Cuitan Warga Jakarta Keluhkan PBB tak Lagi Gratis, Penjelasan Heru Budi, dan Respons Anies

Kebijakan bebas pajak hanya berlaku untuk satu rumah.

ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Deretan rumah di kawasan padat penduduk dengan latar belakang gedung bertingkat di Jakarta, Senin (4/7/2022). Pemprov DKI Jakarta membebaskan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) untuk rumah warga Ibu Kota dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di bawah Rp2 Miliar.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bayu Adji P

Baca Juga

Seorang warganet mengeluhkan adanya biaya PBB untuk huniannya dengan NJOP di bawah Rp 2 miliar. Padahal, tahun lalu warganet tak harus membayar PBB untuk huniannya. Cuitannya itu sempat viral di media sosial X.

"Guys mau tanya, ini PBB di DKI sekarang balik ke zaman jahiliyah lagi ya? Soalnya biasa PBB bayar 0 rupiah (nilai NJOP di bawah 2 miliar), sekarang jadi 700 ribuan. Gercep banget ya berubahnya? Padahal zaman Ahok dan Anies masih berlaku PBB 0 rupiah itu. Wah, beneran seru nih," kata akun X @Rizkihadi.

Pada Rabu (19/6/2024), Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menjelaskan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengeluarkan aturan baru terkait pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2). Kebijakan bebas pajak rumah kini hanya berlaku untuk satu rumah dengan nilai jual objek pajak (NJOP) di bawah Rp 2 miliar. 

Heru mengatakan, kebijakan itu tak akan membuat masyarakat kelas bawah terdampak. Pasalnya, rumah dengan NJOP di bawah Rp 2 miliar tetap gratis.

"Untuk masyarakat yang bawah itu kan tidak terkena apa-apa. (Pajak untuk hunian) Dua miliar ke bawah gratis. Pensiunan kalau dia punya rumah, tanah satu, gratis," kata dia, Rabu (19/6/2024).

Menurut dia, kebijakan itu baru berlaku ketika masyarakat memiliki lebih dari satu rumah. Artinya, pajak untuk rumah kedua dan seterusnya harus tetap dibayarkan.

"Semuanya terkena (pajak) setelah ada rumah kedua, ketiga, dan seterusnya," kata dia.

Sebelumnya, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Provinsi DKI Jakarta Lusiana Herawati menjelaskan, Peraturan Gubernur Nomor 16 Tahun 2024 diterbitkan sebagai implementasi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Hal itu untuk menciptakan keadilan pemungutan PBB-P2 melalui perbaikan formulasi pemberian insentif pajak daerah yang telah diberikan kepada masyarakat Jakarta pada tahun-tahun sebelumnya, sehingga dapat lebih tepat sasaran.

“Kebijakan tahun ini, khususnya terhadap hunian dengan nilai di bawah Rp 2 miliar, penerapannya berbeda dengan tahun sebelumnya," kata dia, Selasa (18/6/2024).

Ia menjelaskan, pada tahun sebelumnya, hunian dengan nilai di bawah Rp 2 miliar dibebaskan pajaknya. Namun, untuk tahun 2024, hanya diberikan untuk satu objek PBB-P2 yang dimiliki wajib pajak. Apabila Wajib Pajak memiliki lebih dari satu objek PBB-P2, maka pembebasan akan diterapkan pada NJOP terbesar. 

"Hal ini mempertimbangkan bahwa kebijakan tahun-tahun sebelumnya adalah dalam rangka pemulihan ekonomi dampak Covid-19,” ujar Lusi.

Lusi menyebut, pada tahun ini, Pemprov DKI Jakarta memberikan kebijakan berupa pemberian keringanan, pengurangan, dan pembebasan atas pokok pajak dan/atau sanksi pajak, serta fasilitas angsuran pembayaran pajak terutang, yang bertujuan untuk membantu mengurangi beban wajib pajak dalam menunaikan kewajiban perpajakannya. Selain itu, untuk menjaga daya beli masyarakat, sehingga tujuan dalam menghimpun penerimaan pajak daerah, khususnya PBB-P2, dapat terealisasi secara optimal.

“Pembayaran pajak pada hakikatnya sebagai wujud gotong royong dalam memulihkan kembali kondisi perekonomian di DKI Jakarta. Oleh karena itu, kami mengimbau masyarakat agar dapat memanfaatkan insentif fiskal ini agar wajib pajak dapat terbantu dalam melunasi kewajiban perpajakannya,” ujar Lusi.

Adapun isi kebijakan PBB-P2 DKI Jakarta pada 2024, yaitu:

1. Ruang lingkup pemberian keringanan, pengurangan dan pembebasan, serta kemudahan pembayaran PBB-P2 tahun 2024 meliputi:

a. Pembebasan Pokok

b. Pengurangan Pokok

c. Angsuran Pembayaran Pokok

d. Keringanan Pokok

e. Pembebasan Sanksi Administratif. 

