Menyoal Hukum Amal Orang Hidup untuk Orang Wafat 

Orang wafat tetap mendapatkan pahala dari beberapa ibadah.

Dok. Freepik
Seorang Muslim sedang berdoa (ilustrasi).
Rep: Fuji Eka Permana Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ustadz Abdul Somad (UAS) dalam buku 37 Masalah Populer menjelaskan masalah amal orang yang masih hidup untuk orang yang sudah wafat. Dalam penjelasannya UAS merujuk pada pendapat para alim ulama yang berilmu tinggi, yang paham hadits dan Alquran.

Baca Juga

Dalam penjelasannya, UAS menjelaskan amalan haji, puasa, kurban, sedekah dan lain sebagainya dari orang yang masih hidup untuk orang yang telah wafat.

Ibadah Haji 

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, seorang perempuan dari Juhainah datang menghadap Nabi Muhammad SAW seraya berkata, "Sesungguhnya ibu saya bernazar untuk melaksanakan ibadah

haji. Ia belum melaksanakan ibadah haji. Kemudian ia meninggal dunia. Apakah saya boleh menghajikannya?"

Rasulullah SAW menjawab, "Ya, laksanakanlah haji untuknya. Menurut pendapatmu, jika ibumu punya hutang, apakah engkau akan membayarkannya? Laksanakanlah, karena hutang kepada Allah lebih layak untuk ditunaikan."

Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya Rasulullah SAW mendengar seorang laki-laki mengucapkan, “Aku menyambut panggilan-Mu untuk Syubrumah."

Rasulullah SAW bertanya, “Siapakah Syubrumah?” Laki-laki itu menjawab, "Saudara saya” atau “Kerabat saya.”

Rasulullah SAW bertanya, “Apakah engkau sudah melaksanakan haji untuk dirimu sendiri?” Ia menjawab, “Belum.”

Rasulullah SAW berkata, "Laksanakanlah haji untuk dirimu, kemudian hajikanlah Syubrumah." (HR Abu Daud)

Ibadah Puasa

Dari Aisyah, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang mati, ia masih punya hutang puasa, maka walinya (ahli warisnya) melaksanakan puasa untuknya.” (Hadits shahih riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, bahkan Imam Muslim memuatnya dalam Bab: Qadha’ Puasa Untuk Mayat).

Pendapat ulama tentang hadits ini

Imam al-Baihaqi berkata dalam al-Khilafiyyat, "Masalah ini (masalah puasa untuk mayat) adalah kuat, saya tidak mengetahui ada perbedaan di kalangan ahli hadits tentang keshahihannya, oleh sebab itu wajib diamalkan.” 

Kemudian al-Baihaqi menyebutkan dengan sanadnya kepada Imam Syafi’i, Imam Syafi’i berkata, “Semua yang aku katakan, ternyata ada hadits shahih dari Nabi yang berbeda dengan itu, maka ambillah hadits, jangan ikuti pendapatku."

Ibadah Kurban

Kurban untuk orang lain. Disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Anas bin Malik, ia berkata, “Rasulullah SAW berkurban dua ekor kambing kibasy putih bersih dan bertanduk. Rasulullah SAW menyembelih keduanya dengan tangannya sendiri, beliau sebut nama Allah dan bertakbir. Beliau letakkan salah satu kakinya ke salah satu sisi kambing itu."

Juga hadits riwayat Imam Ahmad dari hadits Abu Rafi, sesungguhnya Rasulullah SAW apabila berkurban, beliau beli dua ekor kambing kibasy yang gemuk, bertanduk dan putih bersih. Beliau sembelih salah satunya dengan mengatakan, “Ya Allah, ini untuk umatku semuanya yang bersaksi kepada-Mu dengan tauhid dan bersaksi terhadapku telah menyampaikan (risalah Islam).” 

Kemudian Rasulullah SAW menyembelih kambing berikutnya dengan mengatakan, "Ini untuk Muhammad dan keluarga Muhammad.” Dalam kitab Majma’ az-Zawa’id disebutkan bahwa sanadnya hasan. (Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani) tidak memberikan komentar dalam kitab at-Talkhish.

Kurban adalah ibadah badan, dasarnya adalah harta. Rasulullah SAW berkurban untuk keluarganya dan untuk ummatnya, semuanya. Tidak diragukan lagi bahwa kurban itu mendatangkan manfaat bagi mereka, mereka mendapatkan balasan pahalanya. Andai pahalanya tidak sampai kepada mereka, maka tidak ada gunanya kurban itu dilaksanakan Rasulullah SAW untuk mereka.

Ibadah Sedekah

Dari Sa’ad bin ‘Ubadah, ia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah, sesungguhnya ibu saya meninggal dunia, apakah saya bersedekah untuknya?”

Rasulullah SAW menjawab, “Ya.” Saya bertanya lagi, “Apakah sedekah yang paling utama?”

Rasulullah SAW menjawab, “Memberi air minum.” (Hadits riwayat an-Nasa’i, status hadits ini: hadits hasan menurut al-Albani).

Bukan Tradisi Hindu

Ada yang menuduh bahwa bersedekah untuk orang yang sudah meninggal selama tujuh malam itu tradisi Hindu. Benarkah demikian? Mari kita lihat riwayat kalangan salaf tentang masalah ini.

Imam Ahmad bin Hanbal berkata dalam kitab az-Zuhd, "Hasyim bin al-Qasim meriwayatkan kepada kami, al-Asyja’i meriwayatkan kepada kami, dari Sufyan. Thawus berkata, “Sesungguhnya orang-orang yang sudah mati itu diazab di kubur mereka selama tujuh hari, maka dianjurkan agar bersedekah makanan untuk mereka pada hari-hari itu.”

