Mengenal Hukum Humaniter Islam

Artikel mengenai hukum perang di dalam Islam

retizen /Gili Argenti
.
Rep: Gili Argenti Red: Retizen

Ilustrasi tentara Islam, sumber : https://islam.nu.or.id

Saat ini penting sekali bagi kita sebagai warga dunia untuk mempelajari hukum humaniter, mengingat situasi dunia diliputi ketidakpastian akan perdamaian serta jaminan keamanan. Terlebih krisis kemanusiaan dampak dari perang Rusia-Ukraina dan Israel-Hamas, telah merobek-robek nurani kita sebagai umat manusia, belum juga menandakan akan berhenti, justru setiap hari kita disuguhkan pemandangan memilukan, tentang begitu murahnya nyawa manusia, seakan-akan hak hidup setiap individu tidak berharga lagi.

Dengan kita mempelajari hukum humaniter kita memiliki kepekaan sosial serta memperkuat nilai-nilai kemanusiaan, hal ini mampu mendorong rasa keperdulian dan solidaritas atas penderitaan umat manusia dampak dari peperangan, yang terjadi diberbagai belahan dunia lain, juga berperan dalam mencegah eskalasi kekerasan serta menjaga perdamaian, dan meningkatkan kesadaran kita tentang isu-isu global terkait konflik dan hak asasi manusia.

Arti penting lain, kita mempelajari hukum humaniter, berdasarkan hasil penelitian, bahwa selama 3.400 tahun, umat manusia hanya mengenal 250 tahun masa perdamaian, telah terjadi peperangan diberbagai tempat selama ribuan tahun, melibatkan negara antar negara, bangsa antar bangsa, dan peradaban antar peradaban, dengan jumlah korban tidak bisa dihitung saking banyaknya. Maka, dengan memahami hukum humaniter kita bisa menjadi agen perdamaian, serta aktif memberikan kontribusi nyata, mendukung proses perdamaian ketika menemukan potensi konflik ditengah-tengah masyarakat.

Pengertian Hukum Humaniter

Hukum humaniter pada awalnya dikenal sebagai hukum perang (laws of war) kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of arms conflict), dan pada akhirnya dikenal dengan hukum humaniter, sedangkan menurut Prof. Mochtar Kusumaatmadja “bagian dari hukum yang mengatur ketentuan perlindungan pada korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri, dengan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri” (Wagiman, 2007).

Kemudian menurut S.R Sianturi, “hukum yang mengatur mengenai suatu sengketa bersenjata yang timbul antara dua atau lebih pihak-pihak yang bersengketa, walaupun keadaan sengketa itu tidak diakui oleh satu pihak”. Jadi dapat disimpulkan bahwa hukum humaniter adalah seperangkat aturan, karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian bersenjata, hukum ini melindungi mereka yang tidak terlibat peperangan (Wagiman, 2007).

Sejarah Aturan Perang

Meskipun perkembangan modern hukum humaniter baru dimulai pada abad ke-19, ditandai persetujuan berbagai negara untuk menyusun aturan-aturan yang mengatur hukum perang, sebenarnya sudah sejak lama beberapa peradaban kuno sudah menerapkan aturan-aturan perang, tujuannya membuat batasan dan mengurangi dampak merugikan manusia.

Pertama, bangsa Sumeria memiliki aturan perang, bahwa sebelum memulai perang dengan bangsa lain, terlebih dahulu mendeklarasikan pernyataan perang, jadi tidak menyerang secara tiba-tiba dan membabi buta, kemudian memberikan kekebalan hukum bagi utusan musuh, tidak boleh dibunuh ketika menjalankan tugasnya, dan bersedia membuka kesempatan terjadinya perjanjian perdamaian. Kedua, bangsa Mesir ketika berperang, terdapat perintah dari raja untuk memberikan makanan, minuman, pakaian, dan perlindungan kepada musuh telah menyerah, juga perintah merawat yang sakit, dan menguburkan yang mati tidak memandang kawan atau lawan. Ketiga, di India kasta kesatria dilarang membunuh musuh sudah menyerah, bagi musuh yang terluka harus dipulangkan ke rumahnya setelah mereka diobati, serta di dalam peperangan tidak boleh menggunakan senjata beracun atau panah api (Wagiman, 2007).