 

2. Kebijakan Pembebasan Pokok PBB-P2

• Pembebasan Pokok 100%, diberikan untuk kategori:

1) Objek rumah tinggal milik Orang Pribadi,

2) Hunian dengan NJOP sampai dengan Rp 2.000.000.000,- (Dua Miliar Rupiah),

3) Hanya diberikan kepada Wajib Pajak untuk satu Objek PBB-P2, dan

4) Apabila Wajib Pajak mempunyai lebih dari satu objek pajak, maka pembebasan akan diberikan kepada NJOP terbesar sesuai kondisi data pada sistem perpajakan daerah per 1 Januari 2024.

 

• Pembebasan Pokok 50%, diberikan untuk kategori:

1) PBB-P2 yang harus dibayar dalam SPPT tahun pajak 2023 sebesar Rp 0,- (Nol Rupiah).

2) Tidak memenuhi ketentuan untuk diberikan pembebasan 100%.

3) Bukan termasuk PBB-P2 yang baru ditetapkan pada tahun pajak 2024.

 

• Pembebasan Nilai tertentu, diberikan untuk kategori:

1) PBB-P2 yang harus dibayar dalam SPPT tahun pajak 2023 lebih dari Rp 0,- (nol rupiah).

2) Kenaikan PBB-P2 tahun pajak 2024 lebih dari 25% dari PBB-P2 yang harus dibayar tahun pajak 2023.

3) Tidak memenuhi ketentuan kriteria untuk diberikan pembebasan 100%.

4) Bukan termasuk objek PBB-P2 yang mengalami penambahan luas bumi dan/atau bangunan.

5) Bukan termasuk Objek PBB-P2 yang telah dilakukan perekaman data hasil penilaian individual yang baru ditetapkan untuk ketetapan tahun pajak 2024.

 

3. Kebijakan Pengurangan Pokok PBB-P2

• Pengurangan pokok PBB-P2 diberikan kepada:

a. Wajib Pajak orang pribadi yang dikecualikan dari pemberian pembebasan pokok (Objek PBB Baru Tahun 2024, Objek PBB-P2 yang mengalami penambahan luas bumi dan/atau bangunan, dan Objek PBB-P2 yang telah dilakukan perekaman data hasil penilaian individual yang baru ditetapkan untuk ketetapan tahun pajak 2024).

b. Wajib Pajak orang pribadi yang berpenghasilan rendah sehingga kewajiban PBB-P2 sulit dipenuhi.

c. Wajib Pajak Badan yang mengalami kerugian atau penurunan aktiva bersih pada tahun pajak sebelumnya.

d. Wajib Pajak yang objek pajaknya terdampak Bencana Alam, kebakaran, huru-hara, kerusuhan, dan/atau Bencana Non-Alam.

• Pengurangan pokok PBB-P2 diberikan atas pengajuan permohonan Wajib Pajak, yang diajukan secara elektronik melalui laman : pajakonline.jakarta.go.id.

• Persentase maksimal yang diberikan yaitu sebesar 100%.

• Persyaratan pengajuan permohonan pengurangan pokok PBB-P2 Tahun 2024 :

a. Satu permohonan untuk satu SPPT;

b. diajukan secara elektronik melalui laman : pajakonline.jakarta.go.id;

c. diajukan oleh Wajib Pajak yang namanya tercantum dalam SPPT;

d. dalam hal Wajib Pajak berupa Badan, diajukan oleh pengurus yang namanya tercantum dalam akta pendirian dan/atau perubahan Badan;

e. dalam hal permohonan diajukan oleh bukan Wajib Pajak permohonan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa.

 

4. Angsuran Pembayaran Pokok

• Angsuran pembayaran pokok diajukan terhadap:

a) PBB-P2 tahun 2024

b) Tunggakan PBB-P2 tahun 2013-2023

• Permohonan diajukan melalui laman : pajakonline.jakarta.go.id

• Batas Waktu pengajuan permohonan angsuran paling lambat tanggal 31 Juli 2024

• Ketentuan pembayaran pokok secara angsuran:

a. Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan pengurangan, keringanan dan/atau pembebasan pokok atas SPPT yang dimohonkan pembayaran pokok secara angsuran;

b. PBB-P2 yang harus dibayar paling sedikit sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah); dan

c. dapat diberikan paling banyak 10 (sepuluh) kali angsuran secara berturut-turut dalam jangka waktu sebelum berakhirnya tahun 2024.

 

 

5. Keringanan Pokok Pembayaran

• Wajib pajak di DKI Jakarta diberikan fasilitas keringanan pokok ketika melakukan pembayaran PBB-P2

• Pembayaran PBB-P2 diberikan keringanan pokok:

a. Sebesar 10% untuk pembayaran PBB-P2 tahun 2013-2024

Periode sejak tanggal 4 Juni 2024 s.d. tanggal 31 Agustus 2024

b. Sebesar 5% untuk pembayaran PBB-P2 tahun 2013-2024

Periode sejak tanggal 1 September 2024 s.d. 30 November 2024

 

 

6. Pembebasan Sanksi Administratif

• Pemberian pembebasan sanksi administratif diberikan dengan persentase sebesar 100%.