Komentar Imam as-Suyuthi:

Permasalahan: azab terhadap orang-orang yang sudah wafat di kubur mereka selama tujuh hari, disebutkan oleh banyak imam dalam kitab mereka.

- Diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab az-Zuhd.

- Al-Hafizh Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam kitab al-Hulyah dengan sanadnya kepada Imam Thawus, salah seorang imam dari kalangan Tabi’in (kalangan Salaf).

- Disebutkan Imam Ibnu Juraij dalam kitab al-Mushannaf karyanya dengan sanadnya kepada Imam ‘Ubaid bin ‘Umair dan ia lebih besar daripada Imam Thawus di kalangan Tabi’in, bahkan ada yang mengatakan ia seorang shahabat Nabi Muhammad SAW.

- Disebutkan al-Hafizh Zainuddin bin Rajab dalam kitab Ahwal al-Qubur, ia riwayatkan dari Imam Mujahid dan Imam ‘Ubaid bin ‘Umair.

Tiga riwayat ini dihukum sebagai riwayat Mursal Marfu’, sebagaimana akan disebutkan penjelasannya.

Dalam riwayat Imam ‘Ubaid bin ‘Umair terdapat tambahan, “Sesungguhnya orang munafik diazab empat puluh Shubuh.” Dengan tambahan seperti ini disebutkan oleh:

- Al-Hafizh Abu ‘Amr bin Abdilbarr dalam kitab at-Tamhid.

- Imam Abu Ali al-Husain bin Rasyiq al-Maliki dalam Syarh al-Muwaththa’.

- Imam Abu Zaid Abdurrahman al-Jazuli dari kalangan Mazhab Maliki dalam kitab asy-Syarh al-Kabir ‘ala Risalah al-Imam Abi Muhammad bin Abi Zaid.

- Imam Abu al-Qasim bin Isa bin Naji dari kalangan Mazhab Maliki, juga dalam kitab asy- Syarh al-Kabir ‘ala Risalah al-Imam Abi Muhammad bin Abi Zaid. Beliau juga menyebutkan riwayat yang pertama (tanpa tambahan).

- Syekh Kamaluddin ad-Dumairi dari kalangan Mazhab Syafi’i dalam kitab Hayat al-Hayawan.

- Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitab al-Mathalib al-‘Aliyyah.

Riwayat dengan sanad yang lengkap dari Imam Thawus disebutkan oleh:

Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab az-Zuhd, “Hasyim bin al-Qasim meriwayatkan kepada kami, al-Asyja’i meriwayatkan kepada kami, dari Sufyan. Thawus berkata, “Sesungguhnya orang-orang yang sudah mati itu diazab di kubur mereka selama tujuh hari, maka dianjurkan agar bersedekah makanan untuk mereka pada hari-hari itu."

 

Lihat halaman berikutnya >>>

 

Al-Hafizh Abu Nu’aim dalam al-Hulyah, “Abu Bakr bin Malik meriwayatkan kepada kami, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal meriwayatkan kepada kami, Bapak saya meriwayatkan kepada kami, Hasyim bin al-Qasim meriwayatkan kepada kami, al-Asyja’i meriwayatkan kepada kami, dari Sufyan, ia berkata, ‘Thawus berkata, ‘Sesungguhnya orang-orang yang sudah mati itu diazab di kubur mereka selama tujuh hari, maka dianjurkan agar bersedekah makanan untuk mereka pada hari-hari itu'."

Riwayat dengan sanad bersambung dari Imam ‘Ubaid bin ‘Umair: Imam Ibnu Juraij berkata dalam kitab al-Mushannaf karyanya, “Dari al-Harits bin Abi al-Harits, dari ‘Ubaid bin ‘Umair, ia berkata, ‘Dua orang diazab; orang beriman dan orang munafik. Adapun orang yang beriman diazab selama tujuh hari.

Dari penjelasan Imam as-Suyuthi di atas jelaslah bahwa bersedekah untuk orang mati selama tujuh hari itu bukan tradisi agama Hindu, tapi tradisi kalangan Tabi’in dan Salafus Shalih. Terlalu cepat menarik kesimpulan dengan teori pengaruh hanya karena ada suatu indikasi kesamaan adalah tindakan tidak ilmiah.

Bagaimana dengan hadits, “Jika manusia meninggal dunia, maka putuslah amalnya?"

Jawaban Syekh Ibnu ‘Utsaimin:

Ini tidak bertentangan dengan hadits, “Apabila manusia meninggal dunia, maka putuslah amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang mendoakannya.” (HR Imam Muslim). 

Karena maksudnya adalah, “Amal mayat itu terputus.” Bukan berarti amal orang lain terputus kepada dirinya. Doa anak yang shaleh dijadikan sebagai amal orang yang sudah meninggal, karena anak itu bagian dari amalnya ketika ia masih hidup, karena dia menjadi penyebab keberadaan anak tersebut. Seakan-akan doa anak untuk orang tuanya seperti doa orang tua itu terhadap dirinya sendiri. 

Berbeda dengan doa selain anak, misalnya doa saudara untuk saudaranya, itu bukan amal orang yang sudah wafat, tapi tetap mendatangkan manfaat baginya. Pengecualian yang terdapat dalam hadits ini, amal si mayat terputus, bukan amal orang lain terputus untuk mayat. 

 

Oleh sebab itu Rasulullah SAW tidak mengatakan, “Amal terputus untuk mayat.” Tapi Rasulullah SAW mengatakan, “Amal mayat itu terputus. Perbedaan yang jelas antara dua kalimat ini.

 
Berita Terpopuler