Penyakit Mentalnya tak Bakal Sembuh, Wanita Belanda Pilih Jalani Euthanasia

Bagaimana hukum euthanasia di Indonesia?

Reed Saxon/AP
Suntik mati (ilustrasi). Seorang perempuan asal Belanda memilih untuk menjalani euthanasia karena penyakit mentalnya membuatnya lelah hidup.
Rep: Rahma Sulistya Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang perempuan berusia 28 tahun asal Belanda dijadwalkan untuk disuntik mati bulan depan karena perjuangannya melawan penyakit mental. Psikiater menyatakan kondisi pasiennya yang bernama Zoraya ter Beek itu tidak akan pernah membaik.

Beek tinggal di sebuah rumah bagus di kota kecil Belanda dekat perbatasan Jerman bersama kekasihnya dan dua kucing. Meski sehat secara fisik, ia berencana mengakhiri hidupnya karena depresi, autisme, dan gangguan kepribadian.

Beek pernah berambisi menjadi psikiater, namun dia tidak pernah bisa menyelesaikan sekolah atau memulai karier karena penyakit mentalnya sendiri. Kini, dia mengaku sudah lelah hidup dan ingin mengakhiri hidupnya.

Tato di lengan kiri atasnya menunjukkan pohon kehidupan yang digambar terbalik. "Jika pohon kehidupan melambangkan pertumbuhan dan permulaan baru, maka pohon saya justru sebaliknya," kata Beek kepada The Free Press.

Baca Juga

"Ia kehilangan daun-daunnya, ia sekarat. Dan begitu pohon itu mati, burung itu terbang keluar. Saya tidak melihatnya sebagai jiwa saya yang pergi, tetapi lebih sebagai diri saya sendiri yang terbebas dari kehidupan," kata dia.

Dikutip dari Fox News, Senin (8/4/2024), keputusan Beek diambil setelah psikiaternya memberi tahu bahwa mereka telah mencoba segala hal untuk membantu kesehatan mentalnya. Namun, tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuknya.

"Keadaannya tidak akan pernah menjadi lebih baik," ujar Beek menceritakan ucapan psikiaternya.

Setelah mengumumkan keputusannya, Beek mengatakan, jika keadaannya tidak juga membaik maka dia tidak dapat menjalani hidupnya lagi. Mengenai rencananya, Beek mengatakan, dia akan berbaring di sofa ruang tamu tanpa musik, didampingi sang kekasih.

"Dokter benar-benar membutuhkan waktu. Bukan seperti mereka masuk dengan mudah dan berkata 'tolong berbaring'. Sering kali yang pertama dilakukan adalah meminum secangkir kopi untuk menenangkan saraf dan menciptakan suasana nyaman kemudian dokter akan bertanya apakah saya sudah siap," ujar dia.

"Saya akan mengambil tempat di sofa. Dokter akan sekali lagi bertanya apakah saya yakin, dan dia akan memulai prosedurnya dan mendoakan perjalanan saya menyenangkan. Atau, dalam kasus saya, tidur siang yang nyenyak karena saya benci jika orang mengatakan 'Perjalanan aman'. Aku bukannya mau pergi berjalan-jalan," kata dia.

Selanjutnya, dokter akan memberikan obat penenang dan kemudian obat untuk menghentikan jantung Beek. Setelah kematiannya, komite peninjau euthanasia akan mengevaluasi kematian Beek untuk memastikan dokter mengikuti kriteria prosedur yang sesuai, dan pemerintah Belanda akan menyatakan bahwa hidupnya telah diakhiri secara sah.

Tidak ada pemakaman yang akan diadakan setelah kematian Beek. Dia akan dikremasi dan pacarnya akan menebarkan abunya di area hutan yang mereka pilih bersama.

"Saya tidak ingin membebani pasangan saya dengan harus menjaga makam tetap rapi. Kami belum memilih guci, tapi itu akan menjadi rumah baruku!" ujar Beek.

Beek mengakui bahwa dia agak takut mati karena dia tidak yakin dengan apa yang terjadi setelah kematian. "Saya sedikit takut mati, karena ini adalah hal yang tidak diketahui. Kita tidak benar-benar tahu apa yang akan terjadi selanjutnya atau memang tidak ada apa-apa? Itu bagian yang menakutkan," ungkap Beek.
 
Pada 2001, Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalkan euthanasia. Kini, setidaknya delapan negara telah melegalkannya. Bunuh diri dengan bantuan juga legal di 10 negara bagian AS dan Washington DC, serta enam negara bagian Australia.
 
Profesor etika kesehatan di Protestant Theological University, Theo Boerin, bertugas di dewan peninjau euthanasia di Belanda dari 2005 hingga 2014. Selama masa itu, ia mengatakan kepada The Free Press bahwa ia mengamati euthanasia di Belanda berevolusi dari kematian sebagai upaya terakhir hingga kematian menjadi pilihan utama.

Kontroversi euthanasia ...

Di berbagai belahan dunia, euthanasia tetap menjadi prosedur kontroversial meski terkait dengan hak seseorang untuk menentukan nasibnya sendiri. Dikutip dari jurnal Hukum Kesehatan Indonesia, euthanasia dilakukan ketika pasien atau keluarganya sudah sampai pada klimaks penderitaan yang tak tertahankan lagi.

Menurut hukum di Indonesia, euthanasia merupakan perbuatan melanggar hukum dan dapat diancam dengan pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 344 KUHP menyatakan, "Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan dengan
sungguh-sungguh dihukum penjara selama lamanya dua belas tahun".

Euthanasia aktif, yakni tindakan langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan kematian, paling tidak disetujui oleh kalangan masyarakat karena dianggap sebagai bentuk pembunuhan dan bersifat amoral. Soalnya, dalam hal ini, dokter memperpendek umur dan
mempercepat kematian pasien dengan tindakan medisnya.

Sementara itu, menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 7,  seorang dokter dituntut untuk senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi makhluk insani. Pasal itu mengamanatkan agar dokter maupun ahli medis tidak boleh melakukan tindakan euthanasia dengan alasan apapun karena tugas utama dokter adalah untuk menyelamatkan jiwa manusia dan bukan untuk mengakhirinya.

 

 
Berita Terpopuler