Menilik Penyebab Ekonomi China Melambat dan Imbasnya ke Indonesia

Tingkat pengangguran China juga mulai naik pada bulan lalu.

AP News
Foto udara proyek pembangunan perumahan milik developer Evergrande di Beijing, Rabu (22/9).
Rep: Iit Septyaningsih/Rahayu Subekti Red: Lida Puspaningtyas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kondisi ekonomi China sedang melambat dan menjadi akar dari segala perlambatan ekonomi global. Salah satu penyebab perlambatan China karena adanya krisis pada sektor properti.

Baca Juga

Sejak 2021, beberapa perusahaan real estate besar di China bangkrut, seperti Country Garden dan Evergrande. Padahal, sektor tersebut menjadi salah satu sumber lapangan kerja bagi masyarakat di Negeri Tirai Bambu tersebut.

Dilansir The New York Times pada Selasa (5/9/2023), ada beberapa penyebab krisis properti di China. Di antaranya, selama beberapa puluh tahun terakhir, pemerintah China memberi izin properti meminjam dalam jumlah banyak guna membiayai proyeknya.

Hanya saja pada 2020, pemerintah menghentikan gelembung pada sektor perumahan dengan menghentikan aliran dana ke perusahaan real estate. Penghentian itu lewat kebijakan utang tidak boleh lebih dari 70 persen aset, lalu utang bersih tidak lewat dari 100 persen ekuitas, dan cadangan uang minimal 100 persen dari utang jangka pendek.

Akibat kebijakan itu, perusahaan properti besar di China mengalami gagal bayar. Lembaga pemeringkat Standard & Poor's melaporkan, sebanyak 50 perusahaan properti di negara tersebut tidak bisa membayar utang dalam tiga tahun terakhir.

Tidak berhenti sampai situ, ekonomi China dikabarkan tengah menghadapi tekanan beruntun. Mulai dari lesunya konsumsi masyarakat, inflasi yang rendah atau mengalami deflasi, sektor manufaktur yang melambat, hingga krisis yang menimpa beberapa sektor.

Biro Statistik Nasional (NBS) merilis data penjualan ritel, industri, dan investasi semuanya tumbuh pada kecepatan yang lebih lambat dari yang diharapkan. Berdasarkan data NBS, output industri tumbuh 3,7 persen dari tahun sebelumnya, melambat dari laju 4,4 persen yang terlihat pada Juni. Ini berada di bawah ekspektasi untuk kenaikan 4,4 persen dalam survei Reuters.

Sedangkan penjualan ritel hanya tumbuh 2,5 persen pada Juli lalu, turun dari kenaikan 3,1 persen pada Juni dan meleset dari perkiraan analis pertumbuhan 4,5 persen meskipun tren perjalanan meningkat di musim panas. Tingkat pengangguran China juga mulai naik pada bulan lalu, yakni sebesar 5,3 persen, dari sebelumnya pada Juni lalu sebesar 5,2 persen. 

Meski begitu, sejumlah ekonom menilai dampak lesunya ekonomi China tidak akan langsung terasa ke dalam negeri. Meski negara itu merupakan salah satu mitra dagang Indonesia.

"Sektor keuangan kita baik-baik saja, terlepas dari perekonomian China yang loyo. Itu karena, satu, sejauh ini sektor keuangan kita mengandalkan aktivitas ekonomi domestik," ujar Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky kepada Republika, Selasa (5/9/2023).

Hanya saja, katanya, kondisi sektor riil dan sektor keuangan berbeda. Itu karena, sektor riil nasional sangat mengandalkan perekonomian China, baik dari sisi ekspor maupun impor.

"Sehingga kondisi China yang melemah jadi sinyal risiko terhadap ekonomi Indonesia, tapi dari sisi sektor riil. Bukan dari sisi keuangan," tutur Riefky.

Kendati demikian, Indonesia dinilai tetap perlu mewaspadai kondisi perekonomian China yang tengah menurun. Itu karena, risiko keuangan yang ditimbulkan dari masalah China perlu waktu.

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menegaskan, dampak ekonomi China terhadap Indonesia tidak langsung, melainkan secara perlahan. Efeknya mulai ketika kinerja perdagangan internasional Indonesia menurun surplus-nya. Bahkan, sambung dia, tidak menutup kemungkinan menjadi defisit.

Harga berbagai komoditas unggulan ekspor Indonesia terutama yang diserap oleh China seperti olahan nikel, CPO, barang tambang, perkebunan, dan lainnya juga pasti terdampak. Dengan begitu, tegas dia, pasti berimbas ke sektor perbankan nasional.

"Imbasnya tentu ke sektor perbankan yang membiayai orientasi ekspor impor. Jadi kalau dilihat sekarang (dampaknya) ya belum terasa, tapi jangan lengah," tegas Bhima.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mengungkapkan saat ini ketidakpastian perekonomian global masih...

 

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mengungkapkan saat ini ketidakpastian perekonomian global masih terjadi. Meskipun begitu, Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar memastikan stabilitas sektor jasa keuangan nasional tetap terjaga.

"Sektor jasa keuangan resilien dengan indikator prudensial seperti permodalan maupun likuiditas yang memadai serta profil risiko yang terjaga di tengah meningkatnya ketidakpastian perekonomian global," kata Mahendra dalam konferensi pers RDK Bulanan OJK Agustus 2023, Selasa (9/5/2023).

Dia menuturkan, divergensi perekonomian global masih berlanjut. Hal itu seiring ekonomi Amerika Serikat (AS) yang resilien di tengah inflasi inti yang terus menurun.

Menurutnya, resiliensi ekonomi tersebut meningkatkan ekspektasi bahwa The Fed lebih hawkish. Sementara di Eropa, Mahendra menyebut pertumbuhan ekonomi kembali turun menjadi 0,6 persen secara tahunan pada kuartal II 2023 dari 1,1 persen pada kuartal sebelumnya dan inflasi inti masih persisten tinggi.  

Di sisi lain, Mahendra mengatakan, momentum pemulihan ekonomi China semakin termoderasi.

"Indikator-indikator ekonomi China tercatat di bawah ekspektasi dengan inflasi yang masuk ke zona deflasi dan kinerja eksternal yang terkontraksi," jelas Mahendra.

Selain itu, Mahendra mengatakan tekanan pada sektor properti di China kembali meningkat. Hal tersebut seiring munculnya permasalahan pada beberapa pengembang properti besar.

Di domestik, Mahendra memastikan, ekonomi Indonesia tumbuh positif pada kuartal II 2023 yaitu sebesar 5,17 persen secara tahunan.

"Angka ini naik dari kuartal sebelumnya sebesar 5,04 persen secara tahunan, didorong oleh kinerja konsumsi rumah tangga dan investasi yang baik," tutur Mahendra.

 

Meskipun begitu, dia menilai masih ada perlu dicermati yaitu kecenderungan pelemahan indikator terkini. Hal tersebut seiring dengan perkembangan optimisme konsumen, tren penurunan inflasi inti, dan berlanjutnya penurunan harga komoditas yang telah menekan kinerja eksternal Indonesia.

 

Dinamika perekonomian tersebut mendorong pelemahan pasar keuangan global baik di pasar saham, pasar surat utang, dan pasar nilai tukar. Selain itu juga disertai terjadinya peningkatan volatilitas pasar dan terjadinya outflow dari mayoritas pasar keuangan emerging markets, termasuk pasar keuangan Indonesia. Rahayu Subekti

 
Berita Terpopuler