Mengapa Ulama Terima Perubahan Kalimat Sila Pertama Padahal Menegasikan Piagam Jakarta?

Para ulama mengedepankan kepentingan berbangsa dan bernegara.

Republika/Mardiah
Ilustrasi Pancasila. Para ulama mengedepankan kepentingan berbangsa dan bernegara
Rep: Muhyiddin Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Setiap 18 Agustus, masyarakat Indonesia selalu memperingati Hari Konstitusi. Karena, pada tanggal inilah UUD 1945 disahkan melalui sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang digelar pada 18 Agustus 1945.

Baca Juga

Pada hari ini pula ada perubahan kalimat sila pertama yang telah dirumuskan dalam Piagam Jakarta atau Jakarta Charter. Awalnya, sila pertama itu berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Kemudian, diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Padahal, di PPKI saat itu ada perwakilan-perwakilan kalangan Islam, seperti A Wahid Hasyim (NU), Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah), dan KH Agus Salim (eks Sarikat Islam). Lalu, mengapa akhirnya mereka legowo menerima Pancasila sebagai falsafah atau dasar negara?

Dalam sejarah dicatat, rumusan Pancasila dalam Piagama Jakarta kala itu sempat memunculkan reaksi dari warga Indonesia timur. Dalam buku Sejarah Pancasila terbitan Cempaka Putih dijelaskan, sesaat sebelum sidang PPKI pada 18 Agustus 1945, salah satu perwakilan warga Indonesia timur, yaitu J Latuharhary menemui Moh Hatta.

Latuharhary kemudian menyampaikan aspirasi warga Indonesia timur bahwa mereka keberatan dengan tujuh kata di belakang kata “ketuhanan”. 

Moh Hatta selanjutnya menemui tokoh Islam di PPKI, yaitu Ki Bagus Hadikusuma. Moh Hatta mengusulkan agar tujuh kata pada sila pertama tersebut dihapus.

Setelah didiskusikan, akhirnya sila pertama itu menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Rumusan terakhir inilah yang disebutkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai rumusan dasar negara yang sah dan benar. Hal ini ditegaskan juga dalam Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 1968.

Menerima keputusan mengubah rumusan negara dalam Piagam Jakarta itu tentu bukanlah perkara mudah. Namun, karena demi persatuan dan kesatuan negara Indonesia, tujuh kata di belakang kata Ketuhanan itu akhirnya dihilangkan. Dengan demikian, rakyat Indonesia dapat bersatu secara utuh dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Baca juga: Upaya Para Nabi Palsu Membuat Alquran Tandingan, Ada Ayat Gajah dan Bulu

Pakar sejarah Islam, Tiar Anwar Bachtiar menjelaskan, para ulama waktu itu tentu saja merasa kecewa dengan perubahan itu. Karena, pada awalnya para ulama telah sepakat dengan rumusan dasar negara dalam Piagama Jakarta, yang mana sila pertama menyerukan kewajiban menjalankan syariat Islam.

Namun, karena demi kemerdekaan Indonesia, para ulama yang ada di PPKI kala itu akhirnya legowo dengan perubahan kalimat itu.

“Hanya saja, karena lebih mengutamakan kemerdekaan, para ulama ini menganggap bahwa ini nanti bisa dibicarakan kemudian, masalah bagaimana Islam dalam konteks bernegara,” ujar Anwar Bachtiar saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (18/8/2023).

 

Maka, lanjut dia, tak mengherankan jika masalah itu kemudian dibawa lagi ke Majelis Konstituante pada 1956-1959 di parlemen. Perdebatan yang berlangsung keras selama dua tahun itu sangat menarik dan mengandung argumen-argumen yang mendasar tentang dasar Negara.

Saat itu ada tiga kelompok. Pertama, kelompok Islam yang diwakili partai Masyumi , Nahdlatul Ulama (NU), lain-lain menginginkan dasar Negara Islam. 

Kedua, kelompok nasionalis sekuler yang diwakili PNI, PKI dan lain-lain mengajukan Pancasila sebagai Dasar Negara. Ketiga, kelompok Buruh menginginkan ekonomi kerakyatan sebagai dasar Negara.

“Tapi, pada akhirnya tetap Pancasila sebagaimana 18 Agustus yang diterima oleh peserta sidang konstituante, maka pada akhirnya para ulama menerima apa yang sudah terjadi,” ucap Anwar Bachtiar.

Dia menambahkan, para ulama menerima rumusan yang baru itu dengan catatan bahwa Pancasila itu bukan sesuatu yang dibenturkan dengan Islam atau dengan agama, melainkan dasar negara atau falsafah negara yang memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada agama.

“Nah, ini barangkali adalah sikap atau wujud penerimaan ulama terhadap Pancasila,” kata Anwar Bachtiar.

Baca juga: Ketika Berada di Bumi, Apakah Hawa Sudah Berhijab? Ini Penjelasan Pakar

Terkait perubahan sila pertama Pancasila ini, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Abdul Mu’ti mengutip pernyataan mantan menteri agama RI Alamsyah Ratu Perwiranegara bahwa Pancasila adalah hadiah terbesar umat Islam bagi bangsa Indonesia.

“Kebesaran jiwa para tokoh Islam yang menyetujui dihapuskannya frasa ‘Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ memiliki dua makna,” kata Prof Mu’ti.

Pertama, menurut dia, komitmen para tokoh Muslim untuk persatuan Indonesia. Kedua, tidak adanya dikotomi antara Islam dan negara. “Karena itu, umat Islam dan bangsa Indonesia tidak perlu lagi mempersoalkan Islam dan Indonesia serta menghentikan wacana dan usaha mendirikan negara Islam atau negara agama lainnya,” ungkap Sekretaris Umum PP Muhammadiyah ini.  

 
Berita Terpopuler