Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Thailand

Islam berkembang di Thailand diperkirakan sekitar abad ke-10.

thailand tourism directory
Masjid Wadi Al Husein adalah salah satu peninggalan dalam sejarah penyebaran Islam di Thailand bagian selatan, tepatnya di Provinsi Narathiwat. Masjid ini berusia lebih dari 300 tahun.
Rep: Mabruroh Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Thailand adalah salah satu negara di wilayah Asia Tenggara  yang mayoritas penduduknya adalah beragama Budha. Muslim di negeri gajah putih itu, hanya sekitar 15 persen dan sebagian besar tersebar di provinsi bagian selatan negara itu, tepatnya di Pattani, Yala, Narathiwat, Songkhla Stun.

Baca Juga

Islam masuk di Thailand diperkirakan sekitar abad ke-10 atau ke-11 dibawa oleh pedagang Arab dan India. Ada pula yang mengatakan Islam masuk ke Thailand melalui Kerajaan Samudera Pasai di Aceh.

Ada pula pendapat lain yang menyebutkan, bahwa Islam masuk Thailand bahkan sebelum kerajaan Thailand berdiri, yakni pada abad ke-9. Hal ini bisa dilihat dari fakta sejarah, seperti lukisan kuno yang menggambarkan Muslim Arab di Ayutthaya, sebuah daerah di Thailand dan juga keberhasilan bangsa Arab dalam mendirikan Daulah Islamiyah Pattani, menjadi bukti bahwa bahwa Islam sudah ada lebih dulu sebelum kerajaan Thai berdiri dan berkuasa.

Menurut Asep Achmad Hidayat dalam bukunya Sejarah Sosial Muslim Minoritas Etnis Melayu di Nusantara: Pattani-Thailand,Singapura, Moro-Filipina, dan Timor Leste, wilayah bagian paling Selatan Thailand awalnya merupakan sebuah Kerajaan Islam Melayu yang berdaulat, yaitu Kesultanan Melayu Pattani yang diperkirakan meliputi lima wilayah (Pattani, Yala, Narathiwat, Songkhla), dan bagian paling Utara Malaysia modern (Kelantan, Kedah dan Perlis dan Terengganu). 

Menurut naskah Hikayatnya Pattani, Kesultanan Pattani diperintah oleh tiga Dinasti yaitu Sri Wangsa, Dinasti Kelantan Pertama, dan Dinasti Kelantan Kedua. Orang-orang Pattani sendiri menyebut Kesultanan Pattani, dengan sebutan Kesultanan Pattani Darussalam atau Pattani Raya.

Dalam masa keemasannya Kesultanan Pattani menunjukkan sebagai sebuah empire Islam Melayu teragung di Semenanjung Melayu. Pattani Raya pada waktu itu merupakan sebuah Kota Pelabuhan yang terkenal dan makmur, yang diperintah oleh raja-raja yang digambarkan dalam sejarah sebagai memiliki regional seat power. Sejak kedatangan Islam di Nusantara (kepulauan) tanah Pattani telah dikunjungi bangsa-bangsa. Dalam abad ke-14 M, kota Pelabuhan Pattani telah berkembang menjadi kerajaan Pattani Raya.

Kesultanan Pattani mencapai puncak kejayaannya ketika diperintah oleh para Sultanah (raja-raja perempuan), yaitu Raja Hijau (1584-1616 M), Raja Biru (1616-1624 M), Raja Ungu (1624-1635 M), dan Raja Kuning (1635-1688 M). Pada masa pemerintahan raja-raja perempuan tersebut keadaan kerajaan Pattani mencapai kemakmuran sebagai akibat dari hubungan dagang dengan bangsa-bangsa Eropa dan Asia Timur, Belanda, Portugis, Inggris, Tiongkok, dan Jepang.

Tanah Pattani pada waktu itu tidak hanya dikunjungi para pedagang Melayu, tetapi juga didatangi para pedagang dari berbagai bangsa, Eropa, Arab, Persia, Yahudi, Turki, Tiongkok, Jepang, Korea, bangsa-bangsa Nusantara, dan lainnya. Realitas ini menunjukkan bahwa Kesultanan Melayu Pattani telah menunjukkan taraf ekonomi yang cukup maju. Dengan modal ini Kesultanan Melayu Patani membangun sebuah kebudayaan Melayu Islam yang khas dan maju pada masa itu. la tidak hanya berperan aktif dalam bidang politik dan perdagangan di seluruh rantau ini tetapi telah berhasil menempatkan suatu kawasan yang menjadi pusat pengembangan agama Islam di tanah Melayu.

Sepanjang abad ke-16 muncul nama-nama ulama dan penyebar Islam seperti Syeikh Syafiauddin al-Abbasi, Syeikh Muhammad Said Barsisa, dan Syeikh Gombak Abdul Mubin yang menyebarkan Islam di tanah Pattani pada waktu itu. Kemudian muncul pula pendakwah lainnya seperti, Syeikh Faqih Ali al-Malbari, Syeikh Ali Faqih al-Fatani, Syeikh Abdul-Jalil al-Fatani, dan yang lainnya.

