Kisah Muslim Aljazair Dibuang ke Kaledonia Baru, Tolak Suguhan Daging Babi Hingga Wafat

Muslim Aljazair dibuang ke Kaledonia Baru pada sekitar tahun 1870-an.

AP Photo/Nicholas Job
Suasana pascakerusuhan di Noumea, Kaledonia Baru, Rabu 15 Mei 2024.
Rep: Fuji E Permana Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada kisah tragis yang jarang diungkap dialami Muslim Aljazair saat dibuang (dideportasi) ke Kaledonia Baru oleh pemerintah kolonial Prancis yang sedang menjajah wilayah Aljazair. Umat Islam hanya disuguhi daging babi dalam perjalanan laut ke Kaledonia Baru sekitar tahun 1870-an.

Akhirnya banyak Muslim yang wafat karena menolak makan babi. Negara Kaledonia Baru adalah wilayah kepulauan di Samudera Pasifik. Ibu kotanya bernama Noumea. Kaledonia Baru lebih dekat ke Benua Australia, namun Muslim dari Aljazair yang terletak di Benua Afrika dibuang jauh-jauh ke Kaledonia Baru oleh kolonial Prancis yang sedang menjajah Aljazair.

Sampai saat ini, Kaledonia Baru masih berada di bawah kekuasaan Prancis dengan status sui generis, wilayah dengan otonomi khusus.

Baca Juga

BACA JUGA: Cina Respons Langkah Jaksa ICC Ajukan Surat Penangkapan Terhadap Netanyahu

Sekitar 150 tahun yang lalu, sejarah mencatat pasukan yang dipimpin oleh Syekh Al Mokrani dan Al Haddad gagal dalam perlawanan mereka selama setahun terhadap pemerintahan kolonial Prancis di Aljazair. Selanjutnya, Prancis mengirim ratusan warga Aljazair ke tempat yang dulunya merupakan koloni hukuman, yakni pulau Kaledonia Baru.

Diperkirakan lebih dari 2.000 warga Aljazair yang dianggap pemberontak oleh kolonial Prancis dideportasi ke Kaledonia Baru pada kuartal terakhir abad ke-19 atau sekitar tahun 1870-an.

Dalam perjalanan melalui laut... baca di halaman selanjutnya...

Dalam perjalanan melalui laut ke Kaledonia Baru, beberapa warga Aljazair yang beragama Islam meninggal karena menolak makan daging babi ketika kurma mereka habis. Kolonial Prancis saat itu menyediakan daging babi untuk Muslim di atas kapal. Kemudian, warga Muslim dipenjara di Kaledonia Baru.

"Saya ingin warga Aljazair mengetahui bahwa warga Aljazair lainnya telah tercerabut dari negaranya dan sangat menderita. Kakek-nenek saya dan banyak orang lainnya meninggal dengan berat hati. Mereka tidak dapat melihat kampung halamannya lagi. Mereka tidak punya apa-apa di sini selain kenangan. Saya akan mengirim mereka kembali ke rumah dengan karpet terbang jika saya bisa," kata Halima Jean, keturunan warga Aljazair yang dibuang ke Kaledonia Baru, dilansir dari laman Aljazirah, Rabu (22/5/2024).

Tayeb Aifa, seorang keturunan orang Aljazair yang dideportasi ke Kaledonia Baru mengatakan, ironi yang tragis. Prancis memanfaatkan warga Aljazair untuk menjajah negara ini (Kaledonia Baru) sementara warga Aljazair sendiri dijajah di dalam negerinya (di Aljazair, Benua Afrika).

Menurut antropolog Aljazair, Mamoun Benmouhoub, orang-orang yang diasingkan ke Kaledonia Baru sering kali merupakan tokoh berpengaruh dalam suku mereka. Pengasingan mereka berkontribusi pada terurainya tatanan sosial Aljazair dan terpecahnya keluarga-keluarga yang tidak akan pernah bertemu dengan kerabat mereka.

Pertama kali dijajah oleh Prancis pada 1853, Kaledonia Baru saat ini masih berada dalam kepemilikan Prancis. Sekitar 10 persen dari 270 ribu penduduknya adalah keturunan Aljazair.

Tiga generasi kemudian, mereka yang diasingkan memiliki warisan abadi bagi keturunan orang-orang yang dideportasi yang masih tinggal di kepulauan Kaledonia Baru.

Beberapa orang merasakan kebencian yang mendalam terhadap penjajah yang mengasingkan nenek moyang mereka. Bahkan yang membuat sakit hati adalah perlakuan penjajah terhadap nenek moyang warga Aljazair yang diasingkan ke Kaledonia Baru. Dalam perjalanan laut, nenek moyang mereka diperlakukan tidak manusiawi dan dipenjara saat tiba di Kaledonia Baru.

Ketika para warga Aljazair... baca di halaman selanjutnya...

Ketika para warga Aljazair yang diasingkan dibebaskan dari penjara di Kaledonia Baru, mereka tidak diizinkan kembali ke rumah di Aljazair. Banyak keturunan Aljazair merasakan kedekatan yang kuat dengan apa yang mereka anggap sebagai Tanah Air mereka dan melakukan perjalanan ke Aljazair untuk menemukan asal usul mereka. Ini dianggap sebagai ritual peralihan yang penting.

"Kami tahu dari mana kami berasal. Kami mendapatkan kembali identitas Aljazair kami atau Arab sebagaimana mereka menyebutnya di sini, itu selalu ada di dalam diri kita,” kata Bernard Salem, seorang keturunan orang Aljazair yang dideportasi oleh kolonial Prancis 150 tahun yang lalu.

Semua warga asli Aljazair yang dideportasi adalah laki-laki dan banyak yang akhirnya menikah dengan narapidana perempuan Prancis yang juga dikirim ke pulau tersebut dari daratan Prancis. Jadi, saat ini keturunan orang Aljazair yang dideportasi adalah ras campuran. Banyak di antara mereka yang bangga dengan warisan multi-etnis dan multi-budaya mereka, namun tetap merasa seperti orang Aljazair.

“Apakah kamu tahu bagaimana mereka (warga Aljazair) bisa bertahan (di pengasingan)?” tanya Halima Jean, keturunan Aljazair lainnya.

"Solidaritas," jawab Halima Jean.

Hubungan antara orang-orang yang dibuang inilah yang menurut banyak orang membiarkan nenek moyang mereka melestarikan tradisi seperti memberi nama Arab kepada anak-anak mereka, terlibat dalam olahraga berkuda, bahasa Arab, dan agama Islam. Seringkali, rasa identitas mereka melampaui garis keturunan dan banyak keturunan yang mencoba mendapatkan kewarganegaraan Aljazair.

Warga Aljazair yang diasingkan ke Kaledonia Baru adalah kisah gerakan perlawanan anti-kolonial yang kuat namun akhirnya berhasil dihancurkan oleh kolonial Prancis yang gemar menjajah. Namun, sekarang publik melihat bagaimana keturunan orang Aljazair yang dideportasi mampu mempertahankan identitas dan tradisi mereka satu setengah abad kemudian.

 
Berita Terpopuler