Hadits Ungkap 70 Ribu Yahudi Sertai Dajjal Keluar dari Asbahan Iran, Benarkah Demikian?

Ulama berbeda pendapat tentang tafsir hadits 70 ribu Yahudi

Reuters/Ronen Zvulun
Ilustrasi Yahudi. Ulama berbeda pendapat tentang tafsir hadits 70 ribu Yahudi
Rep: Fuji E Permana Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dijelaskan, Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa Dajjal diikuti Yahudi Ashbahan sebanyak 70 ribu dan mengenakan jubah. 

Baca Juga

حَدَّثَنَا مَنْصُورُ بْنُ أَبِي مُزَاحِمٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ عَنْ إِسْحَققَ بْننِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَمِّهِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَتْبَعُ الدَّجَّالَ مِنْ يَهُودِ أَصْبَهَانَ سَبْعُونَ أَلْفًا عَلَيْهِمْ الطَّيَالِسَةُ 

“Telah menceritakan kepada kami Manhsur bin Abu Muzahim telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hamzah dari Al Auza'i dari Ishaq bin Abdullah dari pamannya, Anas bin Malik berkata Rasulullah SAW bersabda, “Dajjal diikuti Yahudi Asbahan sebanyak 70 ribu, mereka mengenakan jubah hijau.” (HR Imam Muslim).

Dosen Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) Jakarta, Ustadz Dr Ahmad Ubaidi Hasbillah menjelaskan, para ulama hadits klasik memahami Yahudi Asbahan secara literal. 

Yaitu, orang-orang Yahudi yang tinggal di wilayah Asbahan tersebut. Tetapi mereka memberi penekanan bahwa itu bukan berarti semua orang Asbahan adalah Yahudi.

"Bilangan 70 ribu yang ada di hadis itu bukan berarti bilangan yang pasti, dalam artian benar-benar 70 ribu sehingga menuntut adanya sensus," kata dia kepada Republika.co.id, Rabu (17/4/2024)

Dia menjelaskan, beberapa wacana belakangan ini memang cenderung mengarah ke sana. Mengaitkan jumlah Yahudi Asbahan saat ini apakah sudah mencapai 70 ribu, lalu dikaitkan dengan hadis tersebut.

Imam Abu Nuaim Al Asbahani, ulama asli Asbahan yang menulis buku sejarah Asbahan (Tarikh Asbahan) pernah menyinggung masalah ini.

قال أبو نعيم في تاريخ أصبهان: كانت اليهودية من جملة قرى أصبهان, وإنما سميت اليهودية لأنها كانت تختص بسكنى اليهود. قال: ولم تزل على ذلك إلى أن مصرها أيوب بن زياد أمير مصر في زمن المهدي بن المنصور فسكنها المسلمون وبقيت لليهود منها قطعة منفردة. وأما ما أخرجه مسلم عن أبي هريرة مرفوعاً قال: يتبع الدجال سبعون ألفا من يهود أصبهان، فلعلها كانت يهودية أصبهان يريد البلد المذكور, لا أن المراد جميع أهل أصبهان يهود وأن القدر الذي يتبع الدجال منهم سبعون ألفا.

Asbahan dan Yahudi disebut di situ karena saat itu di beberapa desa di Asbahan memang dikenal berpenduduk Yahudi. Lebih khusus lagi di Asbahan memang dulu pernah dikenal sebagai daerah yang punya perkampungan khusus Yahudi. 

"Itu berlangsung cukup lama, sampai masa Khalifah Al Mahdi bin Al Manshur. Sejak itu keberadaan orang Yahudi semakin tergeser dan tinggal tersisa beberapa bagian wilayah saja," kata Ustadz Ubaidi.

Ustadz Ubaidi menerangkan, Imam Abu Nuaim Al Asbahani menduga kuat tapi tidak sampai memastikan, bahwa Yahudi Asbahan yang dimaksud dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim itu boleh jadi memang Yahudi yang tinggal di daerah tersebut. 

Yaqut Al Humawi, Penulis Mu'jam al-Buldan (Ensiklopedi Negara-Negara) menyebut bahwa Asbahan ini punya sejarah panjang antara Yahudi, Majusi, dan Islam. Lokasinya pun sempat ada perubahan nama pada masanya.

