Ayat Alquran dan Hadits Nabi SAW Ini Ungkap Bagaimana Seharusnya Utang Piutang

Islam mengatur urusan utang piutang antarsesama

republika
Utang (ilustrasi). Islam mengatur urusan utang piutang antarsesama
Rep: Rahmat Fajar Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Urusan utang piutang antarindividu terkadang berujung rumit. Ada beragam faktor di antaranya orang yang meminjam tidak menepati janji jatuh tempo pelunasan. Selain itu, ada pula pengembalian utang melebihi dari utang pokoknya.

Baca Juga

Rasulullah SAW memberikan tuntunan terkait urusan utang piutang, khususnya mereka yang berutang. Sebagaimana yang disampaikan oleh ahli hadits, As-Samarqandi dalam bukunya 200 Motivasi Nabi & Kisah Inspiratif Pembangun Jiwa. Ia mengutip sebuah hadits tentang anjuran membayar utang.

عَنْ أَبِي رَافِعٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَسْلَفَ مِنْ رَجُلٍ بَكْرًا فَأَتَتْهُ إِبِلٌ مِنْ إِبِلِ الصَّدَقَةِ 

Abu Rafi', budak Rasulullah SAW mengatakan bahwa Rasulullah pernah meminjam unta muda. Suatu hari Rasulullah mendapatkan unta sedekah. Abu Rafi' berkata, "Beliau kemudian menyuruhku membayar unta muda kepada orang itu. Kukatakan kepada beliau, 'Tidak ada unta muda, yang ada unta dewasa'. Rasulullah bersabda, 'Berikanlah kepadanya, sesungguhnya manusia dalam ." (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Malik).

Alquran Surat al-Baqarah ayat 282 juga menyinggung tentang utang-piutang yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ وَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِالْعَدْلِۖ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ اَنْ يَّكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّٰهُ فَلْيَكْتُبْۚ وَلْيُمْلِلِ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللّٰهَ رَبَّهٗ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْـًٔاۗ فَاِنْ كَانَ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيْهًا اَوْ ضَعِيْفًا اَوْ لَا يَسْتَطِيْعُ اَنْ يُّمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهٗ بِالْعَدْلِۗ وَاسْتَشْهِدُوْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِّجَالِكُمْۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُوْنَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَّامْرَاَتٰنِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَۤاءِ اَنْ تَضِلَّ اِحْدٰىهُمَا فَتُذَكِّرَ اِحْدٰىهُمَا الْاُخْرٰىۗ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَۤاءُ اِذَا مَا دُعُوْا ۗ وَلَا تَسْـَٔمُوْٓا اَنْ تَكْتُبُوْهُ صَغِيْرًا اَوْ كَبِيْرًا اِلٰٓى اَجَلِهٖۗ ذٰلِكُمْ اَقْسَطُ عِنْدَ اللّٰهِ وَاَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَاَدْنٰىٓ اَلَّا تَرْتَابُوْٓا اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيْرُوْنَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَلَّا تَكْتُبُوْهَاۗ وَاَشْهِدُوْٓا اِذَا تَبَايَعْتُمْ ۖ وَلَا يُضَاۤرَّ كَاتِبٌ وَّلَا شَهِيْدٌ ەۗ وَاِنْ تَفْعَلُوْا فَاِنَّهٗ فُسُوْقٌۢ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُ ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya. Hendaklah seorang pencatat di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah pencatat menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajar-kan kepadanya. Hendaklah dia mencatat(-nya) dan orang yang berutang itu mendiktekan(-nya). Hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia menguranginya sedikit pun. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya, lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Mintalah kesaksian dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada) sehingga jika salah seorang (saksi perempuan) lupa, yang lain mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Janganlah kamu bosan mencatatnya sampai batas waktunya, baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu pada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perniagaan tunai yang kamu jalankan di antara kamu. Maka, tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak mencatatnya. Ambillah saksi apabila kamu berjual beli dan janganlah pencatat mempersulit (atau dipersulit), begitu juga saksi. Jika kamu melakukan (yang demikian), sesungguhnya hal itu suatu kefasikan padamu. Bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."

As-Samarqandi juga menjelaskan tentang utang-piutang seorang Muslim. Malik berkata, "Seseorang datang kepada Abdullah bin Umar dan berkata, 'Wahai Abu Abdurrahman, aku meminjamkan sesuatu, dan kusyaratkan (pengembaliannya) lebih baik dari yang kupinjamkan.' Abdullah berkata, 'Itu riba.' Ia berkata, 'Lantas, apa perintahmu kepadaku, wahai Abu Abdurrahman?' Abdullah berkata, 'Pinjaman itu ada tiga macam: pinjaman yang engkau maksudkan untuk mengharapkan keridaan Allah, pinjaman yang engkau maksudkan untuk mendapatkan pujian dari orang lain, dan pinjaman yang engkau maksudkan untuk mendapatkan yang baik dari yang buruk, itu riba.'

Ia berkata, 'Lantas, apa perintahmu kepadaku?' Ia berkata lagi, 'Apa, wahai Abdurrahman?' Ia menjawab, 'Jika ia memberimu seperti yang engkau pinjamkan kepadanya, engkau telah menerima (hakmu). Jika dia memberimu di bawah yang engkau pinjamkan, engkau diganjar pahala. Dan, jika dia memberimu yang lebih baik dari yang engkau pinjamkan, berarti kamu telah memberinya kesempatan kepadanya untuk berbuat baik. Ucapkanlah terimakasih, dia akan berterimakasih kepadamu. Dan, engkau akan mendapatkan pahala yang dinanti-nantikan."

Infografis Hukum Menagih Utang dengan Sebar Aib - (Republika.co.id)

 

 

 
Berita Terpopuler