Partai Buruh Protes Gugatan Presidential Threshold Ditolak oleh MK

Hakim Saldi Isra dan Suhartoyo berbeda pandangan dengan tujuh hakim MK lainnya.

Republika/Eva Rianti
Presiden Partai Buruh sekaligus Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal.
Rep: Rizky Suryarandika Red: Erik Purnama Putra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Buruh menyatakan kekecewaannya, menyusul Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak menerima permohonan uji materi mereka. Partai Buruh menyoal syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Putusan itu dibacakan hakim MK pada 14 September 2023. Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyampaikan pihaknya tidak sependapat dengan keputusan sebagian hakim MK yang menyatakan kedudukan hukum partai buruh ditolak. "Justru pendapat hakim Saldi Isra itulah yang diharapkan oleh Partai Buruh," kata Iqbal kepada wartawan di Jakarta, Kamis (14/9/2023).

Baca Juga

Putusan MK diwarnai perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari hakim Saldi Isra dan Suhartoyo, yang memiliki alasan berbeda terhadap kedudukan hukum pemohon I serta memiliki pendapat berbeda terhadap pemohon II dan pemohon III.

Namun, karena kalah suara maka MK memutuskan menolak gugatan Partai Buruh. "Bahwa ketika parpol telah dinyatakan sebagai peserta Pemilu 2024, maka hal untuk mengajukan capres/cawapres, caleg, dan calon pilkada melekat pada Parpol tersebut," ujar Iqbal.

Dia tak bisa membendung kekecewaannya atas putusan MK. Iqbal menyinggung langkah selanjutnya dari partai buruh atas putusan MK ini akan menggalang aksi di jalanan sesuai konstitusi. "Ini untuk mencari keadilan karena keadilan di ruang sidang tidak didapat," ujar Iqbal.

Oleh karena itu, Iqbal mewanti-wanti Partai Buruh bersama elemen masyarakat yang lain akan melakukan aksi berkelanjutan dan bergelombang di berbagai daerah. "Aksi akan dimulai pada tanggal 21 September, dan akan terus berlanjut. Bisa jadi setiap minggu akan ada aksi," ucap Iqbal.

Dalam permohonannya Partai Buruh dan kawan-kawan ingin Pasal 222 UU Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD RI 1945 sepanjang tidak dimaknai "Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang sudah ditetapkan oleh KPU dan/atau partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki perolehan suara paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi di DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya."

Artinya, partai politik yang telah ditetapkan oleh KPU dapat mengajukan daftar capres dan cawapres. Permohonan ini terdaftar pada nomor perkara 80/PUU-XXI/2023. Perkara ini baru melalui dua tahapan sidang, yakni pemeriksaan pendahuluan dan perbaikan permohonan.

Partai Buruh tak punya kedudukan hukum...

Ketua MK Anwar Usman mengatakan para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Permohonan para penggugat lantas tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

"Mengadili, menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima," kata Anwar ketika membacakan putusan di Gedung MK RI, Jakarta Pusat pada Kamis. Dalam pertimbangan hukum, hakim MK Arief Hidayat menyatakan Partai Buruh merupakan partai politik yang tidak mengikuti pemilihan pada pemilu sebelumnya.

Sedangkan norma yang terkandung dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) diberlakukan bagi partai politik yang telah mengikuti pemilu anggota DPR, dan telah memperoleh dukungan suara tertentu. oleh karenanya batasan ketentuan syarat ambang batas minimum perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik dalam mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden tersebut tidak diberlakukan bagi pemohon.

Terkait kedudukan hukum dua pemohon lainnya, yakni Mahardhikka Prakasha Shatya dan Wiratno Hadi, MK merujuk Putusan Nomor 74/PUU-XVIII/2020 dan Putusan Nomor 66/PUU-XIX/2012. Dalam dua putusan tersebut dijelaskan pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan pengujian atau norma Pasal 222 UU Pemilu adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.

Bisa juga, perseoragan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden atau menyertakan partai politik pendukung untuk secara bersama-sama mengajukan permohonan.

"Dalam kaitan ini, tidak terdapat bukti yang meyakinkan Mahkamah apakah pemohon II dan pemohon III merupakan perseorangan warga negara yang telah memenuhi syarat untuk dicalonkan sebagai pasangan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Presiden Tahun 2024. Menurut Mahkamah Pemohon I, II, dan III tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo," ucap Arief.

Walau demikian, perbedaan pendapat disampaikan hakim MK Saldi Isra dan Suhartoyo atas putusan tersebut. Keduanya mempunyai alasan berbeda terhadap kedudukan hukum pemohon I serta memiliki pendapat berbeda terhadap pemohon II dan pemohon III.

 
Berita Terpopuler