Sejarah Carok, Legenda Sakera, dan Dimensi Pidana Berbalut Hukum Adat

Sejarah carok di Madura terkait dengan legenda Sakera pada zaman penjajahan Belanda.

Republika/Putra M. Akbar
Senjata tajam untuk carok. (ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono

Baca Juga

Carok sulit dikenal sebagai adat istiadat, atau kebiasaan dalam penyelesaian permasalahan maupun konflik bagi orang-orang Madura. Doktor Hukum Mahrus Ali dalam jurnal hukum ‘Akomodasi Nilai-nilai Budaya Masyarakat Madura Mengenai Penyelesaian Carok dalam Hukum Pidana’ mengatakan, orang-orang Madura, seperti masyarakat pada umumnya, sudah sejak lama terbiasa menjadikan musyawarah sebagai koridor utama dalam penyelesaikan konflik individu, ataupun permasalahan yang sifatnya komunal.

“Di dalam penyelesaian konflik, selalu diutamakan musyawarah, perdamaian, dan saling memaafkan, serta tidak tergesa-gesa menyerahkan persoalan ke peradilan negara,” demikian dikutip dari jurnal tersebut, Rabu (17/1/2024).

Pengutamaan jalur musyawarah tersebut, kata Mahrus Ali, diyakini karena masyarakat Madura akrab dengan ke-Islaman sejak lama. Ajaran Islam punya kontribusi signifikan membentuk kultur budaya orang-orang Madura. Sampai memunculkan defenisi Madura sudah pasti Islam.

“Sebuah gambaran yang menunjukkan bahwa orang Madura berjiwa agama Islam terdapat (dalam) ungkapan ‘abanthal syahadat, asapo iman, apayung Allah’,” kata Mahrus.

Ungkapan tersebut, bermakna dalam kehidupan orang Madura, menjadikan syahadat sebagai alas kepala, iman sebagai selimut, dan Allah SWT sebagai pelindung. Dalam kultur nonkeagamaan asli orang-orang Madura pun mirip dengan ke-takzim-an pemeluk Islam terhadap figur-figur tertentu. 

Orang Madura, dalam ‘Madura yang Patuh?; Kajian Antropologi Mengenai Budaya Madura’ karangan Doktor A Latief Wiyata mengatakan, empat figur utama dalam strata penghormatan orang-orang Madura, adalah ayah, ibu, guru, dan pemimpin.

“Keempat figur itu, adalah Buppa, Babbu, Guru, ban Rato,” kata Latief Wiyata.

Dia mengatakan, empat figur utama tersebut punya tempat penting dalam penghormatan, ketaatan, ketundukan, dan kepasrahan orang-orang Madura dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Penghormatan terhadap figur-figur tersebut membuat orang Madura menjadikan kesopanan sebagai sifat yang wajib ada.

Kesopanan itu pun bertali dengan pengajaran-pengajaran yang dekat dengan ke-Islaman. Sampai memunculkan ungkapan khas, ‘ta’tao batona langgar’. Istilah tersebut sebutan terhadap orang-orang yang tak pernah diajari, atau tak pernah mengaji, atau tak pernah belajar agama di masjid-masjid ataupun di pondok-pondok pesantren.

Begitu pentingnya nilai-nilai kesopanan dan agama bagi orang Madura, menjadikan hal tersebut sebagai bagian dari harga diri seseorang yang mutlak. Menurut Latief Wiyata, bagi orang Madura, harga diri adalah ukuran eksistensi pribadi. Orang-orang yang tak memiliki kesopanan adalah orang-orang yang tak belajar agama. Sehingga tak punya, dan tak mengakui harga diri orang lain. 

Orang-orang yang diperlakukan dengan tidak sopan oleh orang lain, bagi Madura, sama saja tak dihargai. Bahkan disebut seperti orang yang tak beragama. Orang-orang yang tak dihargai adalah bentuk perendahan. Bahkan disebut sebagai penafikan atas nilai-nilai agama terhadap seseorang.

“Oleh karenanya (bagi orang Madura), harga diri merupakan hal penting yang harus dipertahankan, agar tidak direndahkan,” kata Bambang Sambu Badriyanto dalam ‘Karakteristik Etnik dan Hubungan Antar Etnik’.

“Menghina agama (tidak sopan), sama halnya menyinggung harga diri, (apote tolang). Hukumannya adalah mati,” kata Bambang. Dia melanjutkan, orang Madura yang terusik harga dirinya, akan merasakan malo atau malu.

“Kemudian melakukan carok terhadap orang yang melecehkan itu,” begitu kata Bambang.

Itu sebabnya, istilah carok, sebetulnya mengacu pada ekspresi pemulihan harga diri atas prilaku yang tak sopan dari orang lain. Bentuknya, adalah pertarungan sampai mati. Umumnya menggunakan senjata parang, pedang, ataupun keris. Namun dalam perkembangannya, kegiatan carok atas dasar harga ini pun mengalami perluasan makna. Termasuk perluasan penggunaan senjata celurit yang menjadi identitas orang-orang Madura sampai saat ini.

 

 

Carok dan Sakera

M Wasli dalam ‘Tradisi Nyikep (Membawa Sajam) Clurit Masyarakat Desa Larangan Perreng Madura’, mengatakan perluasan makna carok tersebut dapat dilacak setidaknya dari era penjajahan VOC Belanda, abad ke-18, ke-19. Dikatakan carok pada era tersebut lebih pada bentuk perlawanan atas penindasan dari orang-orang asing.

Dan penentangan fisik atas kesemena-menaan para tuan-tuan tanah. Yang menurut orang Madura, penindasan adalah bentuk paksa, perendahan harga diri seseorang. Bagi orang Madura, perendahan harga diri tersebut, tak bisa ditawar-tawar. Karena bakal menanggung malo. 

Lebbi begus pote tollang e tembeng pote matah,” begitu pepatah Madura. Yang artinya, lebih baik mati berkalang tanah ketimbang menanggung malu.

Carok sebagai perlawanan atas penindasan itu terekam dalam cerita rakyat tentang sang legenda Sakera. Diceritakan Sakera, adalah nama lain dari Sagiman, atau Sadiman. Banyak yang percaya, nama itu adalah seorang pendekar asli Pasuruan, asal Pulau Madura yang hidup pada saat kolonialisme Belanda bercokol di Nusantara. 

Sagiman, atau Sadiman, disebut mudanya adalah seorang santri, dan menjalani kesehariannya dengan nilai-nilai Islam. Namanya bergeser menjadi Sakerah, karena Sagiman, atau Sadiman lihai ber-kerah, atau bertarung. Itu sebabnya, Sakera, punya makna lain Sang Kerah, atau Sang Petarung.

Sakera diceritakan adalah mandor perkebunan tebu dan pabrik gula Kancil Mas di Bangil. Sakera dalam kesehariannya menenteng senjata parang melengkung seperti sabit yang disebut monteng. Senjata tersebut, menjadi satu dari lima jenis senjata yang kini disebut sebaga celurit. 

Pada era tersebut VOC mengandalkan cultuurstelsel atau tanam paksa sebagai peningkatan tanaman bahan baku gula itu. Hal tersebut pun membuat VOC menggandeng tuan-tuan tanah lokal dalam menguasai lahan-lahan milik warga untuk ditanami tebu secara masif.

Namun begitu, dalam mendapatkan lahan-lahan tebu tersebut, VOC bersama-sama tuan-tuan tanah mengandalkan para jagoan lokal, atau blater sebagai serdadu bayaran. Para blater adalah preman-preman yang memaksa warga memberikan lahan-lahan agar ditanami tebu. Para blater Belanda itu dibekali senjata yang serupa seperti yang digunakan Sakera sehari-hari. Yakni celurit monteng.

Di Kancil Mas Bangil tempat Sakera menjadi mandor, didominasi pekerja-pekerja asal Madura. Para pekerja itu sering mengeluhkan nasibnya kepada Sakera. Dan Sakera sering juga membela, dan melindungi para pekerja paksa itu dari kebengisan tuan-tuan tanah, dan para blater-nya itu.

Tuan tanah tak punya nyali berhadap-hadapan dengan Sakera. Tetapi para blater, sama-sama jagoan seperti Sakera. Tenar sebagai pembela para pekerja paksa itu, Sakera juga menjadi tempat para pemilik-pemilik lahan yang dirampas perkebunannya. Situasi tersebut, membuat Sakera sering berhadap-hadapan dengan para blater dalam duel maut, maupun pertarungan fisik untuk membela orang-orang Madura yang ditindas.

Diceritakan, sepak terjang Sakera itu sampai ke Polisi Belanda. Lalu kompeni mengutus seorang bernama Markus dan Carik Rembang untuk menyudahi aksi-aksi Sakera dalam melindungi pekerja-pekerja Madura.

Markus diceritakan sering melakukan penyiksaan terhadap orang-orang Madura yang kerja paksa di perkebunan dan pabrik gula Kancil Mas Bangil. Lalu Sakera, pun diceritakan membunuh Markus di ladang tebu. Karena yang dibunuhnya adalah polisi kompeni, Sakera, pun menjadi incaran serdadu Belanda.

Situasi tersebut membuat Sakera menjadi buron pemerintah Hindia Belanda.  Carik Rembang diceritakan berhasil menangkap Sakera setelah mengancam akan membunuh ibunya. 

Sakera lalu diseret ke penjara di Bangil. Ragam cerita rakyat menyebutkan Sakera selama di penjara, mendapatkan banyak penyiksaan. Tetapi sepak terjang Sakera di luar penjara, membuat sebagian masyarakat para korban penindasan kerja paksa, mengambil jalur serupa untuk melawan dengan senjata monteng celurit.

Perlawanan dengan senjata tajam tradisional tersebut, mulai dikenal sebagai carok. Carok dilakukan antara satu lawan satu, atau satu lawan dua, atau satu lawan tiga. Carik Rembang, pun dikabarkan tewas dalam carok. 

Di dalam penjara, Sakera mendapatkan kabar jika istrinya, Marlina diperlakukan tak senonoh. Bahkan dikawin paksa oleh Brodin seorang jagoan piaraan kompeni. Mendengar kabar tersebut Sakera diceritakan melarikan diri dari penjara.

Sakera mencari Brodin. Setelah bertemu, Sakera dikabarkan menghadapi Brodin dengan cara carok, duel satu lawan satu menggunakan celurit. Brodin, disebut dalam banyak riwayat tewas. Dan Sakera kembali ditangkap oleh Polisi Belanda.

Setelah penangkapan kedua itu, Sakera dihukum mati dengan cara digantung di dalam penjara. Lalu mayatnya dikubur di Bekacak, desa di bagian selatan di Kota Bangil. 

Dari cerita-cerita rakyat tersebut, carok yang dilakukan Sakera menjadi jalan bagi orang-orang Madura, untuk mempertahankan harga diri dari penindasan dan kesemena-menaan. Dan carok, cara untuk melindungi diri dari rasa malu yang tak terima atas perlakuan tak sopan orang lain terhadap isteri, maupun keluarganya.

Pemaknaan carok semakin luas sesuai dengan tafsir sosial masyarakat sampai kini. Namun dalam hukum positif di Indonesia, carok adalah kegiatan yang menghilangkan nyawa orang lain, atau pembunuhan, yang tetap dengan konsekuensi pemidanaan.

 

Carok dalam Hukum Pidana 

Doktor Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Muzakir mengatakan, carok dalam pidana, padanannya adalah pembunuhan, atau menghilangkan nyawa orang lain. “Istilah carok itu adalah hukum masyarakat (adat) bagi orang Madura. Itu sama seperti siri bagi masyarakat di Sulawesi, atau di Jawa juga seperti Utang pati saur pati. Di masyarakat-masyarakat lainnya mungkin sama, dengan istilah-istilah yang berbeda-beda,” kata Muzakir saat dihubungi, Rabu (17/1/2024).

Namun, dimensi perbuatan ragam istilah pembunuhan itu, berbalut dengan hukum adat yang tak tertulis. Di Indonesia, kata Muzakir hukum adat yang tak tertulis itu, mendapatkan pengakuan dalam hukum positif atau yang tertulis. Terutama dalam Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pun juga dalam Pasal 5 UU Darurat Tahun 1951.

“Yang pada intinya, hukum adat, ataupun hukum yang hidup, dan berkembang di masyarakat, yang itu tidak tertulis dalam undang-undang tersebut (KUHP), tetap berlaku bagi masyarakat di mana hukum yang tidak tertulis itu berada dan dijalankan,” kata Muzakir.

Menurut dia, jika perbuatan dalam hukum adat, ada padananya dalam KUHP, maka konsekuensi hukumannya memang harus mengacu ke KUHP. Namun dikatakan dia, dengan tetap menjadikan hukum adat itu, sebagai dasar pertimbangan dalam menjatuhkan hukuman.

“Carok, itu ada padanannya dalam KUHP. Itu pembunuhan. Karena materinya adalah pembunuhan, maka berlakulah KUHP. Dengan catatan, bahwa perbuatan pembunuhan itu, harus dihubungkan dengan nilai-nilai hukum adatnya dalam memperberat, atau meringankan hukumannya,” kata Muzakir.

Dan jika satu perbuatan hukum adat, tetapi tak ada padanannya dalam KUHP, maupun UU, maka yang berlaku dalam penjatuhan hukumannya, mengacu pada hukum adat. “Dengan catatan, hukuman pidananya maksimal 3 bulan,” ujar Muzakir.

Muzakir, dalam penelitiannya sebagai dosen hukum pidana, pernah menemukan dua kasus di Jawa Timur (Jatim) yang bertalian antara hukum adat, dan hukum positif. Pertama, disebutnya sebagai kasus Sanah yang terjadi di Probolinggo.

Dalam kasus tersebut, Sanah adalah seorang suami atas istri yang dinikahinya secara sah. Setelah menjalani pernikahan, kata Muzakir, Sanah diberitahukan oleh seorang warga, bahwa istrinya ada berdua-duaan dengan laki-laki lain di dalam hutan. Sanah, pun pergi ke hutan yang dimaksud. Dan menemukan, istrinya yang melakukan persetubuhan di hutan bersama laki-laki lain.

“Sanah lalu membunuh istrinya itu, dan juga laki-laki selingkuhannya itu,” kata Muzakir.

Bahkan, Sanah memotong kepala istri dan selingkuhannya itu. Lalu Sanah pulang, dan ke balai desa lalu menyampaikan perbuatannya ke kepala desa untuk diadili.

Lalu kepala desa, membawa Sanah ke kantor polisi untuk diproses hukum. Dan Sanah menerima konsekuensi hukumannya dengan dijerat Pasal 340 KUH Pidana. Sangkaan pembunuhan berencana, yang mengancamnya dengan hukuman mati, atau penjara seumur hidup. Akan tetapi, dalam kasus tersebut hakim menghukum Sanah dengan penjara selama 10 tahun.

Yang menarik, kata Muzakir, dalam pertimbangan hukumnya, hakim mendapatkan kesaksian, dan penjelasan tentang keberlakuan hukum yang tak tertulis dari para tetua adat, dan tokoh masyarakat di desa tempat Sanah hidup. Bahwa hukum masyarakat yang berlaku di desa tersebut mendukung perbuatan Sanah.

Bahkan kata Muzakir, keberlakuan hukum adat di desa tersebut membenarkan perbuatan penghilangan nyawa terhadap istri, atau suami yang berselingkuh dan berhubungan intim dengan orang yang tidak sah. “Bahkan yang paling menarik juga, dari pihak keluarga korban, baik keluarga korban istrinya, dan keluarga korban laki-laki, menyampaikan Sanah akan bersalah secara hukum adat jika tidak melakukan perbuatannya (membunuh),” kata Muzakir.

Contoh lainnya, juga kata Muzakir ada pertalian kasus hukum adat dan praktik hukum tertulis terkait dengan perselingkuhan dan perzinahan. Kasus tersebut, dengan penjeratan Pasal 284 KUH Pidana yang hukumannya maksimal 3 tahun penjara.

Akan tetapi, di persidangan, jaksa menuntut terdakwa perzinahan itu dengan hukuman mati. Karena, kata Muzakir, dalam penjelasannya, jaksa menyampaikan bahwa di masyarakat tempat terjadinya peristiwa perselingkuhan dan perzinahan itu, ada hukum adat tak tertulis yang mengaruskan pelakunya itu dihukum mati.

“Di persidangan, masyarakat juga menyampaikan jika terdakwa dibebaskan, maka masyarakatnya sendiri yang akan mengeksekusi mati atas perbuatannya itu jika sudah bebas dari pemidanaan,” kata Muzakir.

Sebab itu, jaksa, menuntut si terdakwa dengan hukuman mati demi menghindari eksekusi di luar pengadilan. Namun kata Muzakir, jaksa menyarankan kepada terdakwa untuk banding.

Akan tetapi, hakim pengadilan tinggi, tetap menguatkan hukuman mati. Dan setelah melalui kasasi, Mahkamah Agung (MA) mengubah putusan terhadap terdakwa maksimal sesuai dengan dakwaan Pasal 284 KUH Pidana. Yaitu 3 tahun penjara.

“Tetapi, MA memberikan catatan agar terdakwa setelah menjalani pemidanaan, untuk tidak kembali ke kampung halamannya. Itu untuk menghindari hukuman mati di desanya,” begitu kata Muzakir.

Dua contoh kasus pidana tersebut, sebetulnya gambaran lain dari carok yang terjadi di Madura. Menurut dia, hukum adat akan mengklasifik apakah sabung nyawa antara manusia itu, berawal dari pertikaian yang diatur ketentuannya dalam peradatan masyarakat setempat. Dan carok, jika sesuai dengan klasifikasi hukum adat, dapat menjadi penentu berat ringannya hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku carok.

“Jadi, kalau itu carok, kalau itu siri, atau yang lainnya, kedudukannya bisa memperberat, bisa memperingan. Tetapi, tidak menghapus perbuatan pidananya. Karena materi perbuatannya itu, adalah pembunuhan yang juga diatur dalam KUHP,” kata Muzakir.

Karikatur Opini Republika : Darurat Kekerasan Remaja - (Republika/Daan Yahya)

 
Berita Terpopuler