Hukum Humaniter Islam

Kenapa kita harus mengetahui dan memahami hukum humaniter Islam? Jawabannya telah terjadi beberapa konflik bersenjata di negara-negara Islam, baik konflik internal atau eksternal, sehingga menegakan hukum perang Islam menjadi suatu keharusan, dengan tujuan utama melindungi warga sipil dari dampak buruk perang.

Kemudian, mencari tahu apa diperbolehkan dan tidak diperbolehkan dalam hukum perang Islam, sehingga mampu melindungi kehormatan serta kepemilikan benda dan nyawa para non-kombatan (masyarakat sipil), sehingga dapat terhindar dari kejahatan perang yang menciderai kemanusiaan dan keadilan.

Di dalam hukum humaniter Islam terdapat beberapa pihak yang mendapatkan imunitas, yaitu kelompok-kelompok sosial terkategorikan non-kombatan, yaitu (1) perempuan dan anak-anak, (2) orang lanjut usia, (3) orang sakit dan cacat, (4) rohaniawan, (5) petani dan pekerja.

Pertama, Perempuan dan anak-anak, para ahli hukum Islam sepakat tidak boleh menjadikan perempuan serta anak-anak sebagai sasaran perang, karena keduanya merupakan kelompok tidak pantas ikut berperang disebabkan oleh kelemahan fisik mereka. Tetapi, sebagian ahli hukum Islam memiliki pendapat, jika perempuan itu terlibat sebagai kombatan serta berhasil membunuh tentara muslim maka ia bisa dijadikan target sasaran perang, kecuali selama pertempuran berlangsung perempuan itu hanya bertugas menjaga pasukan atau benteng pertahanan, perempuan itu tidak bisa dijadikan sebagai sasaran perang, ia tetap memiliki hak imunitas, begitu juga anak-anak yang terlibat sebagai kombatan perang pihak musuh, di dalam hukum Islam tetap anak-anak itu tidak boleh dijadikan sebagai sasaran perang (Al-Dawoody, 2019).

Perlindungan Islam kepada perempuan dan anak-anak di dalam peperangan, terlihat dari perkataan Nabi Muhammad SAW, ketika terjadi Perang Hunain, seorang perempuan terbunuh. Nabi Muhammad SAW bertanya: “Kenapa begini?” Dia dibunuh Khalid bin Walid. Lalu Khalid diingatkan para sahabat bahwa Nabi Muhammad melarang membunuh perempuan, kanak-kanak, dan para pekerja. Nabi mengatakan “Dia bukanlah seseorang yang harus diperangi!” (Kaharudin, 2019).

Kemudian Dalam Perang Hawazin, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Kenapa suatu kaum berlebih-lebihan dalam berperang sampai harus menghabisi anak-anak. Sekarang aku ingatkan, janganlah kalian membunuh anak-anak (dikatakan tiga kali)!” (Kaharudin, 2019).

Kedua, Orang lanjut usia, berdasarkan perintah Nabi Muhammad SAW tidak boleh dijadikan sebagai sasaran perang, tidak terdapat sumber di dalam Islam yang membuktikan bolehnya menjadikan orang lanjut usia sebagai target sasaran, sekalipun orang lanjut usia itu mendukung tentaran musuh (Al-Dawoody, 2019).

Ketiga, Orang sakit dan cacat, tentara muslim dilarang memerangi mereka yang sakit atau cacat. Tetapi bagi kaum laki-laki yang sakit ringan serta memiliki kemungkinan sembuh, mereka akan diperlakukan sebagai tahanan. Lalu bagaimana dengan mereka yang bekerja di rumah sakit? di dalam hukum perang Islam, mereka akan dibiarkan bebas, bahkan tentara muslim diperbolehkan membuat kesepakatan, tidak menjadikan mereka sebagai tahanan perang (Kaharudin, 2019).

Keempat, Rohaniawan, tidak diperbolehkan menjadikan kelompok yang menyibukan diri di dalam rumah ibadah sebagai sasaran perang, dengan catatan sang rohaniawan itu tidak terlibat permusuhan dengan tentara muslim selama peperangan. Para ahli hukum Islam menyebut rohaniawan sebagai rahib (petapa, biarawan), sebagai tokoh agama yang mengabdikan dirinya untuk beribadah (Al-Dawoody, 2019).

