2 Perkara yang Karenanya Boleh Marah Menurut Buya Hamka dan Potret Umat Islam Saat Ini

Buya Hamka mengkritik tajam kondisi umat Islam saat ini

ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas
ilustrasi umat Islam. Buya Hamka mengkritik tajam kondisi umat Islam saat ini
Rep: Hasanul Rizqa Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Mengutip Nurcholis Madjid dalam buku Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka, sosok autodidak tersebut berhasil mengubah citra kumal kiai atau ulama Indonesia menjadi sosok yang patut mendapatkan respek dari lintas kalangan, baik itu Muslim maupun non-Muslim. Buya Hamka memang menyukai cara pikir berkemajuan. Ia enggan membatasi sumber-sumber ilham pengetahuan.

Baca Juga

Baginya, umat Islam tidak boleh tersisih dari kemajuan zaman. Alquran pun telah menegaskan, Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum kecuali bila kaum itu berinisiatif.

Karena itu, ia percaya bahwa agama Islam harus dipelajari dengan sungguh-sungguh sebab itulah bekal utama untuk memajukan diri sendiri dan masyarakat pada umumnya. Buya Hamka menulis dalam Tasawuf Modern/ bahwa seorang Muslim hendaknya memiliki keutamaan-ruhani, yakni terdiri atas empat hal: syaja'ah, 'iffah, hikmah, dan 'adala (adil).

Syaja'ah berkaitan dengan keberanian yang dapat diibaratkan terjadi dalam skala. Titik didihnya bernama tahawwur, yakni nekat. Adapun titik bekunya adalah jubn atau sikap pengecut.

Skala normalnya berada di syaja'ah, yakni berani karena benar, takut karena salah. Kemudian,'iffah yakni kemampuan menjaga kehormatan batin. Ini juga memiliki dua titik ekstrem, yakni bersikap heboh dan masa bodoh. Kemampuan 'iffah dapat dilihat dari bagaimana seseorang mengelola emosinya.

Menurut Buya Hamka, ada dua perkara yang di dalamnya orang Islam boleh marah, yakni ketika mempertahankan kehormatan dan agama. Nama lain untuk itu adalah ghirah lissyaraf atau cemburu menjaga kehormatan. Buya Hamka menulis, Ucapkanlah 'selamat jalan' kepada bangsa yang tidak ada syaraf atau kehormatan dirinya lagi.

Adapun hikmah berarti bijaksana. Di dalam Alquran, Allah SWT menyebutkan sosok Luqman sebagai ahli hikmah. Menurut Buya Hamka, seorang yang bijak dikendalikan oleh akal budinya. Selanjutnya, adil yang merupakan perangai mulia dari akal budi.

Dalam uraiannya, Buya Hamka tidak dengan gamblang mendefinisikan arti 'adala. Namun, ia menyebutkan bahwa adil dalam pergaulan adalah menghindarkan lengah dan lalai. Adil dalam politik adalah menenggelamkan kepentingan diri sendiri ke dalam kepentingan bersama.

Ada banyak jalan menuju Roma. Ada banyak cara membangkitkan kemajuan umat Islam, baik itu melalui politik, pendidikan, maupun bidang-bidang kehidupan lainnya. Seorang Muslim tidak perlu ragu untuk mencapai kemajuan selama tetap berpegang pada ajaran Islam.

Buya Hamka sendiri merupakan tokoh multidimensi. Ia sempat terjun ke ranah politik. Sebagai hasil dari Pemilihan Umum 1955, Buya Hamka yang juga anggota Partai Masyumi kemudian duduk di DPR.

Buya Hamka juga sempat terlibat dalam perumusan dasar negara di Konstituante. Ia menjabat sebagai ketua umum MUI yang pertama pada masa Orde Baru. Namun, jabatan itu pun pada akhirnya dilepaskannya. Sebab, Buya Hamka lebih mengutamakan kepentingan umat Islam. Dia merasa keadilan harus dipentingkan daripada tarik-menarik pada soal kekuasaan.

Masalahnya, sering kali seorang Muslim tidak merasa perlu memiliki keutamaan ruhani. Hidupnya sibuk dengan mengejar kepuasan nafsu belaka yang dipandangnya sebagai satu-satunya sumber kebahagiaan. Menurut Buya Hamka, qana'ah atau bersikap sederhana adalah sumber kebahagiaan umat dahulu.

Ini adalah jalan tengah di antara dua titik ekstrem, yakni malas dan rakus. Keduanya melemahkan hati dan menjauhkan seseorang dari ketenteraman. Buya Hamka menegaskan, Islam membawa pengikutnya untuk mencari kesuksesan dalam hidup, maju tampil ke muka perjuangan.

Agama ini tidak menyukai perbedaan yang menyolok mata antara kaum berpunya dan kaum papa. Di sisi lain, Islam tidak memungkiri adanya keunggulan akal satu orang atau kaum daripada yang lain.

Di sinilah pentingnya peran orang-orang Muslim yang berilmu dan berkuasa. Sebab, ilmu dan kekuasaan adalah alat untuk mewujudkan keadilan. Orang yang berilmu dan berkuasa semestinya memiliki keutamaan ruhani.

Buya Hamka menulis tentang qanaah dalam Tasawuf Modern: Barang siapa yang telah beroleh rezeki dan telah dapat yang akan dimakan sesuap pagi sesuap petang, hendaklah tenangkan hati, jangan merasa ragu dan sepi.

Tuan tidak dilarang mencari penghasilan, tidak disuruh berpangku tangan dan malas lantaran harta telah ada, kerana yang demikian bukan qanaah, yang demikian adalah kemalasan.

Bekerjalah, kerana manusia dikirim ke dunia buat bekerja, tetapi menangkan hati, yakinlah bahawa di dalam pekerjaan itu adalah kalah dan menang. Jadi tuan bekerja bukan lantaran memandang harta yang telah ada belum mencukupi, tetapi bekerja lantaran orang hidup tak boleh menganggur.

Buya Hamka kemudian mengajak pembacanya becermin pada sejarah umat Islam sendiri. Dalam zaman Khulafaur Rasyidin, keadilan sosial dipraktikkan semaksimal mungkin.

Contoh yang terkemuka adalah kepemimpinan Umar ibn Khattab. Kisah sang khalifah yang menemui dan menolong seorang janda yang memasak batu untuk anak-anaknya yang kelaparan menjadi abadi sepanjang masa.

Namun, setelah lewat masa mereka, tampuk kekuasaan ditentukan oleh garis keturunan, bukan lagi dialog atau demokrasi yang berdasarkan pada takwa, khususnya hablumminaallah. Demokrasi yang melupakan hablu minaallah cenderung pada melanggengkan kerusakan. Maka, lanjut Buya Hamka, muncul ketimpangan.

Kaum kaya semakin kaya. Kaum miskin betul-betul miskin sehingga terhadap dirinya sendiri pun tak lagi berdaulat. Rakyat melarat waktu itu hanya diobati dengan fatwa-fatwa atau orasi-orasi penguasa.

 

Orang yang berharta hanya mereka yang dekat lingkaran kekuasaan. Masyarakat Islam yang sudah bobrok itu akhirnya jatuh. Negeri-negeri Islam yang telah lemah jiwanya itu akhirnya dikuasai bangsa Barat yang lebih maju, tulis Buya Hamka.

Masalahnya..

 
Berita Terpopuler