Zulkifli Hasan: Sistem Ketatanegaraan Indonesia yang Baru Lahirkan Kegaduhan

Dok: MPR
Zulkifli Hasan
Rep: Eko Supriyadi Red: Winda Destiana Putri

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua MPR Zulkifli Hasan menilai, sistem ketatanegaraan pasca reformasi menunjukan wajah baru, dimana lembaga-lembaga negara memiliki posisi yang sejajar.

Namun, dampaknya membuat masing-masing lembaga tersebut mengklaim dirinya peling berkuasa. Menurut Zulkifli, 18 tahun pasca reformasi, UUD telah mengalami empat kali amandemen. Tanpa disadari, akibat amandemen tersebut melahirkan sistem berbangsa dan bernegara yang baru.

''Setelah amandemen, lahirlah lembaga negara yang memiliki posisi sama. Oleh karena itu, semua merasa paling penting. Bupati merasa berkuasa, karena dipilih langsung. Begitu juga Gubernur merasa paling penting, belum lagi presiden yang merasa paling tinggi,'' kata Zulkifli, saat berbicara dalam seminar penguatan etika berbangsa dan bernegara, di Universitas Indonesia, Depok, Kamis (25/2).

Zulkifli menggambarkan seperti itu etika politik Indonesia setelah amandemen, dimana antar lembaga negara saling mengkalim lebih berkuasa dari lembaga lainnya.

Belum lagi, masing-masing lembaga begara punya etika sendiri, dimana anggota suatu lembaga mengadili anggota lainnya. Zulkilfi menyatakan mestinya lembaga etik hanya satu untuk mengadili seluruh lembaga.

Selain itu, sistem ketatanegaraan yang baru ini juga membuah ongkos demokrasi di Indonesia sangat mahal. Dengan sistem demokrasi langsung, untuk menjadi kepala daerah, anggota dewan apalagi presiden, membutuhkan biaya hingga miliaran rupiah.

Karena itu, ada masukan ke MPR untuk mengamandemen UUD, terutama terkait sistem pemilu. Karena Pemilu maupun Pilkada saat ini dinilainya membutuhkan biaya yang mahal.

Akibat dari dua persoalan itu, setelah reformasi masyarakat Indonesia mulai menjauhi roh kebangsaan, persaudaraan mulai memudar, etika kebangsaan kian diabaikan.

 
Berita Terpopuler