KPK Sidik Kasus LPEI, Kejagung tak Berwenang Usut Perkara yang Dilaporkan Sri Mulyani?

KPK umumkan penyidikan sehari setelah Sri Mulyani laporkan kasus LPEI ke Jaksa Agung.

istimewa/doc humas
Jaksa Agung ST Burhanuddin bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani, menggelar jumpa pers usai melakukan pertemuan. Dalam pertemuan dibahas dugaan korupsi//fraud dalam pemberian fasilitas kredit Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
Rep: Bambang Noroyono, Rahayu Subekti Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada Selasa (20/3/2024) mengumumkan pihaknya telah menaikkan penyidikan dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Padahal, kasus ini sebelumnya dilaporkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kepada Jaksa Agung ST Burhanuddin.

Baca Juga

"Pada tanggal 19 Maret 2024 ini KPK meningkatkan proses penyelidikan dari dugaan penyimpangan atau dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas kredit dari LPEI ini menjadi berstatus penyidikan," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa.

Terkait kasus serupa yang dilaporkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kepada Jaksa Agung ST Burhanuddin pada Senin (18/3/2024), Ghufron menjelaskan bahwa KPK sudah menangani kasus tersebut sejak 10 Mei 2023. Ghufron juga mengatakan untuk kasus ini pihak KPK mengambil kebijakan yang berbeda dari biasanya. Selama ini KPK mengumumkan penyidikan dan menyampaikan telah melakukan penetapan tersangka.

"Sekali lagi ini semua adalah kebijakan internal KPK, namun dalam perkara ini kami memutuskan untuk kemudian merilis dan mengumumkan status penyidikan perkara ini pada hari ini, sebelum kemudian kami menetapkan tersangkanya," ujarnya.

Selain itu, Ghufron juga membahas soal Pasal 50 Undang-Undang KPK bahwa kepolisian maupun kejaksaan tidak lagi berwenang untuk menangani suatu perkara korupsi apabila perkara itu sudah dilakukan penyidikan lebih dulu oleh KPK.

"Dalam hal KPK sudah melakukan penyidikan, kepolisian dan kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan," ujar Ghufron.

Namun ketika penyidikan suatu perkara korupsi sudah didahului oleh kepolisian dan kejaksaan, maka kedua penegak hukum itu wajib memberitahukan KPK paling lambat 14 hari setelah dimulainya penyidikan. KPK juga menyampaikan pihaknya telah mempelajari tiga korporasi dalam perkara dugaan korupsi tersebut.

Pernyataan Ghufron itu berbeda dengan Kejaksaan Agung yang menyampaikan ada empat korporasi yang terindikasi fraud di kasus LPEI. Ghufron juga menyebut total indikasi kerugian keuangan negara pada kasus LPEI yang ditangani pihaknya yakni mencapai Rp 3,45 triliun.

"Yang sudah terhitung dalam tiga korporasi sebesar Rp 3,45 triliun," ujarnya.

Serba Serbi Pinjaman Online - (Tim Infografis)

 

Pada Senin lalu, Kejagung menerima laporan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terkait dugaan korupsi di LPEI. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan adanya dugaan penyimpangan senilai Rp 2,5 triliun dalam pemberian fasilitas kredit pembiayaan ekspor yang diberikan LPEI kepada empat perusahaan ekspor. Jaksa Agung ST Burhanuddin menegaskan, akan melanjutkan pelaporan tersebut ke level penindakan hukum.

Sri menerangkan, temuan dugaan korupsi di LPEI kali ini, merupakan bagian dari kerja sama tim terpadu antara Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal Kemenkeu, dan tim internal di LPEI. Tim terpadu tersebut, kata Sri upaya Kemenkeu untuk melakukan bersih-bersih di Kemenkeu.

“Dari hasil pemeriksaan tim terpadu tersebut, terutama terhadap kredit bermasalah yang terindikasi adanya fraud, yaitu dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh debitur,” kata Sri saat konfrensi pers di Kejakgung, Jakarta, Senin (18/3/2024).

“Dan khusus hari ini, kami menyampaikan, empat debitur yang terindikasi fraud dengan outstanding pinjaman (Rp) 2,5 triliun,” kata Sri melanjutkan.

