuntut ganti rugi sebesar satu juta real Brazil (sekitar Rp 2,74 miliar) atas kerusakan dan kekerasan yang dialami korban. Angka itu merupakan permintaan ganti rugi yang cukup besar dan jarang disampaikan kejaksaan.

Tuntutan itu disampaikan karena buruknya lingkungan kerja yang dialami korban. Menurut kejaksaan, korban berhenti digaji sejak Februari 2020. Sebelum itu, ia dibayar 300 real Brasil (sekitar Rp 806 ribu) per bulan. Bayaran itu jauh lebih rendah dari upah minimum di Brasil sebesar 1.045 real Brasil (sekitar Rp 2,88 juta) per bulan.

Setelah diperlakukan buruk selama bertahun-tahun, korban ditinggalkan majikan di rumah tanpa diberi tahu mereka telah pindah. "(Korban) tidak punya pilihan lain selain melayani para pelaku, sebagai salah satu cara bertahan hidup. Faktanya, upaya bertahan hidup itu penuh dengan ancaman," kata Delena dan Dorini dalam pernyataan yang disampaikan ke pengadilan.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement