'Putusan DKPP tak Pengaruhi Gibran, Tapi Bisa Jadi Alat Bukti Gugatan Dugaan Kecurangan'

Menurut ahli tata negara, Ketua KPU Hasyim Asyari semestinya dipecat dari jabatannya.

Republika/Prayogi
Ketua KPU Hasyim Asyari.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro, Rizky Suryarandika, Antara

Baca Juga

Ahli hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan, putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terkait penerimaan pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden hanya berdampak pada penyelenggara pemilu. Jika memang hendak membuat berdampak pada pencalonan, maka harus ada upaya hukum lain yang dilakukan.  

“Putusan DKPP tentu untuk penyelenggara pemilu. Kalau memang hendak membuat berdampak pada pencalonanan maka harus diajukan gugatan kepada Bawaslu dan PTUN,” ucap Feri kepada Republika, Senin (5/2/2024).

Putusan DKPP ini diucapkan hanya sembilan hari menjelang hari pemungutan suara pada 14 Februari 2024. Feri menilai, kedaan tersebut memang sulit untuk memungkinkan mengganti Gibran dari posisinya sebagai cawapres Prabowo Subianto. Tapi, bukan tidak mungkin putusan DKPP ini dapat menjadi alat bukti dalam membantu membuktikan telah terjadinya kecurangan pemilu. 

“Terutama dalam proses pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden. Jadi perkara ini bisa menjadi alat bukti yang kemudian mempertegas memang telah terjadi upaya kecurangan,” kata dia.

Dia mengatakan, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asyari semestinya dipecat dari jabatannya setelah diberikan sanksi peringatan keras terakhir oleh DKPP lewat putusan itu. Hasyim dan enam komisioner KPU lain dinyatakan melanggar etik terkait penerimaan pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon wakil presiden.  

“Harusnya dipecat jadi anggota KPU atau setidaknya dipecat jadi ketua KPU karena telah berkali-kali diberi sanksi keras dengan peringatan terakhir,” kata Feri. 

Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta pun memprotes putusan DKPP yakni, sanksi peringatan keras terakhir kepada Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari. Kaka mengingatkan, pelanggaran etik bukan pertama kali dilakukan oleh ketua KPU RI.

"Ini putusan dagelan karena sanksi terhadap Ketua dan anggota KPU bukan baru, ini (putusan DKPP) bukan sesuatu yang serius," kata Kaka kepada Republika, Senin (5/1/2024). 

Kaka menilai, DKPP mestinya mempertimbangkan sanksi lebih keras kepada Ketua KPU RI dkk. Hal ini menurut Kaka berkaitan dengan kepastian penyelenggaraan Pemilu 2024 tak melanggar kode etik. 

"Kalau memang terbukti, harusnya tidak peringatan keras, harus ada sanksi tegas untuk efek jera dan memastikan kepastian hukum pemilu dan etika penyelenggara pemilu," ujar Kaka. 

Dalam Pasal 22 Peraturan DKPP Nomor 2 tahun 2017, DKPP berwenang menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara atau pemberhentian tetap terhadap Penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Oleh karena itu, Kaka menganggap putusan DKPP ini seperti macan kertas alias tidak ada ketegasan. 

"Artinya, kalau dibutuhkan (sanksi) pemberhentian maka harus ada dalam diktum putusannya pemberhentian, ini hanya peringatan keras saja. Jadi dianggap tidak beri solusi pada problem yang ada," ujar Kaka. 

 

 

Sebelumnya, Ketua DKPP Heddy Lugito mengatakan pelanggaran kode etik Ketua KPU Hasyim Asyari beserta komisioner lainnya tidak memengaruhi status Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden Pilpres 2024. Menurut dia, vonis yang telah diputuskannya tersebut murni soal kode etik. Sehingga, hal tersebut tidak ada kaitannya dengan pencalonan Gibran yang kini menjadi peserta pemilu.

"Nggak ada kaitannya dengan pencalonan juga, ini murni soal etik, murni soal etik penyelenggara pemilu," kata Heddy saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Senin (5/2/2024).

Dia mengatakan, keputusan atau vonis dari DKPP itu tidak bersifat akumulatif. Sehingga, perkara pengaduan Ketua KPU itu berbeda dengan perkara pengaduan yang lainnya. Menurut Heddy, putusan itu pun tidak membatalkan pencalonan Gibran sebagai calon wakil presiden.

Diketahui, DKPP memvonis Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari dan enam anggota lainnya melanggar kode etik dalam menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden Pemilu 2024. Hasyim Asy'ari dijatuhi sanksi berupa peringatan keras terakhir. Selain Hasyim, anggota KPU RI lainnya, yakni Yulianto Sudrajat, August Mellaz, Betty Epsilon Idroos, Parsadaan Harahap, Idham Holik, dan M Afifuddin, juga dijatuhi sanksi peringatan.

