Warga Marunda Tuntut Pemprov DKI Buka Data Industri Pencemar Udara

Efek pencemaran tidak hanya dirasakan oleh warga Rusunawa Marunda, juga oleh nelayan.

Republika/Fergi Nadira
Puluhan warga Rusunawa Marunda, Jakarta Utara, Selasa (15/8/2023), mengalami sakit kulit dan gatal-gatal diduga imbas dari polusi udara dan debu batubara.
Rep: Fergi Nadira B/Rizky Suryarandika Red: Erik Purnama Putra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Advokasi Lawan Batubara (TALB) menuntut Pemerintah serius menindak pelaku industri di wilayah Marunda. Warga yang tinggal di wilayah Marunda, Jakarta Utara menilai, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI hanya melakukan gimmick dalam menindak dan menangani polusi udara dan batubara di wilayah tersebut.

"Kami prihatin atas apa yang terjadi di Jakarta terkait pencemaran udara dan kami sangat kecewa kepada pemerintah karena pascapenutupan PT KCN, kita sudah menyampaikan kepada Dinas Lingkungan Hidup dan Pelabuhan Marunda untuk mengevaluasi dan mengawasi agar potensi pencemaran dari perusahaan bisa ditanggulangi," ujar Didi Suwandi dari Forum Masyarakat Rusunawa Marunda (FMRM) Didi Suwandi dalam konferensi pers di Jakarta pada Senin (28/8/2023).

Menurut Didi, warga Marunda sudah kerap kali mengeluhkan masalah pernapasan (ISPA) dan gatal-gatal akibat polusi debu batabara. Namun, justru perwakilan pemerintah membantah dan menyebut bahwa penyakit tersebut terjadi karena hawa panas. "Sayangnya, pengawasan yang kami minta tidak dijalankan," kata Didi.

Dia mengungkapkan, efek pencemaran tidak hanya dirasakan oleh warga Rusunawa Marunda yang memang dekat dengan lokasi stockpile batubara dan Kawasan Berikat Nusantara, namun juga oleh nelayan. "Nelayan merasakan bahwa pencemaran itu juga terjadi di laut, sehingga daya tangkap mereka menjadi semakin jauh jaraknya," kata Didi.

Jihan Fauziah Hamdi dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai pencemaran udara yang terjadi di Marunda dan bahkan di seluruh DKI Jakarta saat ini, bisa terjadi karena lemahnya fungsi pengawasan pemerintah. Selain itu, pemerintah juga lemah terhadap penegakan hukum kepada perusahaan.

"Kasus pencemaran udara yang terjadi di Marunda, dan saat ini bahkan ramai dibahas bahwa Jakarta sebagai kota yang berpolusi itu bukan karena warganya diam saja. Masyarakat justru aktif meminta pertanggungjawaban dan masalah yang ada sekarang bukan hanya masalah satu perusahaan saja, tapi tidak adanya keterbukaan informasi dari pemerintah," kata Jihan.

Baca Juga

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DKI Jakarta juga turut buka suara. Pengurus Walhi DKI Syahroni Fadhil menilai, Pemprov DKI lamban dalam menangani kasus pencemaran batubara di Marunda. Sehingga, hal itu menjadikan warga Jakarta terkena imbasnya.

Padahal, seharusnya pemerintah menerapkan monitoring ketat terhadap perusahaan. "Kami meminta kepada pemerintah dan perusahaan memperbaiki tata kelola lingkungan agar usaha yang dijalankan sesuai dengan regulasi dan peraturan yang berlaku. Pencemaran terjadi karena adanya pembiaran hukum," ujar Syahroni.

Permasalahan struktural Pemprov DKI...

Menurut dia, polusi udara di Marunda maupun DKI Jakarta merupakan permasalahan struktural yang harus diselesaikan secara menyeluruh oleh Pemprov DKI. Kasus di Marunda, kata Syahrono menunjukkan Pemprov DKI hanya menggusur masyarakat dari kawasan Ancol dan memindahkan ke Rusunawa Marunda.

Mereka tidak diberi informasi bahwa di lokasi tersebut merupakan kawasan tercemar. Sementara itu, buruknya penanganan kasus di Marunda menunjukkan bahwa pemerintah tidak memperhatikan ketimpangan sebagai faktor kerentanan.

"Pencemaran udara dan air yang terjadi di Jakarta seharusnya membuat pemerintah berbenah dan penanganannya secara serius. Pencemaran telah mengakibatkan penurunan produktivitas masyarakat dan meningkatkan beban kesehatan," kata Syahroni.

 
Berita Terpopuler