Memetakan Polemik Pulau Rempang

Sengketa hak milik tanah antara pemerintah dan masyarakat Pulau Rempang yang sudah berlangsung sejak lama.

retizen /Jenisa Capriani
.
Rep: Jenisa Capriani Red: Retizen

Jika kita menemukan sebuah potensi terhadap suatu hal, pastinya kita akan tertarik untuk mengembangkan dan memaksimalkan potensi tersebut, tetapi prosesnya pasti tidak mudah dan melalui berbagai rintangan. Seperti halnya Pulau Rempang yang belakangan ini naik kembali ke permukaan karena bentrokan yang terjadi antara sebuah perusahaan, pemerintah, dan masyarakat Rempang.

Perusahaan dan pemerintah melihat potensi dari Pulau Rempang sehingga mencanangkan proyek yang bernama Rempang Eco-City. Sedangkan dari kacamata masyarakat Rempang, mereka tidak ingin direlokasi karena sudah turun-temurun tinggal di pulau tersebut dan ada 16 kampung tua yang asal-usulnya bisa dibuktikan. Pengerucutan masalahnya ada pada surat izin dan hak milik yang tidak jelas oleh pemerintah terutama oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Mengenal Pulau Rempang

Pulau Rempang terletak di tenggara Pulau Batam, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau yang memiliki luas wilayah sekitar 16.583 hektar.

Pulau yang menurut data dari Badan Pusat Statistik dihuni oleh 7.512 jiwa ini memiliki 16 kampung tua yang merupakan penghuni asli dan beranak pinak sejak tahun 1834 hingga saat ini.

Menurut Keppres No. 28 Tahun 1992, wilayah kerja Otorita Batam melebar, wilayah tersebut mencakup Pulau Batam, Pulau Galang, Pulau Rempang, dan pulau-pulau sekitarnya, hal itu melahirkan istilah yang cukup terkenal, yaitu Barelang, kepanjangan dari Batam, Rempang, dan Galang. Pulau Rempang terkoneksi dengan pulau-pulau lain melalui Jembatan Barelang, jembatan yang terhubung satu sama lain dan dibangun dengan tujuan memperluas Otorita Batam sebagai regulator daerah industri Pulau Batam

Selain itu, Pulau Rempang juga berkembang pada sektor pertanian dan perikanan, serta terdapat beberapa keindahan pantainya yang patut dijadikan wisata saat ke Pulau Rempang.

Hak Tanah Pemerintah VS Hak Masyarakat Adat

Sebenarnya polemik ini sudah berlangsung semenjak lama. Berawal dari Hak Guna Usaha (HGU) atas Pulau Rempang yang diberikan oleh negara kepada sebuah entitas perusahaan di tahun 2001-2002 yang nyatanya tidak pernah disambangi maupun dikelola oleh investor hingga tahun 2004.

Mulai tahun 2004 inilah akar masalahnya tumbuh, yaitu pemerintah negara melalui pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam/Badan Pengusahaan (BP) yang menggandeng PT Makmur Elok Graha sebagai pemegang hak eksklusif kawasan Rempang dengan jangka waktu perjanjian 80 tahun untuk mengembangkan proyek Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE) yang sekarang dikenal dengan proyek Rempang Eco-City. Proyek tersebut akan merelokasi beberapa kampung yang terdapat di Pulau Rempang. Tetapi karena pertanggungjawaban yang belum jelas dan hanya sepihak dari BP Batam, masyarakat Rempang menolak untuk angkat kaki dari kediamannya.

Selain itu, masyarakat Rempang yang terdiri dari Suku Melayu, Suku Laut, dan beberapa suku lainnya juga sudah menghuni selama lebih dari 200 tahun sehingga mereka secara otomatis merasa memiliki keterikatan dan hak tanah di Pulau Rempang tanpa adanya sertifikat tanah yang sah karena hal tersebut memang belum eksis pada masanya. Hal-hal tersebut menyebabkan tumpukan hak penguasaan tanah yang tidak paten kejelasannya.

Perspektif Perusahaan-Pemerintah: Perizinan Proyek Rp318 Triliun, Proyek Eco-City

Menurut data dari situs BP Batam, proyek Rempang Eco-City akan meraup lahan seluas 7.572 hektar di Pulau Rempang atau 45,89% dari keseluruhan lahan pulau Rempang yang memiliki luas sebesar 16.500 hektar. Dengan perkiraan pemasukan investasi menyentuh angka Rp318 triliun pada tahun 2080 sehingga menjadi salah satu bagian dari Program Strategis Nasional.