"Beberapa ulama menyebutkan bahwa nama Asbahan itu dulu adalah nama untuk dua kota yang berbeda secara geografis. Satu (sebuah kota) di Irak dan satu lagi (sebuah kota) di Persia (Iran)," jelas Ustadz Ubaidi.

Ustadz Ubaidi menegaskan...

 

 

Ustadz Ubaidi menegaskan bahwa kota Asbahan tidak bisa dipastikan yang mana, apakah yang ada di Irak atau Iran yang dimaksudkan Nabi Muhammad SAW dalam haditsnya. 

Apalagi nama-nama negara dan wilayah saat ini sudah banyak yang mengalami perubahan nama, perubahan geografis, dan lain sebagainya. Sedangkan dalam hadis tersebut tidak dijelaskan detailnya.

Ulama pengkaji hadits ini menjelaskan, terkait pemahaman para ulama dalam memahami hadits ini dapat dipetakan menjadi dua. Antara ulama klasik dan ulama kontemporer. Keduanya sama-sama menekankan kehati-hatian dalam memahami hadits ini. "Para ulama tidak pernah menemukan titik sepakat dalam memahami hadits ini," kata dia.

Ustadz Ubaidi menjelaskan, para ulama klasik memahami hadits ini secara futuristik. Umumnya mereka mengkategorikan hadis ini sebagai hadits-hadits fitan (fitnah-fitnah akhir zaman). 

Alias, tanda-tanda kiamat sudah dekat. Ia dipahami sebagai simbolisasi fitnah jahat. Dajjal dipahami secara metaforis yang menandakan kekuatan jahat atau godaan dan cobaan berat dalam kehidupan manusia.

"Karena itu umumnya ulama hadits memberi judul hadis itu dengan kitabul fitan atau mihan atau sejenisnya," jelasnya.

Menurut dia, sebagian ulama klasik lainnya cenderung memahami secara harfiah tanpa memastikan bahwa ini akan terjadi persis seperti yang digambarkan dalam teksnya. Mereka hanya mensyarah dan menguraikan makna setiap kata saja.

"Maka dari situ bisa kita pahami sikap ekstra hati-hati mereka dalam memahami hadis tersebut," ujar dia.

Ustadz Ubaidi mengatakan, di sini kemudian muncul kaidah memahami hadits yang oleh Yusuf Al Qaradlawi dikategorikan sebagai hadits-hadits tentang hal ghaib.

Memahaminya hanya dengan prinsip keimanan yang ekstra hati-hati saja, tanpa perlu mengait-ngaitkan secara pasti dengan hal-hal yang nyata hari ini. Apalagi madlul makna yang ditunjuk oleh lafaz tersebut belum bisa dipastikan secara empiris. 

"Terutama lagi nama Asbahan dalam sejarahnya juga mengalami banyak perubahan. Di situlah Yusuf Al Qaradlawi menekankan keharusan untuk memastikan hal yang ditunjuk oleh lafaz hadis tersebut sebelum melangkah lebih jauh dalam merespons hal-hal yang berkenaan dengan hadits tersebut," ujar dia. 

Ustadz Ubaidi  mengatakan, adapun ulama hadits kontemporer cenderung mengadopsi pendekatan yang lebih kritis dalam memahami hadits-hadits tentang Dajjal. 

"Setelah memeriksa keabsahan hadits, mereka mempertimbangkan konteks historis dan sosial di mana hadis-hadis tersebut disampaikan oleh Nabi dan oleh para periwayat hadis," kata dia. 

Ustadz Ubaidi mengatakan, ini menuntut penggunaan pendekatan interdisipliner, seperti ilmu pengetahuan sosial. Politik, budaya, geografi, sejarah, dan psikologi, untuk memahami makna dan relevansi hadis-hadis tersebut dalam konteks zaman modern. 

 

Yang penting, kata dia, ulama hadits kontemporer tetap menghormati tradisi ilmiah yang telah ditetapkan oleh para ulama klasik, sambil menyesuaikannya dengan kebutuhan dan pemahaman kontemporer. 

Infografis Alquran Bantah Orang Yahudi akan Jadi Penghuni Surga - (Republika.co.id)

 
Berita Terpopuler