Kisah Habib Golkar dan Serangan Fajar

Sejak lama para habaib mewarnai perjalanan bangsa.

dokrep
Massa Partai Golkar berkampanye menjelang Pemilu 1997.
Red: Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para habaib sudah sejak lama mewarnai perpolitikan di Indonesia. Tak jarang juga, golongan itu coba dipengaruhi mereka-mereka yang memegang kekuasaan. Berikut tulisan wartawan Republika sepanjang zaman, Alwi Shahab, semoga Allah merahmatinya, terkait fenomena tersebut: 

Baca Juga

Bicara soal Pemilu 1977 sukar tak menyinggung bagaimana gencarnya Golkar mengupayakan pemenangan saat itu. Kendati parpol-parpol sudah disederhanakan atau justru karena parpol-parpol sudah disederhanakan, cara yang digunakan Golkar untuk memenangi pesta demokrasi semakin “kreatif.”

Saya ingat, zaman itu sudah banyak majelis taklim yang mengemuka di Jakarta. Pimpinan mereka biasanya para habib. Nah, karena Jakarta saat itu, barangkali sampai sekarang, cenderung ke partai Islam, para tokoh pimpinan majelis taklim tersebutlah yang didekati.

Aliran dana mengucur deras ke majelis-majelis taklim yang berhasil dirangkul Golkar. Menjelang pemilu, pendanaan juga meningkat. Para pimpinan majelis taklim yang sudah direngkuh Golkar biasanya tak malu-malu mengampanyekan Golkar di sela-sela acara dakwah.

Mereka terang-terangan mendorong jamaah untuk memilih Golkar dalam pemilihan umum mendatang. Dari situ, muncul istilah “habib Golkar”. Dampak buruknya, tak jarang majelis taklim yang sudah diketahui berafiliasi dengan Golkar menjadi berkurang pengikutnya.

Termasuk, habib-habib juga didekati Golkar. Mereka juga mendapat pendanaan dari Golkar, terutama menjelang pemilu. Golkar termasuk kencang sekali berupaya mendekati majelis taklim. Target Golkar waktu itu memang menguningkan Jakarta. Sampai, ada istilah “habib Golkar” karena ketika ceramah mereka selalu mendorong para jamaah untuk memilih Golkar.

Yang juga dirangkul Golkar adalah kalangan wartawan. Saya ingat, kerap diajak rapat di markas Golkar di Slipi, Jakarta Barat. Dalam rapat-rapat seperti itu, biasanya hadir juga pimpinan-pimpinan dari berbagai media. Saat itu, para wartawan diarahkan untuk membuat pemberitaan yang bisa mendorong masyarakat memilih Golkar. Di sisi lain, media yang memberitakan keburukan pemerintah yang dijalankan kader Golkar atau mengangkat parpol selain Golkar, bisa kena damprat.

Pada Pemilu 1971 penduduk yang dibayar untuk memilih partai tertentu saat pemilu sudah mulai tampak, walau dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Lain cerita pada Pemilu 1977.

Saat itu, hal tersebut dilakukan terang-terangan. Oknum tim kampanye Golkar menyambangi masyarakat dan membagi-bagikan uang sebelum pemilihan umum. Yang juga membedakan dengan pemilu-pemilu sebelumnya, sebagian acara bagi-bagi uang atau kebutuhan pokok dilakukan pada pagi-pagi sekali pada hari pemungutan suara. Dari situlah mulai muncul istilah “serangan fajar”.

Tak berhenti di situ saja, sudah mafhum kala itu bahwa pegawai negeri-pegawai negeri diwajibkan memilih Golkar. Yang baru pada 1977 adalah departemen atau kementerian semakin aktif dalam upaya memenangkan Golkar. Masing-masing lembaga bahkan membentuk tim pemenangan Golkar.

Para kepala daerah juga otomatis mesti melakukan upaya pemenangan Golkar. Saya pernah mengikuti kampanye Golkar di Yogyakarta dan Jawa Tengah saat itu. Dalam kampanye tersebut, Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono IX kerap menjadi jurkam Golkar. Ia biasanya meminta peserta kampanye Golkar memilih partai bersangkutan dan ditutup dengan kata-kata khas, “Ojo lali ya! Ojo lali!”

Setahu saya, saat itu Golkar juga menyusupkan orang-orang dalam jajaran pimpinan parpol lain, yakni PPP dan PDI. Mereka biasanya bertugas memperhalus serangan partai-partai bersangkutan terhadap pemerintahan.

Dengan aneka upaya tersebut, tak heran Golkar memenangi pemilu secara signifikan. Golkar berhasil mengumpulkan 62 persen suara berbanding PPP yang memperoleh 29 persen dan PDI yang mendapat 8,6 persen. Hanya dua daerah, DKI Jakarta dan Aceh, yang mayoritas pemilihnya mencoblos PPP. 

Sejarah keturunan Arab di Indonesia... baca halaman selanjutnya

Berdasarkan sebuah data dalam artikel “Mengarungi Indonesia” disebutkan bahwa jumlah keturunan Arab di Jawa lima juta jiwa. Saya memperkirakan jumlah sebenarnya jauh di atas jumlah tersebut. Umumnya, mereka telah melebur diri sebagai bangsa Indonesia yang mereka lontarkan dalam Sumpah Pemuda tahun 1934.