Hal ini sesuai dengan wasiat khalifah Wasiat Abu Bakar kepada Yazid bin Muawiyah sebelum berangkat ke Syam: “Engkau akan berjumpa kelompok yang mengurung diri di dalam sinagog, biarkan mereka menetap dan jangan mengusik tempat mereka!” (Kaharudin, 2019).

Kelima, Petani dan pekerja, Khalifah Umar bin al-Khattab memberikan instruksi kepada Zaid bin Wahb, “Jangan mencuri barang rampasan, jangan berhianat, jangan bunuh anak-anak, jangan bunuh petani, dan takutlah kepada Allah”. Larangan membunuh petani menunjukan perhatian umat Islam kepada kelompok ini, mereka menjadi kelompok yang dilindungi ketika terjadi perang (Al-Dawoody, 2019). Kemudian pekerja yang bekerja bagi musuh untuk melakukan pelayanan di medan perang, seperti mengurusi ternak, tetapi tidak terlibat di dalam pertempuran, mereka juga tidak menjadi sasaran perang (Kaharudin, 2019).

Ketika tentara muslim berperang melawan tentara musuh di dalam hukum Islam terdapat beberapa aturan seperti (1) perisai manusia, (2) serangan malam (bayat), dan (3) mutilasi.

Perisai manusia, bila musuh menempuh tatarrus, artinya strategi menggunakan perisai manusia menghindari serangan tentara muslim, menggunakan individu-individu non-kombatan seperti perempuan, anak-anak, dan orang lanjut usia, atau tawanan berasal dari kaum muslim. Terdapat dua pendapat merespon hal itu, pendapat pertama tentara muslim diperbolehkan menyerang dengan catatan, serangan itu betul-betul diarahkan ke kombatan, serta menghindari korban dari kalangan non-kombatan, hal ini dipilih atas pertimbangan militer, berdasarkan resiko kekalahan bila tidak menyerang, sedangkan pendapat kedua jika resiko kekalahan tidak ada, maka dilarang menyerang musuh jika mereka menggunakan perisai manusia (Al-Dawoody, 2019).

Alternatifnya di era perang modern, sebaiknya perlu memberi peringatan dalam jangka waktu tertentu agar ada masa bagi masyarakat awam untuk menghindar dan melepaskan diri dari status mereka sebagai perisai manusia (Kaharudin, 2019).

Serangan malam, berdaskan hadis dari Anas bin Malik, “Setiap kali tiba di tempat orang-orang pada malam hari, Nabi Muhammad SAW tidak pernah memulai serangan sampai pagi”. Alasannya membahayakan nyawa perempuan dan anak-anak, alasan selanjutnya tidak boleh menyerang malam hari untuk menghindari jebakan musuh, atau agar pasukan Islam tidak keliru membunuh kawan sendiri, karena situasi gelap (Al-Dawoody, 2019).

Mutilasi, di dalam hukum perang Islam, tentara muslim dilarang melakukan mutilasi pada musuh, hal ini sesuai perintah Nabi Muhammad SAW mengeluarkan instruksi “jangan berhianat dan jangan memutilasi” dan “menghindari menyerang wajah”. Begitu juga perintah Khalifah Abu Bakar menulis surat pada gubernurnya di Yaman, “Waspadalah terhadap mutilasi, karena perbuatan dosa dan menjijikan” (Al-Dawoody, 2019).

Penutup

Mempelajari hukum humaniter dalam Islam memberikan manfaat luas, baik dari segi spiritual, etika, sosial, maupun politik. Ini tidak hanya memperkaya pengetahuan tentang ajaran Islam, tetapi juga meningkatkan kontribusi umat Islam dalam upaya global mencapai perdamaian, serta bisa mempromosikan dialog antarbudaya dan antaragama, serta mengurangi stereotip negatif tentang Islam.

Gili Argenti, Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA), Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Karawang.

Referensi Artikel

1. Al-Dawoody, Ahmed. 2019. Hukum Perang Islam (Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta).

2. Wagiman, Wahyu. 2007. Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta)

3. Kaharudin, Novriantoni. 2019. Prinsip-Prinsip Umum dan Kandungan Hukum Islam Tentang Konflik Bersenjata (Materi Presentasi di Malang, International Committee of the Red Cross, Net Working Advisor, Jakarta).

 
Berita Terpopuler