Aksi Boikot Efektif Tekan Perusahaan untuk tidak Mendukung Israel

Aksi BDS menyebabkan perusahaan multinasional menarik diri dari Israel.

Republika/Wihdan Hidayat
Peserta membawa poster boikot McD saat mengikuti aksi damai Indonesia Turun Tangan Bantu Palestina di Titik Nol Kilometer Yogyakarta, Sabtu (21/10/2023). Aksi damai bantu Palestina kali ini diikuti oleh pelajar, santri, dan mahasiswa di Yogyakarta. Pada aksi ini mereka mengutuk kebiadaban Israel usai mengebom rumah sakit yang menewaskan 500 warga Palestina. Selain orasi juga dilakukan penggalangan dana bantuan dan ditutup dengan doa bersama bagi rakyat Palestina.
Rep: Rizky Jaramaya   Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aksi boikot terhadap sejumlah perusahaan Barat meluas sejak Israel membombardir Gaza pada 7 Oktober 2023. Gerakan Boikot, Divestasi dan Sanksi (BDS) yang dipimpin oleh aktivis Palestina mengatakan, aksi boikot efektif untuk menekan perusahaan agar tidak mendukung pendudukan Israel di Palestina.

Baca Juga

BDS mengatakan, aksi mereka telah menyebabkan perusahaan multinasional besar seperti Veolia, Orange, dan General Mills menarik diri dari aktivitas di permukiman ilegal Israel. Kelompok BDS aktif sejak 2005, memfokuskan boikot terhadap sejumlah perusahaan yang diyakini terlibat dalam pelanggaran hak-hak warga Palestina, termasuk perusahaan teknologi HP dan Siemens, pengecer Carrefour, perusahaan asuransi AXA, dan perusahaan pakaian olahraga Puma.

“Semua upaya damai rakyat, termasuk boikot dan divestasi, untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan-perusahaan yang terlibat atas dukungan mereka terhadap kejahatan Israel terhadap warga Palestina adalah hal yang dibenarkan dan diperlukan,” kata BDS kepada Euronews.

Meski tindakan BDS berhasil, kelompok ini tetap menuai banyak kontroversi selama bertahun-tahun.

Kelompok BDS telah memicu perdebatan mengenai legalitas boikot, serta hak atas kebebasan berpendapat. Pada 2019, parlemen Jerman memutuskan bahwa BDS menggunakan metode anti-Semit untuk mencapai tujuannya. Sentimen serupa juga terjadi di negara-negara lainnya seperti Prancis dan Inggris.

Di Amerika Serikat (AS) beberapa negara telah mengeluarkan undang-undang untuk mencegah boikot anti-Israel. Namun banyak dari inisiatif ini telah ditentang secara hukum atas dasar kebebasan berpendapat. Para pemboikot berargumentasi bahwa mereka seharusnya diizinkan untuk mengkritik Israel.

Perdebatan mengenai BDS menyoroti sulitnya membahas perang Hamas di Israel. Karena dengan mengutuk tindakan ofensif Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, membuat perusahaan rentan terhadap tuduhan anti-Semitisme.

"Perusahaan harus benar-benar mempertimbangkan nilai-nilainya," ujar Profesor Madya Komunikasi Korporat di Universitas Ghent, An-Sofie Claeys, dilansir Euronews.

Sulit untuk melihat bagaimana perusahaan....

 

 

 

Meskipun ketakutan seputar anti-Semitisme sepenuhnya sah, ada masalah yang jelas ketika individu menyamakan kritik terhadap negara Israel dan kecaman terhadap orang-orang Yahudi. Di beberapa kalangan, mereka yang berharap untuk membungkam suara Palestina juga telah mengaburkan batas antara dukungan terhadap Hamas dan dukungan terhadap perjuangan Palestina. 

Menurut Claeys, dengan bahasa yang sudah mencapai titik puncaknya, sulit untuk melihat bagaimana perusahaan dapat bereaksi terhadap perang dengan cara yang tidak akan mengurangi popularitas mereka di mata konsumen.

“Saya pikir ada perbedaan antara apa yang harus Anda lakukan secara moral dan apa yang harus Anda lakukan dalam hal strategi dan reputasi. Perusahaan harus benar-benar mempertimbangkan nilai-nilai mereka, dan bertindak serta berkomunikasi sejalan dengan nilai-nilai tersebut," kata Claeys.

Di masa sebelum adanya media sosial, perusahaan cenderung tidak terlibat dalam moralisasi publik. Tanggung jawab sosial perusahaan adalah sebuah istilah yang sudah ada sejak 1950-an. Namun tanggung jawab yang dimaksud lebih berkaitan dengan filantropi dan memberikan kontribusi kepada komunitas, dibandingkan mengeluarkan pernyataan mengenai isu-isu budaya yang lebih luas.

Banyak pelaku bisnis sebelumnya meyakini bahwa tidak perlu bagi mereka untuk mengutarakan pendapatnya mengenai masalah sosial seperti aborsi, ras, atau hak-hak LGBTQ+. Namun seiring berkembangnya media sosial pada tahun 90-an, hal ini membawa perubahan budaya yang besar.

Perusahaan berada di bawah tekanan yang lebih besar untuk membela diri dan menyuarakan ketidakadilan yang mereka rasakan, bahkan jika hal tersebut tidak melibatkan mereka secara langsung. Seperti yang terlihat setelah invasi Rusia ke Ukraina pada 2022.

Konsumen menyaksikan bendera Ukraina berkibar di situs-situs komersial dan toko-toko. Bahkan sejumlah perusahaan meluncurkan kampanye solidaritas, seperti platform persewaan Airbnb, yang mulai menawarkan perumahan gratis bagi pengungsi Ukraina. Namun, ketika opini publik semakin terpecah, aktivisme korporasi bisa menjadi sedikit lebih rumit.

“Saya rasa tidak ada solusi yang jelas untuk memberikan nasihat kepada perusahaan. Satu hal yang harus mereka pertimbangkan adalah konsistensi. Jika Anda belum pernah bersuara mengenai masalah sosial sebelumnya, dan jika perusahaan Anda adalah perusahaan B2B, maka saya rasa Anda mungkin diam saja. Tetapi jika Anda memproduksi barang untuk konsumen, jika Anda adalah merek yang telah mengambil sikap sebelumnya terhadap masalah sosial, maka akan dianggap munafik jika tidak mengambil sikap sekarang," ujar Claeys.

 
Berita Terpopuler