Kecacatan Putusan MA Soal Batas Usia Kepala Daerah Menurut Analisis Mahfud

"Bukan hanya cacat etik, cacat moral, tapi juga cacat hukum," kata Mahfud.

Republika/Thoudy Badai
Mahfud MD
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Bayu Adji P

Baca Juga

 

Pakar hukum tata negara, Mahfud MD mengatakan putusan Mahkamah Agung (MA) soal batas usia kepala daerah membuat kacau. Sebab, dalam tata hukum putusan MA mengikat, sehingga KPU tidak bisa menghindar walaupun secara kewenangan salah.

"Oleh sebab itu, ini bukan hanya cacat etik, cacat moral, tapi juga cacat hukum. Kalau berani lakukan saja ketentuan Pasal 17, UU Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan setiap putusan yang cacat moral saja, apalagi cacat hukum, tidak usah dilaksanakan," kata Mahfud dalam podcast 'Terus Terang' di kanal YouTube Mahfud MD Official yang disimak pada Kamis (6/6/2024).

Menko Polhukam periode 2019-2024 itu turut mengkritisi pernyataan mantan hakim agung, Gayus Lumbuun, yang menyebut ini tinggal dibicarakan ke DPR. Padahal, tidak bisa karena DPR sendiri sudah ada dalam UU soal syarat 30 tahun saat mendaftar.

Ia menilai, kecurigaan masyarakat memang menjadi konsekuensi logis dari tindakan-tindakan selama ini yang dilakukan melalui eksekutif atau yudikatif. Yang mana, cacat, melanggar etik berat, sehingga membuat masyarakat mengasosiasikan ini jadi curiga.

"Sehingga, timbul Mahkamah Kakak (MK), Mahkamah Anak (MA), Menangkan Kakak (MK), Menangkan Adik (MA), muncul berbagai istilah itu, itu konsekuensi, jadi bahan cemoohan di publik, sehingga kita pun malas lah mengomentari kayak gitu-gitu, biar nanti busuk sendiri, ini sudah busuk, cara berhukum kita ini sudah busuk sekarang," ujar Mahfud.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2008-2013 itu sudah pula bertanya ke ahli-ahli hukum soal cara memperbaiki cara berhukum karena kebusukan sudah di semua lini dan tidak mendapat jawaban. Namun, Mahfud mengaku masih memiliki harapan.

"Kalau saya masih punya harapan, mudah-mudahan nanti kalau sudah dilantik Pak Prabowo melakukan perubahan-perubahan yang bagus, itu akan membantu bagi pemerintah, akan membantu bagi Pak Prabowo kalau hukum ditegakkan dengan benar," kata Mahfud.

Restu Jokowi di panggung politik Kaesang. - (Republika)

 

Soal komentar salah satu ketua umum partai yang menyebut kalau Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah melarang Kaesang Pangarep untuk maju di kontestasi Pilkada, Mahfud mengaku tidak ingin percaya atau tidak percaya. Sebab, itu sudah pernah terjadi.

Tepatnya, saat Gibran Rakabuming Raka diisukan maju dalam kontestasi Pilpres dan Presiden Jokowi menyebutnya masih terlalu muda dan belum cukup umur. Tapi, pada akhirnya Jokowi mengaku dipaksa parpol dan itu urusan parpol.

"Saya tidak ingin percaya atau tidak percaya, sudah malas, yang dulu kan juga bilang begitu, dulu bilang begitu. Akhirnya, saya dipaksa oleh parpol, itu urusan parpol, dulu kan dia bilang tidak setuju, sekarang mau dikomentari lagi malah nanti kita ini malu pada diri sendiri," ujar Mahfud.

Anggota DPR RI periode 2004-2008 itu menerangkan, kejadian ini merupakan contoh rule by law, ketika keinginan sekelompok orang ditempuh melalui cara-cara seperti ke MA. Menurut Mahfud, biarkan saja cara berhukum kita yang sudah rusak ini berjalan.

Sebab, ia menekankan, mau tidak dilaksanakan itu sudah menjadi putusan MA, tapi mau dilaksanakan putusan MA itu bertentangan dengan Undang-Undang (UU) dan kewenangannya. Sementara, MA yang seharusnya meluruskan ini malah bungkam.

"Apa yang mau dilakukan, saya tidak tahu apa yang harus dilakukan, ini berhukum kita sudah rusak, biar saja jalan kan nabrak sendiri, saya tidak tahu caranya," kata Mahfud.

Terkait sosok hakim-hakim MA, Mahfud mengaku tidak terlalu mengenal rekam jejak, karier dan kemampuan akademis mereka. Tapi, Mahfud merasa, putusan itu memang aneh dibuat hampir bersamaan dengan pembebasan mantan hakim, Gazalba Saleh.

Meski begitu, Mahfud mengaku tetap akan menaruh harapan pada pemerintahan baru Prabowo Subianto yang dalam waktu dekat akan dilantik. Ia berharap, pemerintahan Prabowo Subianto mampu memperbaiki kacau balau cara berhukum kita belakangan.

"Untuk memperbaiki, kita berharap bisa memulai dengan itu, kalau tidak ya rusak ke depan, akhirnya menjadi negara hukum rimba," ujar Mahfud.

KPU RI dilaporkan telah menerima putusan MA yang dimaksud Mahfud tersebut pada Senin (3/6/2024). Namun, Ketua KPU Hasyim Asy'ari masih belum mau komentar terkait adanya putusan MA yang meminta batas minimal usia calon dihitung saat pelantikan pasangan calon terpilih, bukan saat penetapan calon.

"Saya belum komentar dulu, karena masih harmonisasi," kata dia saat ditemui di Kantor KPU RI, Senin malam.

Sementara itu, Komisioner KPU Idham Holik mengaku telah menerima putusan MA yang belakangan ramai menjadi perhatian. Menurut dia, pihaknya akan segera melakukan pembahasan internal untuk menyikapi putusan tersebut. 

 

"Ya KPU akan merapatkan. Tadi saya sudah melaporkan kepada ketua KPU RI dan sepertinya akan dilakukan pembahasan di internal," kata dia saat dikonfirmasi wartawan. 

Ia menambahkan, sebagaimana kewajiban etis, KPU akan berkomunikasi dan berkonsultasi dengan pembentuk Undang-Undang. Ia meyakini bahwa pembentuk UU sangat memahami bahwa putusan MA itu memiliki kekuatan hukum yang final dan mengikat. 

Ketika diminta kepastian mengenai kemungkinan putusan MA diadopsi dalam PKPU tentang pencalonan, Idham tak menberikan jawaban tegas. "Ya KPU akan mengkaji dan merapatkannya," ujar dia.

Sebelumnya, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Haykal mengatakan, putusan MA itu sangat keliru. Pasalnya, dilihat dari dalil pemohon, permohonan itu dinilai mencoba mencampuradukkan dan mebiaskan antara persyaratan pencalonan dan persyaratan pelantikan calon terpilih. Parahnya, dalil keliru itu justru diamini oleh MA.

"Bahkan, (MA) mempertimbangkan adanya ketidakkonsistenan dari PKPU sebelumnya. Menurut kami ini tindakan yang sangat keliru untuk mencampuradukan antara persyaratan calon dengan persyaratan pelantikan," kata dia saat dikonfirmasi Republika, Kamis (30/5/2024).

 

Haykal mengatakan, dalam Pasal 7 UU Pilkada disebutkan jelas bahwa batasan usia itu merupakan bagian dari persyaratan pencalonan. Poin itu dinilai tidak seharusnya ditafsirkan lain untuk menjadi persyaratan pelantikan calon terpilih.

Ia menambahkan, permohonan yang dilakukan pemohon itu juga bukan upaya yang dilakukan di ruang kosong atau tanpa tujuan. Menurut dia, permohonan itu perlu disinyalir untuk menjadi upaya kelompok tertentu.

Haykal mengatakan, putusan MA itu tentu harus menjadi perhatian publik. Ia menduga, putusan itu dapat memuluskan atau membuka jalan bagi Kaesang Pangarep untuk menjadi cagub atau cawagub. Pasalnya, putra bungsu Presiden Joko Widodo atau Jokowi itu masih terkendala dengan persyaratan usia yang belum memenuhi 30 tahun ketika penetapan cagub atau cawagub, apabila mengikuti aturan PKPU yang diuji.

 

Komik Si Calus : Dinasti - (Daan Yahya/Republika)

 
Berita Terpopuler