Sebenarnya proyek yang saat dulu dikenal KWTE sempat mandek karena adanya dugaan kasus korupsi pada tahun 2007, hingga muncul kembali ke permukaan dengan nama proyek Rempang Eco-City pada tahun 2023 karena pemerintah mengadakan nota kesepahaman pembangunan pabrik kaca dan solar panel dengan Perusahaan asal China, Xinyi Group. Sebagai bagian dari proyek Rempang Eco-City, proyek ini bernilai sekitar Rp174 triliun.

Perelokasian warga asli Pulau Rempang pun tidak terelakkan karena proyek ini. Sebagai bentuk kompensasi, Muhammad Rudi selaku kepala BP Batam menyampaikan bahwa pemerintah menyediakan rumah tipe 45 yang bernilai Rp120 juta dengan tanah seluas 500 meter persegi.

Dengan berbagai keuntungan dan solusi yang sudah dipaparkan, pastinya proyek ini menjadi salah satu strategi yang bagus untuk mencapai tujuan awal dari Rempang Eco-City, yaitu meningkatkan daya saing negara Indonesia dengan Malaysia dan Singapura dengan cara terbukanya destinasi pariwisata baru dan membuka banyak lapangan pekerjaan. Lokasi Pulau Rempang juga termasuk strategis dengan negara lain sehingga perkiraan aksesnya pasti mudah.

Perspektif Masyarakat Rempang: Penghuni dari Ratusan Tahun yang Lalu

Pada dasarnya warga Rempang menolak karena harus direlokasi dari tempat tinggalnya. Tetapi, warga juga tidak memiliki bukti fisik berupa sertifikat tanah atas kepemilikan tanah yang dihuninya. Hal tersebut karena mereka sudah beranak pinak sejak 200 tahun yang lalu, dimana sertifikat kepemilikan tanah belum ada di Indonesia, jadi pengurusannya pun tidak terlalu diperhatikan oleh mereka.

Pulau Rempang sudah menjadi tempat tinggal yang nyaman untuk kehidupan sehari-hari mereka. Akibat proyek Rempang Eco-City yang walaupun kabarnya akan diberikan kompensasi, mereka tetap saja judulnya harus beradaptasi lagi dari awal dengan lingkungan baru.

Selain itu, masyarakat Rempang juga sempat mendengar kabar burung tentang kegagalan proyek reklamasi Teluk Benoa yang terjadi saat ditangani oleh Tomy Winata selaku pemilik Grup Artha Graha, PT Makmur Elok Graha merupakan salah satu anak perusahaannya. Masyarakat tidak terima jika haknya disepelekan dan diinjak begitu saja jika hal yang terjadi pada reklamasi Teluk Benoa menimpa mereka juga.

Akhirnya, karrena penolakan Masyarakat yang tidak kunjung mengosongkan Pulau Rempang, terjadilah puncak konflik antara warga dan pemerintah, karena pemerintah menurunkan apparat dan melemparkan gas air mata kepada warga yang unjuk rasa menolak Rempang Eco-City. Hingga melukai anak-anak dan warga sekitar.

Ujung dari Polemik Pulau Rempang: Proyek Eco-City dan Masyarakat Rempang

Pada dasarnya, polemik ini terjadi karena tumpang tindih hak milik tanah antara banyak pihak, kurangnya komunikasi yang baik antara pihak satu dengan pihak yang lain juga memperumit konflik ini untuk mencapai titik kejelasan. Tetapi, jika pihak PT Makmur Elok Graha, BP Batam, dan pemerintah memaparkan kepada masyarakat Rempang secara rinci, jelas, tidak berbelit, serta diberikan solusi yang dapat diterima maka proyek ini akan sangat bagus jika dijalankan.

Tujuan dari Rempang Eco-City untuk dapat bersaing dengan negara lain dengan membuka destinasi pariwisata dan kehidupan industri, serta membuka lapangan perkerjaan baru untuk masyarakat sekitar.

Kilas balik dari proyek politik mercusuar yang dulu juga ditolak oleh masyarakat daerah yang bersangkutan karena harus digusur dari tempat tinggalnya, beberapa tahun kemudian alias saat ini hasil positifnya sudah terlihat nyata. Masyarakat yang dulunya menentang juga sebagian besar telah berdamai dengan keadaan bahkan ada yang menjadi bangga dengan hasilnya. Maka tidak menutup kemungkinan juga jika proyek Rempang Eco-City berakhir baik seperti ini walau jangka waktunya lama, asal prosesnya amanah dan diperhitungkan dengan matang.

 
Berita Terpopuler