Hasyim bersama enam anggota lain KPU RI diadukan oleh Demas Brian Wicaksono dengan perkara Nomor 135-PKE-DKPP/XII/2023, Iman Munandar B. (Nomor 136-PKE-DKPP/XII/2023), P.H. Hariyanto (Nomor 137-PKE-DKPP/XII/2023), dan Rumondang Damanik (Nomor 141-PKE-DKPP/XII/2023).

Komik Si Calus : Dinasti - (Daan Yahya/Republika)

 

Ketua KPU Hasyim Asy'ari mengatakan dirinya tidak ingin mengomentari putusan DKPP yang memvonis dirinya dan dan enam anggota lainnya melanggar kode etik karena menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden Pemilu 2024. Dia mengatakan, selama persidangan pihaknya telah diberikan kesempatan untuk memberikan jawaban, keterangan, alat bukti, hingga argumentasi, terkait pengaduan tersebut. 

"Saya tidak akan mengomentari putusan DKPP, ketika dipanggil sidang kita sudah hadir memberikan jawaban, memberikan keterangan," kata Hasyim kepada wartawan usai menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin. 

Dia menjelaskan, konstruksi Undang-undang Pemilu itu selalu menempatkan KPU dengan posisi "ter", yakni terlapor, termohon, tergugat, dan teradu. Dengan ada pengaduan soal pendaftaran Gibran ke DKPP, menurutnya pihaknya selalu mengikuti proses persidangan di DKPP.

Sehingga, apa pun putusannya dari DKPP, dia menegaskan tidak akan mengomentari putusan tersebut karena seluruh keterangan dan catatan dari pihaknya sudah disampaikan saat persidangan.

"Setelah itu kewenangan penuh dari majelis DKPP untuk memutuskan," ujarnya.

Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran menegaskan putusan KPP terhadap Ketua KPU Hasyim Asy'ari tidak terkait dengan kedudukan hukum (legal standing) pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden di Pemilu 2024. Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran Habiburokhman menjelaskan putusan itu hanya menyasar pada dugaan pelanggaran etik dari Ketua KPU, bukan Gibran Rakabuming Raka, yang saat ini terdaftar sebagai calon wakil presiden nomor urut 02 mendampingi Prabowo Subianto.

“Pasangan calon Prabowo-Gibran bukanlah terlapor, bukan juga turut terlapor dalam perkara (etik) ini, dan keputusan DKPP ini tidak menyebut pendaftaran Prabowo-Gibran menjadi tidak sah,” kata Habiburokhman saat jumpa pers di Media Center TKN Prabowo-Gibran, Jakarta, Senin.

Dia kemudian membacakan bagian dalam putusan DKPP yang menyebut KPU telah menjalankan tugasnya sesuai perintah konstitusi dengan menerima pencalonan Gibran sebagai peserta Pemilu 2024.

“Intinya berdasarkan konstitusi pasangan Prabowo-Gibran tetap terdaftar. Justru kalau tidak diberikan kesempatan Prabowo-Gibran mendaftar, maka bisa saja melanggar hak konstitusi dan bisa saja terkena hukuman yang lebih berat kalau menolak pendaftaran pasangan Prabowo-Gibran,” kata Habiburokhman.

Wakil Ketua TKN itu menilai putusan DKPP menyasar hanya persoalan teknis pendaftaran. “Komisioner KPU diberikan sanksi karena dianggap melakukan kesalahan teknis, bukan pelanggaran yang substantif,” kata dia.

Menurut Habiburokhman, persoalan yang substantif ada di atas urusan formil yang di antaranya menyangkut teknis-teknis pendaftaran. “Ada yang namanya substansi itu di atas formalitas. Substansinya secara konstitusi mas Gibran sudah memenuhi syarat sehingga itu yang jadi pedoman KPU untuk menerima pendaftaran saat itu,” kata Habiburokhman.

Dia menjelaskan situasinya saat Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi nomor 90/PUU-XXI/202 tentang syarat batas usia calon presiden dan calon wakil presiden, KPU tak dapat langsung berkoordinasi dengan DPR RI untuk berkonsultasi mengenai revisi aturan teknis KPU (PKPU) terkait persyaratan capres-cawapres. Putusan MK itu yang kemudian menjadi dasar Gibran dapat mendaftar sebagai cawapres, meskipun usianya saat itu belum 40 tahun.

“Bisa dipahami pada saat itu KPU tidak bisa berkoordinasi dengan DPR. Orang DPR enggak ada, sedang ada di dapil (daerah pemilihan) masing-masing. PKPU terkait syarat pendaftaran pada akhirnya diubah dan memang sudah disepakati oleh komisi ll DPR,” kata Habiburokhman.

Dua Periode Survei Indikator Politik Indonesia - (Infografis Republika)

 
Berita Terpopuler