Prof Quraish Shihab Jelaskan Cara Islam Posisikan Lingkungan, Alam Raya Bagai Satu Tubuh

Quraish Shihab menjelaskan penafsiran ulama terkait alam semesta.

Majelis Hukama
Cendekiawan Islam Indonesia Quraish Shihab.
Rep: Fuji Eka Permana Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Profesor Quraish Shihab dalam buku Islam dan Lingkungan: Perspektif Alquran Menyangkut Pemeliharaan Lingkungan menjelaskan pandangan Islam terhadap lingkungan hidup. Dalam buku tersebut KH Quraish Shihab mengutip beberapa pakar di antaranya pakar tafsir Muhammad Husain Thabathaba'i, yang menjelaskan bahwa alam semesta bagaikan satu tubuh, semuanya saling terkait dan saling mempengaruhi.

Baca Juga

Dikatakan pakar tafsir tersebut, jika manusia telah sangat menyimpang dari jalan yang lurus dan melampaui batas tertentu, juga pada gilirannya akan memicu reaksi alam dan dampaknya negatif.

Dijelaskan KH Quraish Shihab dalam bukunya terbitan Lentera Hati 2023, sebelum masuk menguraikan dengan sedikit rinci tentang pandangan Islam menyangkut lingkungan hidup dan aneka tuntunan dan solusi yang ditawarkannya guna menanggulangi atau paling tidak mengurangi aneka problema lingkungan. Maka terlebih dahulu wajar dikemukakan bahwa jauh sebelum terjadinya pencemaran sebagaimana yang dialami oleh manusia pada abad modern ini, kitab suci Alquran telah membicarakannya secara gamblang dan tegas sambil menjelaskan penyebab utamanya. 

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

Żaharal-fasādu fil-barri wal-baḥri bimā kasabat aidin-nāsi liyużīqahum ba‘ḍal-lażī ‘amilū la‘allahum yarji‘ūn(a).

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, sehingga akibatnya Allah "mencicipkan" kepada mereka sebahagian dari perbuatan mereka, agar mereka kembali. (QS Ar-Rum Ayat 41)

Kata al-fasad yang diterjemahkan dengan kerusakan menurut pakar kosakata Alquran, ar-Raghib al-Ishfahani (w. 1108 M) adalah keluarnya sesuatu dari keseimbangan, baik sedikit maupun banyak. Kata ini digunakan menunjuk apa saja, baik jasmani atau material, jiwa atau spiritual, maupun hal-hal lain. Ia juga diartikan sebagai antonim dari (ash-shalah) yang berarti manfaat atau berguna.

Kalau merujuk kepada Alquran, ditemukan sekian banyak ayat yang berbicara tentang aneka fasad yakni kerusakan, antara lain firman-Nya yang melukiskan sosok durhaka.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَاِذَا تَوَلّٰى سَعٰى فِى الْاَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيْهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ ۗ وَ اللّٰهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ 

Wa iżā tawallā sa‘ā fil-arḍi liyufsida fīhā wa yuhlikal-ḥarṡa wan-nasl(a), wallāhu lā yuḥibbul-fasād(a).

Apabila ia (sang durhaka) berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak. Allah tidak menyukai al-fasad. (QS Al-Baqarah Ayat 205)

Ibrahim bin Umar al-Biqaʻi (1406-1480 M) menyatakan bahwa al-fasad adalah "kekurangan dalam segala hal yang dibutuhkan makhluk." Benar, ulama yang pakar Alquran itu memilih kata makhluk bukan hanya manusia.

Ayat di atas menyebut darat dan laut sebagai tempat terjadinya fasad itu. Ini dapat berarti daratan dan lautan menjadi arena kerusakan, misalnya dengan terjadinya pembunuhan dan perampokan di kedua tempat itu, dan dapat juga berarti bahwa darat dan laut sendiri telah mengalami kerusakan, ketidakseimbangan serta kekurangan manfaat.

 

Lihat halaman berikutnya >>>

 

Laut telah tercemar, sehingga ikan mati dan hasil laut berkurang. Daratan semakin panas sehingga terjadi kemarau panjang. Alhasil, keseimbangan lingkungan menjadi kacau. Inilah yang mengantar sementara ulama kontemporer memahami ayat ini sebagai isyarat tentang kerusakan lingkungan. Bahwa ayat di atas tidak menyebut udara, boleh jadi karena yang ditekankan di sini adalah apa yang tampak saja. Bisa jadi juga karena keduanya adalah tempat hunian manusia atau bisa juga karena penyebutan laut dan darat telah mencakup area udara, karena sebagaimana uraian sementara pakar menyangkut cakupan "ruang lingkup lingkungan hidup" adalah bahwa ia termasuk atmosfer bumi sampai sekitar 500 km dari permukaan bumi dengan berbagai macam lapisan yang berbeda-beda.

Semakin Banyak Kerusakan Lingkungan, Semakin Berdampak Terhadap Manusia

Muhammad Thaher Ibnu 'Asyur (1879- 1973 M), ulama besar asal Tunisia, mengemukakan beberapa penafsiran tentang ayat di atas, dari penafsiran yang sempit hingga yang luas. Makna terakhir yang dikemukakannya adalah bahwa alam raya telah diciptakan Allah dalam satu sistem yang sangat serasi dan sesuai dengan kehidupan manusia.