Belanda sendiri tahu benar bahwa proses asimilasi keturunan Arab di Indonesia sudah berjalan ratusan tahun. Sebagai bukti, Prof Van den Berg, seorang orientalis Belanda, menyebut bahwa keluarga Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten, Kesultanan Kalijogo, dan Kesultanan Drajat merupakan keturunan Arab.

Demikian pula, keluarga Adiningrat di Magelang, yakni keturunan Sayid Ali Baseban, menantu Rijksbedsuurder, Kesultanan Yogyakarta bernama Raden Adipati Danuredjo. Contoh-contoh lain, Kesultanan Pontianak (Algadri) dan Kesultanan Siak (Shahab).

Tentang peranan keturunan Arab dalam Sarekat Islam (SI) dapat kita baca pada laporan rahasia Dr Hazeu mengenai kongres SI di Surabaya pada 1915 dan kongres SI di Bandung tahun 1916. Nama-nama yang disebut dalam laporan itu, yakni Sayid Hasan bin Semit dan Sayid Alim Algadri. Keduanya turut aktif dalam kongres tersebut.

Hasan bin Semit merupakan wakil Surabaya dalam kongres di Bandung dan dianggap sebagai salah seorang yang paling menonjol bersama HOS Tjokroaminoto dan Abdoel Moeis. Kemudian laporan itu menyatakan bahwa “pengaruh Arab” terhadap gerakan ini atau lebih tepat terhadap pengurus besarnya tampak juga meningkat.

Kembali ke masa-masa sebelumnya, ketika abad ke­18 dan 19 mulai banyak berdatangan para imigran dari Hadramaut, Belanda sengaja ingin menjauhkan mereka dari pribumi. Warga keturunan Arab ini ditempatkan di Pekojan, bekas para imigran dari India tinggal.

Kata Pekojan ini sendiri berasal dari kata tempat di India, yaitu Koja. Di kampung ini warga keturunan Arab mendirikan tempat-tempat ibadah yang sampai kini masih kita dapati. Yang hebat, mereka mendirikan sekolah modern tahun 1901 yang dinamakan Jamiat Khair oleh Shahab bersaudara, Ali dan Idrus.

Pada 1913 Jamiat Khair mendatangkan Syekh Ahmad SYurkati dari Sudan. Dia pada 1913 mendirikan Al-Irsyad, yang seperti juga Jamiat Khair, kemudian berkembang di berbagai daerah di nusantara. Syurkati didatangkan ke Indonesia dari Sudan.

Bukan hanya HOS Tjokroaminoto, H Agus Salim, dan sejumlah tokoh Islam lainnya ikut menyokong kedua organisasi ini, melainkan kelompok nasionalis juga ikut serta. Termasuk dari Boedi Oetomo yang baru didirikan tahun 1908.

Kembali kepada imigran dari Hadramaut, sejak lama jauh sebelum orang-orang dari Hadrami berimigrasi, mereka sudah dikenal sebagai pedagang dan pelaut, mirip dengan bangsa Phu Nisia kuno (sekarang Lebanon dan Suriah).

Perdagangan maritim mereka sudah mulai aktif sejak lima abad sebelum Masehi. Menurut majalah Historia, mereka sempat mengalami kemunduran, namun bangkit kembali setelah masuknya agama Islam.

Rute perdagangan antara orang Hadramaut dan nusantara telah terjalin sejak abad ke-7, tidak lama setelah berdirinya agama Islam. Mereka berdagang sambil menyiarkan agama Islam. Begitu akrabnya mereka dengan masyarakat setempat karenanya banyak orang Hadrami di Indonesia menetap secara permanen. Bahkan, setelah perjalanan dengan kapal uap lebih mudah. Namun karena alasan keluarga atau bisnis, mereka jarang pulang akibat biaya dan lamanya perjalanan.

Menurut Van den Berg, seorang pejabat pemerintah Belanda, sebagian besar orang Arab yang datang ke Indonesia dari Hadramaut. Kalaupun menetap, mereka berbaur dengan orang Arab dari Hadramaut. Di nusantara umumnya orang Arab berbisnis sebagai pedagang perantara, dengan membeli barang dalam partai besar dan kemudian menjualnya secara eceran.

Saya teringat tahun 1940-an dan 1950-an, orang-orang Arab di Indonesia kerap mengumpulkan uang untuk mereka kirimkan kepada saudara-saudara mereka di Hadramaut. Waktu itu, banyak keturunan Arab di Indonesia yang mendapatkan pendidikan di Hadramaut selama tiga sampai lima tahun.

Sekarang ini kembali banyak jamaah dari Indonesia yang mengirimkan putra, bahkan ada juga putrinya ke Hadramaut. Kebanyakan mereka menempuh pendidikan dengan sistem pesantren di Tarim; tempat Habib Umar Syekh Abubakar.

 
Berita Terpopuler