Menjelang awal abad ke-18 M hingga sepanjang abad ke-19 Pattani terus berperan sebagai pusat kebudayaan atau tamadun Islam bahkan sebagai pusat kegiatan kesusastraan Melayu berunsur Islam. Sepanjang abad tersebut Pattani telah melahirkan ulama-ulama besar yang tidak hanya terkenal di tanah Melayu tetapi dikenal juga di Arab, Turki, dan Afrika Utara. Pada masa itu "Pattani" mendapat julukan "Cermin Mekkah" yang banyak dikunjungi pelajar Muslim dari Sri Lanka, Burma (Myanmar), Kamboja, Vietnam, Filipina, negeri-negeri Melayu, dan seluruh Nusantara seperti Sumatra (terutama Aceh), Sulawesi, Kalimantan, Jawa, dan Brunei.

Dalam mengembangkan dakwahnya, para ulama menggunakan lembaga pendidikan "Pondok" sebagai basis kegiatannya. Diantara pondok yang paling tua dan cukup terkenal aktif menjalankan dakwah di Pattani adalah Pondok Dala, Bermin, Semela, Dual, Kota, Gerisik, dan Telok Manok. Pondok-pondok ini telah didatangi bukan saja oleh para pelajar dalam negeri tapi juga dari luar negeri.

Menjelang pertengahan abad ke-19 M, wilayah Kesultanan Pattani telah menjadi korban penaklukan Kerajaan Siam (Muang-tai/Thailand). Prosesnya dimulai tahun 1786 M ketika tentara Kerajaan Siam menaklukkan kekuatan tentara Kesultanan Pattani dan menguasai seluruh wilayah kerajaan Islam ini. Sebagai akibat dari kekalahannya ini, bangsa Pattani menerima hukuman perang dari Kerajaan Siam berupa kekejaman dan penganiyaan.

Sir Francis Light yang baru tiba di Pulau Pinang, menulis surat pada tanggal 12 September 1786 kepada Gubernur Jenderal Lord Cornwallis di India melaporkan kekejaman tentara Thailand (Siam) yang menjajah Pattani. Menurut laporan itu, kaum lelaki, perempuan tua dan anak-anak yang tidak berdosa telah disiksa, diikat, dan dibaringkan di tanah lapangan yang luas, dan selanjutnya dinjak-injak oleh gajah sampai mati. Menurut catatan pada tahun 1786 M, kekejaman ini telah menyebabkan 15 ribu dari 90 ribu penduduk Pattani mengungsi di sepanjang sungai Muda, Kedah Semenanjung Melayu. Sebanyak 4.000 orang Melayu Pattani ditawan dan dibawa ke Bangkok sebagai pekerja paksa untuk menggali terusan sungai. Sementara itu, istana bersama Masjid Kesultanan Pattani dibakar tentara Kerajaan Thailand, hancur tidak tersisa, hanya masjid saja yang dikenal dengan masjid Gresik atau Krue Sek di Ampheu Saiburi, Provinsi Pattani.

Pada 1791, pemerintahan Bangkok melantik Tengku Lamidin sebagai Raja Pattani, namun ia memberontak karena tidak tahan atas kekejaman Kerajaan Thailand atas rakyat Pattani. Pemberontakan Tengku Laimidin mendapatkan bantuan dari Syeikh Abdul Kamal al-Maki dari Makkah. Syeikh Abdul Kamal al-Maki melakukan kesepakatan dengan Raja Annam, Okphaya Chi So (raja Islam), untuk membantu Tengku Lamidin dalam menentang kekuasaan Thailand. Namun tentara gabungan Thailand, yaitu Singgora-Ligor-Bedelung-Bangkok berhasil mengalahkan pasukan Tengku Lamidin. Untuk mengendalikan dari pemberontakan, kemudian Pattani di bawah kendali penguasa Senggora.

Pada 1808 M, Bangkok melantik Datuk Pangkalan sebagai Raja Pattani, namun Datuk Pangkalan pun memberontak terhadap Bangkok. Ia mendapat bantuan dari Kesultanan Terengganu dan Lanun Siak untuk menyerang Senggora. Di bawah pimpinan Jenderal Chao Phaya Ponthalep pemberontakan Datuk Pangkalan ini dapat dikalahkan. Kemudian Raja Rama I, mengangkat seorang pedagang China (Tiongkok) dari daerah Chena (Shongkla sekarang), Nai Kwan Sai, menjadi Raja Pattani.

Semenjak itu berakhirlah pemerintahan Melayu di Pattani, selanjutnya diperintah oleh orang China Thai. Nai Kwan Sai kemudian diganti oleh Nai Him Sai. Kemudian untuk memperlemah kekuatan Pattani, di bawah kendali Raja China Thai tersebut wilayah Pattani dipecah menjadi tujuh negeri, yaitu Pattani, Taluban (Sai), Nong Chik, Jalor (Yala), Jering (Jambu), Rangae (Legeh) dan Raman." Meskipun ada pemberontakan Tunku Kudin dari Kedah (tahun 1831), namun pemberontakan ini dapat dipatahkan pihak Bangkok, sehingga sejak tahun ini Kerajaan Thailand dapat menguasai penuh seluruh tujuh negeri Pattani di bawah kendali seorang gubernur.

 

Dalam 1904 dan 1909 M, sebagai akibat dari disepakatinya perjanjian Anglo-Simese, yaitu perjanjian antara pihak Inggris di Semenanjung dan Kerajaan Siam (Thailand), di mana disepakati dalam perjanjian tersebut wilayah Pattani dimasukkan ke dalam empire Thailand, sedangkan Terengganu, Kedah, Kelantan, dan Perlis dan seluruh negeri Semenanjung Selatan diserahkan kepada British (Inggris).

 
Berita Terpopuler