Tetapi manusia melakukan kegiatan buruk yang merusak, sehingga terjadi kepincangan dan ketidakseimbangan dalam sistem kerja alam. Ayat di atas mengisyaratkan bahwa kerusakan yang terjadi dapat berdampak lebih buruk. Tetapi rahmat Allah masih menyentuh manusia, karena Dia baru mencicipkan, bukan menimpakan kepada mereka. Di sisi lain, dampak tersebut baru akibat sebagian dosa mereka. Dosa yang lain boleh jadi diampuni Allah, dan boleh jadi juga ditangguhkan siksanya ke hari yang lain.

Dosa dan pelanggaran (fasad) yang dilakukan manusia, mengakibatkan gangguan keseimbangan di darat dan di laut. Lalu ketiadaan itu, mengakibatkan siksaan. Demikian pesan ayat di atas. Semakin banyak perusakan terhadap lingkungan, semakin besar pula dampak buruknya terhadap manusia. Semakin banyak dan beraneka ragam dosa manusia, semakin parah pula kerusakan lingkungan.

Hakikat ini merupakan kenyataan yang tidak dapat dimungkiri lebih-lebih dewasa ini. Memang Allah SWT menciptakan semua makhluk, saling berkaitan. Dalam keterkaitan itu, lahir keserasian dan keseimbangan dari yang terkecil hingga yang terbesar, dan semua tunduk dalam pengaturan Allah Yang Maha Besar. Jika terjadi gangguan pada keharmonisan dan keseimbangan itu, maka kerusakan terjadi, dan ini kecil atau besar, pasti berdampak pada seluruh bagian alam, termasuk manusia, baik yang merusak maupun yang merestui perusakan itu bahkan tidak mustahil yang tidak berdosa pun terdampak.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لَّا تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَاۤصَّةً ۚوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

Wattaqū fitnatal lā tuṣībannal-lażīna ẓalamū minkum khāṣṣah(tan), wa‘lamū annallāha syadīdul-‘iqāb(i).

Peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah Maha Keras hukuman-Nya. (QS Al-Anfal Ayat 25)

Alam Semesta Bagai Satu Tubuh, Saling Berkaitan dan Mempengaruhi

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

Wa lau anna ahlal-qurā āmanū wattaqau lafataḥnā ‘alaihim barakātim minas-samā'i wal ardḍi wa lākin każżabū fa akhażnāhum bimā kānū yaksibūn(a).

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami melimpahkan kepada mereka berkah berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan, maka Kami siksa mereka disebabkan apa yang mereka lakukan. (QS Al-A‘raf Ayat 96)

 

Lihat halaman berikutnya >>>

 

 

Ayat ini dikomentari oleh pakar-pakar tafsir dalam konteks lingkungan, pakar tafsir Muhammad Husain Thabathaba'i (1904-1981 M), misalnya, antara lain menulis bahwa: Alam raya dengan segala bagiannya yang rinci, saling berkaitan antara satu dengan yang lain bagaikan satu badan dalam keterkaitannya, pada rasa sakit atau sehatnya, juga dalam pelaksanaan kegiatan dan kewajibannya. Semua saling mempengaruhi, dan semua pada akhirnya, sebagaimana dijelaskan Alquran, bertumpu dan kembali kepada Allah SWT.

Apabila salah satu bagian tidak berfungsi dengan baik atau menyimpang dari jalan yang seharusnya ia tempuh, maka akan tampak dampak negatifnya pada bagian yang lain, dan pada gilirannya akan mempengaruhi seluruh bagian. Hal ini berlaku terhadap alam raya dan merupakan hukum alam yang ditetapkan Allah SWT yang tidak mengalami perubahan: termasuk terhadap manusia, dan manusia pun tidak mampu mengelak darinya.

Manusia yang menyimpang dari jalan lurus yang ditetapkan Allah bagi kebahagiaannya, penyimpangannya dalam batas tertentu itu, menjadikan keadaan sekelilingnya termasuk hukum-hukum sebab akibat yang berkaitan dengan alam raya dan yang mempengaruhi manusia ikut terganggu. Hal ini pada gilirannya juga akan menimbulkan dampak negatif. Bila itu terjadi, akan lahir krisis dalam kehidupan bermasyarakat serta gangguan dalam interaksi sosial mereka, seperti krisis moral, ketiadaan kasih sayang, kekejaman bahkan lebih dari itu akan bertumpuk musibah dan bencana alam, seperti keengganan langit menurunkan hujan atau bumi menumbuhkan tumbuhan, banjir dan air bah, gempa bumi dan bencana alam lainnya.

Semua itu adalah tanda-tanda yang diberikan Allah SWT untuk memperingatkan manusia agar mereka kembali ke jalan yang lurus. Kalau mereka enggan kembali, maka di sanalah hati mereka dikunci dan ketika itu mereka menduga bahwa kehidupan itu hanya kehidupan material yang penuh dengan krisis, dan bahwa kehidupan hanya upaya untuk menghadapi alam dan menundukkannya. Ketika itu manusia mengatur hidupnya atas dasar pandangan tersebut, serta berusaha sekuat tenaga dan pikirannya untuk yang dapat menghalangi (menangkal) bencana alam dengan ilmu dan teknologi.

 

 

Tetapi sungguh manusia sangat kufur lagi angkuh ketika mereka menduga bahwa ilmu dan teknologinya akan dapat mengalahkan kekuatan Allah Yang Maha Kuasa. Bagaimana manusia dapat mengalahkan-Nya, sedang manusia dan alam raya semuanya berada di bawah kekuasaan-Nya. Allah juga (hanya Allah, tidak ada yang lain) yang menghubungkan partikel-partikel kecil sampai dengan yang terbesar antara satu dengan yang lain dari seluruh bagian jagat raya ini. Demikian lebih kurang Thabathabai.

 
Berita Terpopuler