• Pemberian pembebasan sanksi administratif ini dilakukan dengan cara penyesuaian pada sistem informasi manajemen pajak daerah, tanpa harus wajib pajak mengajukan permohonan secara mandiri.

• Pemberian pembebasan sanksi tanpa mempersyaratkan adanya bebas Tunggakan Pajak Daerah.

Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kemarin mengomentari kebijakan baru terkait pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) yang dikeluarkan Pj Gubernur Heru Budi Hartono. Ia menilai, kebijakan itu harus disosialisasikan dengan baik agar masyarakat yang terkena dampak dapat melakukan persiapan.

Menurut Anies, masyarakat berhak tahu substansi dari perubahan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Dengan begitu, masyarakat tidak akan terkejut dengan substansi kebijakan, bahwa bebas biaya pajak rumah saat ini hanya berlaku untuk satu hunian yang memiliki NJOP di bawah Rp 2 miliar. 

"Jadi semua kebijakan yang dibuat itu harus disosialisasikan dengan baik supaya masyarakat yang terdampak bisa mengantisipasi apapun isi kebijakannya," kata dia di Jakarta, Rabu (19/6/2024).

Ia paham atas kebijakan yang dibuat Pemprov DKI Jakarta. Dalam hal ini, Pemprov DKI Jakarta membedakan tanggunan pajak untuk rumah pertama dan rumah selanjutnya.

Namun, menurut dia, harus ada sosialisasi supaua masyarakat juga paham. "Supaya masyarakat tidak terkejut dan kita hormati warga dengan cara memberitahu bila ada perubahan," kata Anies.

Ia menambahkan, Jakarta seharusnya bisa menjadi kota yang bisa terasa seperti rumah bagi semua kalangan masyarakat. Artinya, kebijakan yang diambil harus juga berpihak kepada semua kalangan. 

"Kebajikan pajak, kebijakan tata ruang, sesungguhnya adalah tentang siapa tinggal di mana, siapa boleh tinggal di mana. Kita ingin semua orang boleh tinggal di Jakarta. Jangan sampai kebijakan pajak, kebijakan tata ruang membuat sebagian kita pelan-pelan tergeser dari dalam kota," kata dia.

 

Karikatur Opini Republika : Gaduh KJMU, Penerima Tidak Layak - (Republika/Daan Yahya)

Pengamat tata kota Yayat Supriatna mengatakan, kebijakan itu kemungkinan dibuat lantaran Pemprov DKI Jakarta sedang mencari sumber pendapatan baru untuk membiayai pembangunan. Pasalnya, status ibu kota yang akan pindah ke Ibu Kota Nusantara (IKN) akan berdampak terhadap berkurangnya pendapatan Jakarta. 

"Jadi dalam hal ini, memang yang harus dilakukan DKI adalah mencari sumber pendapatan baru. Dengan status bukan sebagai ibu kota, akan ada kemungkinan pendapatan DKI akan berkurang di sektor pemerintah," kata dia saat dihubungi Republika, Rabu (19/6/2024). 

Ia mengatakan, pindahnya ibu kota ke IKN akan membuat banyak kegiatan pemerintah pusat tak lagi dilakukan di Jakarta. Dampaknya, pemasukan kepada pemerintah daerah dari sektor perhotelan dan sebagainya akan berkurang. Alhasil, Pemprov DKI Jakarta harus mencari sumber pendapatan lain.

Yayat menilai, sumber pembiayaan lain yang paling menarik dan punya potensi adalah dari sektor perumahan. Sebab, kebutuhan rumah akan terus bertambah seiring dengan waktu.

Menurut dia, selama ini banyak masyarakat memanfaatkan kebijakan lama yang membebaskan PBB seluruh rumah dengan NJOP di bawah Rp 2 miliar. Padahal, kemungkinan banyak warga yang memiliki rumah kedua atau ketiga untuk kebutuhan investasi, sehingga bebas pajak. 

"Berarti ada potensi pendapatan yang hilang. Harusnya dipertegas, itu untuk rumah pertama. Bukan untuk rumah kedua dan ketiga," kata Yayat.

Karena itu, ia menulai, kebijakan baru terkait PBB di DKI Jakarta sudah cukup tepat sasaran. Apalagi, di berbagai daerah lain, semua rumah telah dikenakan PBB.

Namun, pada zaman Anies Baswedan menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, dilakukan pembebasan PBB dengan pertimbangan sosial. Sementara saat ini, Pemprov DKI Jakarta tengah kesulitan membiayai pembangunan.

"Menurut saya, di tengah ekonomi yang sulit, pungutan ini harus disikapi dengan lebih bijak. Minimal, dengan sosialisasi yang lebih terstuktur dan masif, sehingga terjadi pemahaman di masyarakat," kata dia.

Penertiban Penerima Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul - (Infografis Republika)

 
Berita Terpopuler