Rabu 16 Jan 2019 18:29 WIB

Begini Cara Senator Sulsel Promosikan Kopi di Rusia

Memperkenalkan potensi Sulsel termasuk kopinya, itu merupakan panggilan jiwa.

Senator asal Sulsel, AM Iqbal Parewangi saat hadir di forum pemangku kebijakan Rusia di Sant Petersburg, Rusia.
Foto: Istimewa
Senator asal Sulsel, AM Iqbal Parewangi saat hadir di forum pemangku kebijakan Rusia di Sant Petersburg, Rusia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mempromosikan kopi asal Sulsel di forum internasional dilakukan senator asal Sulsel AM Iqbal Parewangi. Dalam sebuah forum pemangku kebijakan Rusia di Sant Petersburg, pertengahan Desember 2018 lalu, Iqbal hadir memimpin delegasi DPD RI.

Senator asal Sulsel ini pun terang-terangan mempromosikan Sulsel sebagai salah satu penghasil kopi berkualitas. "Kopi SulSel bervariasi, itu fakta. Saya saksikan sendiri fakta menarik itu dalam rangkaian serap aspirasi yang tak singkat," ujar Iqbal, Rabu (16/1).

Dia mengakui, di forum internasional itu, dengan bangganya Iqbal mempromosikan beragam potensi Sulsel, termasuk kopi. "Di forum internasional yang terbilang langka, memperkenalkan potensi yang ada di Sulsel termasuk kopinya, itu merupakan panggilan jiwa tersendiri bagi saya," ujarnya.

Bukan tanpa alasan Iqbal melakukan itu. Iqbal mengatakan dia adalah Senator RI asal SulSel. Senator atau Anggota DPD RI adalah wakil daerah. "Lewat sebentuk tahanuth konstitusi, saya yakinkan diri bahwa salah satu tugas konstitusional saya adalah menjadi duta daerah, termasuk di forum internasional," kata Iqbal.

Iqbal menyampaikan, dia tahu bangsa Tuan Kalganov adalah penikmat kopi. Sulsel yang terkenal dengan kopinya yang bervariasi memiliki antara lain jenis kopi seperti kopi kalosi Enrekang dan kopi Toraja. Lalu ada juga kopi kahayya di Bulukumba, kopi rumbia Jeneponto, dan juga kopi Luwu.

photo
Kopi toraja.

Selain rasanya memang nikmat, Iqbal mengatakan, kopi memiliki peran penting bagi pertumbuhan perekonomian masyarakat di Indonesia. Bahkan, kopi juga dapat memiliki nilai tawar hingga meletupkan 'revolusi perkebunan' dalam menghadapi tekanan penjajah. Dan semua itu tercatata dalam sejarah.

Iqbal pun memaparkan sederet data yang dimilikinya. Dia menyebut, dari segi hasil produksi, kopi ekspor dari Indonesia setahun terakhir, sebanyak 648 ribu ton. Angka ini menempati peringkat keempat terbesar di dunia setelah Brazil, Vietnam dan Kolombia.

"Letak geografis Indonesia memang cocok bagi iklim mikro untuk pertumbuhan dan produksi kopi. Ada tiga macam biji kopi yang tumbuh di Indonesia, yakni Arabika, Robusta dan Liberika," katanya.

Pada 1706, pemerintah Belanda mengirim benih kopi yang tumbuh di bantaran Ciliwung ke kebun botani di Amsterdam untuk diteliti. Hasilnya, kopi tersebut berkualitas bagus.

Sekitar 1711, Bupati Cianjur mengekspor sekitar 4 kuintal kopi ke Amsterdam, dan ekspor kopi perdana itu memecahkan rekor harga lelang di sana. Tergiur oleh fakta harga lelang itu, tahun 1714 Raja Louis XIV dari Perancis minta benih kopi itu. Kopi tersebut lalu diberinya nama Coffea arabica L. var. typica. Dia ingin varietas itu jadi bagian dari kebun raya Jardin des Plantes di kota Paris.

Pada 1726, tidak kurang dari 2.145 ton kopi dari pulau Jawa membanjiri benua Eropa, mengalahkan kopi Mocha dari Yaman yang sebelumnya menguasai pasar. Tergiur harganya yang tinggi, awal tahun 1720-an Belanda juga mengirimkan benih kopi itu ke Suriname.

Dari dua tempat itu, benih kopi dari negeri titipan anak cucu ini menyebar ke Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Jejaknya terlihat di Ethiopia. "Di sana ada tipika merek 'Blue Mountain' yang ditanam di Jamaika dan Gesha, ini mengacu pada nama dusun penghasil kopi di Ethiopia," ujarnya.

photo
Senator Sulsel AM Iqbal Parewangi menikmati kopi meski menggunakan gelas pelastik.

Iqbal menjelaskan, di pasar dunia, kopi 'Blue Mountain' sempat jadi primadona. Harganya mencapai di atas 1.000 dolar AS per kilogram. Bahkan salah satu kafe di Los Angeles, Amerika Serikat, sempat menjual secangkir Gesha hingga 55 dolar AS atau Rp 750 ribu dalam kurs kini.

Kopi Gesha, yang merupakan persilangan antara kopi tipika dan varietas lainnya, seringkali jadi andalan dalam ajang kompetisi para peracik kopi internasional.

Di era Tanam Paksa (1830 — 1870), Iqbal mengungkapkan sejarah bahwa penjajah Belanda di Indonesia membuka perkebunan komersial, khususnya di Jawa, Sumatra, Sulawesi, Timor dan Flores. Yang dikembangkan adalah kopi jenis Arabika yang didatangkan langsung dari Yaman.

Tahun 1878, hampir semua area perkebunan kopi Indonesia rusak diserang hama penyakit karat daun. Akibatnya, Jawa kehilangan potensi ekspor kopi hingga 120 ribu ton. Pasar kopi dunia pun dibuat panik.

Awal abad ke-20 perkebunan kopi di Indonesia kembali terserang hama yang hampir memusnahkan seluruh tanaman kopi. Penjajah Belanda pun sempat mencoba menggantinya dengan jenis kopi yang lebih kuat terhadap serangan penyakit, yaitu kopi Liberika dan Ekselsa.

Iqbal mengatakan menelusuri referensi seputar kopi itu menjadi sangat menarik. "Karena sebenarnya perkebunan kopi kala itu tidak terserang hama. Namun yang terjadi adalah revolusi perkebunan kopi, dimana buruh perkebunan kopi menebang seluruh tanaman kopi," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement