Awal Perkembangan Islam di Afrika Selatan dan Peran Muslim Indonesia Tahun 1652-1699

Orang-orang Melayu Batavia yang pertama kali datang ke Afrika Selatan adalah Muslim.

Blogspot.com
Menara Masjid Al-Awal (Owal), masjid pertama di Cape Town, Afrika Selatan.
Rep: Fuji E Permana Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- JS Mayson menjelaskan kehidupan Islam di Cape Town (ibukota Afrika Selatan) abad ke-19 dalam buku The Malays of Cape Town. JS Mayson menulis bahwa pada tahun 1652 beberapa orang Melayu Batavia dibawa oleh Belanda ke Karesidenan. Kemudian dibawa ke Pemukiman Tanjung Harapan (Cape of Good Hope)

JS Mayson menduga, orang-orang Melayu Batavia yang pertama kali datang ke Afrika Selatan adalah umat Islam. Hal ini sebagaimana dijelaskan laman South African History Online, Sahistory, dalam artikel yang ditulis oleh Ebrahim Mohamed Mahida.  

Sekitar tahun 1654 Perusahaan Hindia Timur Belanda (Dutch East India Company) mendirikan Tanjung (Cape) sebagai rumah singgah bagi kapal-kapalnya yang melakukan perjalanan antara Belanda dan Hindia Timur. Tanjung yang didirikan Belanda juga berfungsi sebagai tempat penyelesaian hukuman bagi narapidana dan tahanan politik yang diasingkan dari wilayah Timur (Indonesia dan sekitarnya/ Asia).

GM Theal seorang sejarawan dalam bukunya yang berjudul History of South Africa Before 1795, on Dutch East India Company.  Dia berkata, "Bersamanya (Haaselt) datanglah kelompok orang pertama yang menjadi banyak jumlahnya di Afrika Selatan dan memiliki keturunan yang banyak, mereka itulah yang menjadi elemen penting dalam terbentuknya populasi di Cape Town (ibukota Afrika Selatan saat ini)."

Pengadilan Tinggi di Batavia (Jakarta saat berada di bawah kekuasaan Belanda) telah memutuskan bahwa empat orang Asia telah dijatuhi hukuman, sehingga harus diasingkan dan ikut kerja paksa seumur hidup.

Kejahatan empat orang Asia itu adalah memberitakan pemberontakan di Batavia melawan pemerintahan Belanda. Tiga diantaranya dikirim dengan Haaselt ke Mauritius dan satu dibawa ke Tanjung Harapan (di Cape Town, Afrika Selatan saat ini).

Tahanan politik itu mungkin termasuk orang Muslim pertama yang mendarat di Afrika Selatan, dua tahun setelah pemukiman warga kulit putih di negara tersebut. 

Muslim dari Indonesia Timur Tiba di Afrika Selatan Tahun 1658

Kedatangan Muslim merdeka pertama yang dikenal sebagai Mardyckers tercatat terjadi pada tahun 1658. Mardycka atau Maredhika berarti kebebasan.

Mardyckers adalah orang-orang dari Amboyna (sebuah pulau di Indonesia) di selatan Maluku. Meraka dibawa ke Tanjung (Cape) di Afrika Selatan untuk mempertahankan pemukiman yang baru didirikan Belanda dari penduduk asli Afrika Selatan.

Belanda membawa Muslim dari Indonesia Timur itu juga untuk menyediakan tenaga kerja dengan cara yang sama seperti mereka dipekerjakan di kampung halamannya. Pertama dipekerjakan oleh Portugis dan kemudian oleh Belanda, di Amboyna (maksudnya mungkin Pulau Ambon di Indonesia Timur). 

Jan Van Riebeeck seorang administrator kolonial Belanda yang disebut sebagai pendiri Cape Town telah meminta agar keluarga Mardycker dikirim ke Cape sebagai tenaga kerja. Keluarga Mardycker dilarang menjalankan agama mereka secara terbuka, agama mereka adalah Islam. Hal ini sesuai dengan Statuta India yang dirancang oleh Van Dieman pada tahun 1642, yang dinyatakan dalam salah satu placaat (Undang-undang).

Bunyi Undang-undang tersebut, “Tidak seorang pun orang Ambon terkait agama mereka menyusahkan atau mengganggu di depan umum atau (jangan) berani menyebarkannya di kalangan umat Kristiani dan kafir. Pelanggar akan dihukum mati, tetapi jika di antara mereka ada yang telah tertarik kepada Tuhan untuk menjadi Kristen, mereka tidak boleh dicegah untuk bergabung dengan gereja-gereja Kristen."

Undang-undang yang sama diterbitkan kembali pada tanggal 23 Agustus 1657 oleh Gubernur John Maetsuycker (Gubernur-Jendral Hindia-Belanda yang ke-12) mungkin untuk mengantisipasi kedatangan Mardyckers ke Tanjung Harapan. Undang-undang itu memerintah Tanjung sebagai bagian dari Kerajaan Kolonial Belanda.

Kedatangan Orang Sumatera dan Makassar di Afrika Selatan

Pada tahun 1667, lebih banyak lagi warga Muslim buangan yang dibuang oleh Belanda ke Cape Town. Orang-orang buangan politik atau orang Cayen ini adalah orang-orang Muslim kaya dan berpengaruh yang dibuang ke Cape Town dari Tanah Air mereka di Timur karena Belanda takut mereka akan dianggap sebagai ancaman terhadap hegemoni politik dan ekonomi mereka. 

Orang buangan politik pertama adalah penguasa Sumatera. Mereka adalah Syekh Abdurrahman Matahe Sha dan Syekh Mahmood. Keduanya dimakamkan di Constantia (bagian dari wilayah Afrika Selatan saat ini). Sejak awal, pihak berwenang Cape Town mengakomodasi orang-orang buangan yang jauh dari Cape Town karena mereka takut orang-orang buangan tersebut akan melarikan diri. Sebuah makam bagi orang-orang buangan politik ini telah didirikan di "Bukit Islam" di Constantia di Cape. Syekh Yusuf dari Makasar adalah orang Cayen yang paling terkenal.

Sejak tahun 1681 dan seterusnya, Tanjung Harapan (Cape Town) menjadi tempat pengurungan resmi bagi para tahanan politik Timur di bawah kekuasaan Perusahaan Hindia Timur Belanda. Mereka dihukum karena menentang pemerintahan Belanda. 

Sejak tahun 1681 para pangeran Makassar tiba di Tanjung (Cape Town). Mereka ditempatkan di istal di Castle of Good Hope. Peran orang-orang buangan dalam pendirian Islam terlalu dilebih-lebihkan. Namun, sebagai mantan kepala negara di kepulauan Indonesia, mereka tidak mempunyai pengaruh langsung dalam pembentukan dan pengembangan Islam di Tanjung (Cape Town).

Syekh Yusuf (Abidin Tadia Tjoessoep) lahir pada tahun 1626 dari keluarga bangsawan di Gowa di Hindia Timur (Sulawesi Selatan, Indonesia). Ia berjuang bersama dan mendukung Sultan Agung dari Banten dalam perangnya melawan Belanda. 

Dua kali Syekh Yusuf melarikan diri dari tahanan Belanda di Timur, namun akhirnya dibujuk pada tahun 1694 untuk menyerah dengan janji pengampunan. Belanda tidak menepati janjinya dan Syekh Yusuf dibuang, bersama keluarga dan pengikutnya, ke Kastil di Batavia dan kemudian dia dipindahkan di bawah pengawalan bersenjata ke Kastil di Colombo, Ceylon (sekarang Sri Lanka). 

Khawatir akan pengaruh Syekh Yusuf di Ceylon, Belanda mengasingkannya ke Tanjung Harapan (cape Town) sepuluh tahun setelah penyerahan awalnya. Syekh Yusuf tiba di kapal De Voetboog pada tanggal 2 April 1694 bersama dengan 49 pengiringnya termasuk dua istrinya (Carecontoe dan Carepane), dua pembantu perempuan (Mu'minah dan Na'imah), 12 anak, 12 imam (pemimpin agama) dan beberapa teman bersama keluarganya. 

Syekh Yusuf disambut secara meriah oleh Gubernur Simon Van Der Stel di Cape Town. Mereka ditempatkan di sebuah peternakan di Zandvleit, dekat muara Sungai Eerste di Cape, jauh dari Cape Town, pada tanggal 14 Juni 1694. Upaya Kompeni untuk mengisolasi Syekh Yusuf di Zandvleit tidak berhasil. Sebaliknya, Zandvleit ternyata menjadi tempat berkumpulnya budak-budak 'buronan' dan orang-orang buangan lainnya dari Timur. Di sinilah komunitas Muslim pertama yang bersatu di Afrika Selatan didirikan. Karena banyak pengikut Syekh Yusuf berasal dari Makasar, distrik di sekitar Zandvleit sekarang masih dikenal sebagai Macassar.

Tahun 1697 Kedatangan Raja Tambora di Afrika Selatan

Pengasingan politik lainnya yang dibawa ke Tanjung (Cape Town) adalah Abdul Basi Sultania, Raja Tambora. Tambora awalnya merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit yang berbasis Jawa. Raja Tambora tiba di Tanjung Harapan dengan dirantai, dijatuhi hukuman karena aktif menentang Perusahaan Hindia Timur Belanda di negara asalnya (Pulau Sumbawa, Indonesia).

Setibanya di Cape, Abdul Basi Sultania ditempatkan di sebuah kandang di Kastil di Cape Town, tetapi atas campur tangan Syekh Yusuf, otoritas Cape memindahkan Raja Tambora ke Vergelegen di distrik Stellenbosch untuk hidup terisolasi dan jauh dari pengasingan politik lainnya. Robert Shell berpendapat bahwa pemimpin Voortrekker, Piet Retief, adalah keturunan Raja Tambora.

Raja Tambora, saat tinggal terisolasi bersama keluarganya di Vergelegen, menulis Alquran yang dihafalnya kemudian diberikan sebagai hadiah kepada Gubernur, Simon Van Der Stel. Alquran ini, yang pertama yang ditulis di Cape Colony, mungkin tidak pernah keluar dari Vergelegen.

Syekh Yusuf meninggal pada tanggal 23 Mei 1699 dalam usia 73 tahun. Tidak lama setelah kematiannya, Raja Gowa mengajukan petisi kepada Gubernur Jenderal Belanda dan Dewan di Batavia untuk memindahkan janda, anak, sahabat dan pembantu Syekh Yusuf kembali ke Batavia. Maka pada tahun 1704, setelah banyak mengajukan petisi, Kompeni hanya mengizinkan para janda dan anak perempuan Syekh Yusuf untuk kembali ke Batavia dengan dua kapal yakni De Liefde dan De Spiegel. 

Sedangkan putra dan cucu Syekh Yusuf, hanya mereka yang berusia di bawah lima dan enam tahun yang diperbolehkan pulang ke Batavia. Kompeni memutuskan untuk mempertahankan sahabat dan pelayan Syekh Yusuf dan mengevaluasi mereka. Mereka dipaksa bekerja sampai masa kerja mereka dianggap cukup sebagai imbalan atas biaya yang dikeluarkan untuk memelihara Syekh Yusuf dan pengiringnya di Zandvleit. 

Salah satu putri Syekh Yusuf, Zytia Sara Marouff, yang menikah dengan Raja Tambora yang diasingkan di Tanjung Harapan, tetap tinggal, dan dua pengikut Syekh Yusuf meminta izin kepada otoritas Tanjung Harapan untuk tinggal di Tanjung Harapan. Makam Syekh Yusuf terletak di Zandvleit, Faure, di Tanjung Harapan. Bangunan ini dibangun kembali seperti yang ada saat ini oleh Haji Sullaiman Shahmohammed, seorang dermawan Muslim dari Cape Town, pada tahun 1927.

Fuji E Permana

 

Sumber:

Baca Juga

https://www.sahistory.org.za/archive/history-muslims-south-africa-1652-1699-ebrahim-mahomed-mahida

 
Berita Terpopuler