In Picture: Sri Mulyani Laporkan Dugaan Korupsi LPEI Senilai Rp 2,5 Triliun ke Kejagung

 

 

Jaksa Agung Burhanuddin mengatakan, laporan Sri Mulyani kali ini, merupakan tahap pertama dari usaha penegakan hukum atas potensi kerugian negara yang terjadi di LPEI. “Ini baru tahap pertama. Karena nanti akan ada tahap keduanya,” kata Burhanuddin dalam konfrensi pers yang sama.

Pada pelaporan tahap pertama ini, kata Burhanuddin empat debitur yang terindikasi melakukan penyimpangan atas pembiayaan ekspor dari LPEI diantaranya adalah PT RII senilai Rp 1,8 triliun, PT SMR senilai Rp 216 miliar, PT SRI sebesar Rp 144 miliar, dan PT PRS sekitar Rp 305 miliar.

“Jumlah keseluruhannya sebesar (Rp) 2,505 triliun. Ini yang (pelaporan) tahap pertama,” ujar Burhanuddin.

Selain empat debitur tersebut, kata Burhanuddin, saat ini tim terpadu juga masih melakukan tahap pengkajian terhadap enam debitur lainnya yang nilai dugaan penyimpangannya mencapai Rp 3 triliun. “Saya mengimbau kepada beberapa perusahaan, ada enam perusahaan lagi, yang tolong segera ditindaklanjuti apa yang sudah disepakati. Dari pada perusahaan-perusahaan ini nanti kami tindaklanjuti secara pidana,” ujar Burhanuddin.

Laporan terkait korupsi di LPEI ini bukan kali pertama. Pada 2021-2022 penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) juga pernah melakukan pengusutan korupsi yang terjadi di LPEI yang terbukti merugikan keuangan negara sekitar Rp 2,6 triliun.

Kasus tersebut terkait dengan korupsi dalam pemberian fasilitas kredit ekspor nasional sebesar Rp 4,6 triliun kepada 11 perusahaan ekspor. Dalam pengusutan kasus tersebut Jampidsus memidanakan delapan orang terdakwa dari pihak swasta, maupun para penyelenggara di LPEI.

 

LPEI menyatakan menghormati proses hukum yang berjalan terkait dengan dugaan fraud empat debiturnya. LPEI sepenuhnya mendukung langkah Menteri Keuangan dan Jaksa Agung untuk melakukan pemeriksaan dan tindakan hukum yang diperlukan terhadap debitur LPEI yang bermasalah secara hukum.

“LPEI menghormati proses hukum yang berjalan, mematuhi peraturan perundangan yang berlaku, dan siap untuk bekerja sama dengan Kejaksaan Agung, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan aparat penegak hukum lainnya dalam penyelesaian kasus debitur bermasalah,” kata Direktur Eksekutif LPEI Riyani Tirtoso di Jakarta, Senin.

 

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun menyatakan mendukung upaya Kemenkeu dalam menyelesaikan persoalan pembiayaan bermasalah di LPEI. Penyelesaian tersebut melalui jalur hukum dengan Kejaksaan Agung.

"Upaya Kemenkeu tersebut merupakan suatu langkah yang strategis untuk menyelesaikan pembiayaan bermasalah dari debitur-debitur yang tidak kooperatif dalam memenuhi kewajibannya terhadap LPEI," kata Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK Agusman dalam pernyataan tertulisnya, Selasa (19/3/2024).

Agusman menjelaskan, OJK sesuai amanat Undang-undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) akan terus  melanjutkan pengawasan secara off-site maupun pemeriksaan langsung atau on-site terhadap LPEI. Agusman menuturkan, OJK juga berkoordinasi dengan Kemenkeu mengenai pengawasan LPEI.

LPEI sebagai Lembaga Keuangan di bawah pembinaan dan pengawasan Kemenkeu adalah sebuah lembaga yang didirikan pemerintah melalui Undang-undang Nomor 2 Tahun 2009. LPEI adalah lembaga keuangan sui generis berstatus badan hukum yang seluruh modalnya dimiliki Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai lembaga keuangan sui generis, LPEI juga diawasi OJK sesuai POJK No.9/POJK.05/2022 tentang Pengawasan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. 

 

 

 
Berita Terpopuler