ICC Dinilai Lambat Selidiki Kejahatan Israel Terhadap Palestina

Setelah mendapat tekanan internasional, ICC baru menyelidiki kejahatan perang Israel

EPA-EFE/ATEF SAFADI
Setelah mendapat tekanan internasional, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengumumkan bahwa mereka sedang melakukan penyelidikan atas kejahatan perang yang dilakukan Israel
Rep: Rizky Jaramaya Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah mendapat tekanan internasional, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengumumkan bahwa mereka sedang melakukan penyelidikan atas kejahatan perang yang dilakukan Israel dalam serangan tanpa henti di Gaza sejak 7 Oktober 2023. Pengeboman Israel yang telah berlangsung selama satu bulan telah membunuh sekitar 11 ribu warga sipil Gaza, termasuk lebih dari 4000 anak-anak. Israel berjanji untuk melanjutkan serangannya, meskipun ada seruan gencatan senjata yang meluas. 

Pada 29 Oktober 2023, Jaksa Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), Karim Khan mengunjungi penyeberangan Rafah di sisi Mesir. Khan mengatakan bahwa apa yang terjadi di Jalur Gaza tidak dapat diterima. Khan menegaskan, warga Gaza sedang menanggung penderitaan yang tak terbayangkan. Dia menggambarkan situasi orang-orang tak berdosa yang terjebak dalam perang. Dia juga menggarisbawahi perlunya melindungi warga sipil sesuai dengan hukum internasional. 

“Tindakan tersebut tidak dapat dibiarkan begitu saja. Karena jenis kejahatan yang kita semua telah saksikan, yang kita lihat pada tanggal 7 Oktober, merupakan pelanggaran serius, jika terbukti, terhadap hukum humaniter internasional,” ujar Khan, dalam sebuah pernyataan dilansir dari website resmi ICC. 

Tak lama setelah memulai kampanye pengeboman yang intens, Israel memberlakukan blokade total terhadap Gaza dengan memutus akses listrik, air, makanan, bahan bakar, dan obat-obatan. Pasokan yang sangat dibutuhkan ke Gaza menjadi sangat terbatas sejak saat itu.

Khan meminta Israel untuk tidak menunda masuknya bantuan penyelamat jiwa ke Jalur Gaza. Dia memperingatkan bahwa, memblokir bantuan kemanusiaan merupakan kejahatan di tengah bencana kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Khan mendesak Israel untuk menghormati hukum internasional. Dia menekankan bahwa infrastruktur sipil yaitu rumah, masjid, gereja, sekolah dan rumah sakit tidak dapat dijadikan sasaran berdasarkan hukum kemanusiaan internasional.

Khan menyerukan kepada negara-negara anggota ICC dan non-negara pihak untuk membantu secara kolektif menegakkan Konvensi Jenewa, hukum internasional dan prinsip-prinsip Mahkamah Statuta Roma. Termasuk berbagi bukti mengenai kejahatan dan pelanggaran guna menyelidiki dan mengadili Israel dengan tepat.  Menyusul kunjungan Khan ke penyeberangan Rafah, organisasi hak asasi manusia Palestina termasuk Al Haq mengeluarkan seruan bersama yang mendesak jaksa untuk segera mengeluarkan surat perintah penangkapan.

Baca Juga

Menyelidiki kejahatan Israel tak perlu ke Gaza.... 


Pengacara internasional dan peneliti hukum di Al Haq, Ahmed Abofoul berpendapat, dugaan kejahatan tertentu di Palestina tidak memerlukan akses ke wilayah tersebut untuk diselidiki. Dia merujuk penargetan Israel yang sistematis dan disengaja terhadap objek-objek yang sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup penduduk sipil, termasuk toko roti, tempat penyimpanan makanan UNRWA, dan cadangan air.

“Informasi mengenai beberapa kejahatan ini sudah tersedia di domain publik. Jaksa dapat mulai menyelidiki selain menyelidiki beberapa kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya yang telah dilakukan di Palestina selama beberapa dekade , khususnya apartheid dan penganiayaan,” kata Abofoul kepada The New Arab (TNA).

Komisi Penyelidikan telah memiliki bukti jelas terkait kemungkinan kejahatan perang yang dilakukan oleh semua pihak dalam kekerasan terbaru di Israel dan Gaza. Tiga hari setelah permusuhan, Komisi Penyelidikan mengatakan, mereka sangat prihatin dengan agresi Israel dan pengepungan total mereka yang merupakan hukuman kolektif terhadap 2,3 juta penduduk Gaza.

“Ketika melihat situasi di Gaza, kita tentu melihat potensi terjadinya kejahatan yang sangat besar,” kata Helen Duffy, profesor hukum humaniter internasional di Universitas Leiden, yang merujuk pada bukti signifikan yang menunjukkan kejahatan perang, serta kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida.

Duffy menekankan, salah satu aspek yang sangat penting dalam penyelidikan adalah pelestarian bukti yang dikumpulkan di lapangan. Bukti itu nantinya dapat digunakan untuk akuntabilitas, yang merupakan tantangan besar selama konflik bersenjata. 

Palestina menjadi anggota ICC pada 2015. Ini menjadi sebuah langkah positif yang seharusnya dapat membuka jalan menuju akuntabilitas hukum. Sejak itu, warga Palestina telah mengajukan puluhan pengaduan terhadap negara Israel.

Sementara Israel bukan anggota ICC. Israel mengklaim bahwa ICC tidak memiliki yurisdiksi untuk menyelidiki konflik tersebut karena Palestina bukanlah negara berdaulat. Namun, sebagai negara penandatangan Konvensi Jenewa, Israel berkewajiban untuk menyelidiki dan mengadili kejahatan perang, termasuk kejahatan yang dilakukan oleh pasukannya sendiri. Namun, mereka menolak bekerja sama dengan pengadilan pidana dan mencegah tim investigasi ICC melakukan perjalanan ke negara tersebut atau memasuki Gaza. 

Pada Maret 2021, mantan kepala jaksa ICC, Fatou Bensouda meluncurkan penyelidikan atas dugaan kejahatan perang Israel di wilayah pendudukan Palestina di Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur sejak 2014. Penyeidikan berlangsung setelah melakukan pemeriksaan pendahuluan yang cermat selama enam tahun. Penyelidikan dimulai oleh badan peradilan pada 2009. Namun setelah Bensouda meninggalkan jabatannya pada Juni 2021, tidak ada kabar mengenai keberlanjutan penyelidikan tersebut.

Perang Israel dan Palestina ujian bagi ICC.... 


Pelapor khusus Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk Palestina, Francesca Albanese bergabung dengan rekan-rekan pakar independen PBB awal tahun ini yang menyerukan jaksa ICC untuk segera melakukan penyelidikan atas kejahatan Israel di Palestina. Para ahli telah mengemukakan kekhawatiran mengenai ketidakberpihakan dan pengaruh politik. Jaksa penuntut pengadilan menanggapi dengan cepat tuntutan kejahatan perang di Ukraina ketika sejumlah negara segera mengajukan masalah tersebut ke kantornya. Sebaliknya, tidak ada negara yang meminta jaksa untuk meningkatkan upaya dan memberikan akuntabilitas terkait Palestina. Pengadilan tersebut juga belum mengambil langkah praktis apa pun dalam menangani kejahatan yang dilakukan Israel hingga saat ini.

Abofoul berpendapat, kasus Palestina adalah “ujian lakmus” bagi kredibilitas ICC untuk membuktikan bahwa ini adalah pengadilan pidana dunia yang sesungguhnya. Dia menambahkan, ICC perlu menunjukkan bahwa mereka memandang warga Palestina sebagai manusia yang setara dan berhak mendapatkan perlindungan yang sama berdasarkan hukum internasional.

“Kesimpulan dari penyelidikan dan penerbitan surat perintah penangkapan sudah lama tertunda, tidak ada alasan apapun untuk menundanya lebih lama lagi. Tempat yang tepat bagi Benjamin Netanyahu dan pejabat negara Israel yang membuat pernyataan genosida adalah sel di Den Haag,” ujar Abofoul.

Pengacara senior di sebuah perusahaan Inggris yang menangani kasus-kasus ICC sebelumnya yang melibatkan Israel, Dewan Khalil mengatakan kepada Anadolu Agency, kurangnya urgensi mengenai Palestina dibandingkan dengan Ukraina menunjukkan ketidaksetaraan yang sarat dengan pengaruh politik. Selain itu, penyelidikan Palestina kekurangan sumber daya, dengan jumlah dana yang diusulkan untuk tahun 2023 kurang dari 1 juta Euro. Ini merupakan alokasi anggaran terkecil dibandingkan dengan negara-negara lain.

Meskipun jumlah korban sipil dan tuduhan kejahatan perang sangat besar, negara-negara Barat secara aktif mendukung Israel. Pada pekan ketiga perang, AS, Inggris, Jerman, Perancis, Italia dan Kanada menandatangani pernyataan bersama yang menegaskan kembali dukungan mereka terhadap Israel dan haknya untuk membela diri.

Amerika Serikat dengan tegas menentang penyelidikan apa pun terhadap situasi Palestina dan kerap menghalangi upaya internasional untuk meminta pertanggungjawaban Israel. Pemerintahan Presiden Joe Biden menolak pembukaan penyelidikan oleh pengadilan pada  2021.

“Pelanggaran yang kita lihat saat ini terjadi karena sejarah panjang impunitas dan kegagalan komunitas internasional dalam menuntut kepatuhan terhadap hukum internasional,” ujar Duffy.

ICC adalah satu-satunya lembaga internasional yang tidak memihak dalam menyelidiki dan mengadili dugaan kejahatan, ketika pemerintah Israel tidak mau melakukan hal tersebut. Badan investigasi hampir pasti merupakan satu-satunya pilihan hukum yang tersisa bagi warga Palestina dalam upaya mereka mencapai keadilan.

Duffy mengamati bahwa negara-negara ketiga perlu melakukan segala kemungkinan untuk menekan Israel agar berhenti melanggar norma-norma dasar hukum kemanusiaan, serta memastikan bahwa negara-negara tersebut tidak mendukungnya dengan cara yang dapat membuat mereka terlibat dalam pelanggaran. Duffy percaya bahwa tekanan global adalah faktor kunci yang akan mempengaruhi pelaksanaan penyelidikan. 

“Itu tergantung kemauan politik, dan seberapa besar tekanannya. Hal ini dilakukan oleh aktor-aktor terkait di seluruh dunia dalam menuntut Israel memenuhi kewajiban internasional,” ujar Duffy.

Sementara Abofoul yakin tindakan ICC mendatang di Palestina dapat memberikan secercah harapan bagi para korban penindasan Israel. “Korban Palestina perlu merasakan bahwa pengadilan ini bekerja secara aktif dan mengeluarkan surat perintah penangkapan. Kini, lebih dari sebelumnya, para korban perlu melihat adanya jalan ke depan dengan menggunakan hukum internasional,” kata Abofoul. 

 
Berita Terpopuler