Peran Besar Laskar Hizbullah dalam Perang Kemerdekaan 

Laskar Hizbullah dilandasi dengan niat jihad fi sabilillah.

arsip nasional.
Peran Besar Laskar Hizbullah dalam Perang Kemerdekaan. Foto: Pejuang bersenjatakan bambu runcing di masa perang kemerdekaan. (Ilustrasi).
Rep: Muhyiddin Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sbagai laskar kesatuan perjuangan semi militer umat Islam yang dilandasi dengan niat jihad fi sabilillah, Laskar Hizbullah juga memiliki semangat kebangsaan dan perannya cukup besar dalam melawan tentara sekutu yang ingin kembali menduduki Indonesia.

Baca Juga

Sejarawan Anhar Gonggong mengatakan, para Tentara Allah yang tergabung dalam Hizbullah memainkan peran yang cukup besar dalam perang kemerdekan, baik dalam merebut maupun mempertahankan kemerdekaan.

"Perannya sangat besar itu. Hizbullah itu dapat dikatakan pada saat itu memberikan kekuatan yang sangat besar untuk menghadapi Belanda. Nah itu yang sering dilupakan orang," ujar Anhar daat dihubungi Republika.co.id, Rabu (16/8/2023). 

Ssbagai panglima besar pertama di Tentara Indonesia, menurut dia, Jenderal Soedirman juga memiliki hubungan dekat dengan tokoh-tokoh Hizbullah. 

"Soedirman itu kan juga Islam. Gak ada yang bisa menyangkal. Soedirman itu adalah tokoh Muhammadiyah dan tentu saja mempunyai arti tertentu dalam posisinya sebagai seorang panglima," ucap Anhar. 

"Jadi hubunganya dengan tokoh-tokoh Hizbullah itu sangat erat, tidak bisa disangkal. itu yg tidak pernah ditampilkan itu," kata Anhar. 

Dia mengatakan, salah satu peran besar Laskar Hizbullah dalam perang kemerdekaan adalah pertempuran 10 November 1945. Saat itu, sekitar seribuan Laskar Hizbullah datang dari berbagai daerah menuju Surabaya untuk mempertahankan kemerdekaan.

"Di dalam 10 November Hizbullah punya peranan tertentu. Dan waktu mempertahankan agresi I dan Agresi II itu Hizbullah sangat besar peranannya. Cuma orang tidak pernah menampilkan. Dan tidak pernah ada yang menyebutkan, padahal perannya besar sekali," jelas Anhar. 

Dalam mekakukan perang gerilya, menurut dia, para Laskar Hizbullah juga memiliki peranan yang tak kalah besar. 

"Perang gerilya itu Hizbullah tidak bisa dilepaskan begitu saja. Hanya, yang selalu ditampilkan seakan-akan hanya perannya daripada TNI. Padahal Hizbullah punya peran penting dalam mempertahankan darerah-daerah di mana mereka berada," kata Anhar. 

 

 

Dengan perannya yang besar itu, tambah dia, Laskar Hizbullah pada perkembangannya akhirnya diajak untuk bergabung dengan TNI. "Karena itu, sebenarnya harus ada semacam penulisan sejarah di mana menampakkan peranan dari macam-macam kekuatan, tidak hanya didominasi oleh kekuatan tertentu," jelas Anhar. 

Sementara itu, dalam buku “Laskar Ulama-Santri dan Resolusi Jihad Garda Depan Menegakkan Indonesia”, Zainul Milal Bizawie menjelaskan, Laskar Hizbullah dan Sabilillah menjadi bukti historis  yang tidak terbantahkan dalam membela Republik Indonesia.

Namun, setelah pasukan Belanda semakin banyak yang masuk ke Indonesia, pemerintah Republik Indonesia mengambil sikap yang lebih militan. Pada 1 Januari 1946, Kementerian Keamanan diganti namanya menjadi Kementerian Pertahanan dengan mendapatkan tanggung jawab yang luas.

Pada saat bersamaan, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) juga diubah namanya menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Namun, ternyata nama ini belum final. Pada 24 Januari 1946, nama itu diganti lagi menjadi Tentara Republika Indonesia (TRI).

Bulan berikutnya, Kementerian Pertahanan kemudian membentuk Panitia Besar Penyelenggaraan Organisasi Tentara yang bertugas untuk menyusun tentang hal-hal yang berkaitan dengan urusan pertahanan, organisasi tentara, peralihan dari TKR menjadi TRI, dan kedudukan laskar-laskar perjuangan.

Kendati demikian, dalam internal Hizbullah sempat muncul penolakan terhadap upaya penggabungan ketika kesatuan reguler masih bernama TRI. Sikap ini ditunjukkan oleh kesatuan Hizbullah yang bergabung dalam Hizbullah Sunan Ampel di bawah pimpinan Mayor Mansur Solichy. Ia khawatir dengan penggabungan itu, maka Hizbullah nantinya akan diperlakukan seperti anak tiri.

Namun, pada 5 Mei 1947 akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan penetapan tentang penyatuan TRI dengan badan dan laskar perjuangan menjadi satu organisasi tentara. Pada 3 Juni 1947, Soekarno kemudian meresmikan penyatuan TRI dengan laskar-laskar perjuangan menjadi satu wadah tentara nasional dengan nama Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dipimpin Jenderal Sudirman.

Dalam ketetapan itu juga menyatakan bahwa semua angkatan perang dan satuan laskar yang menjelma menjadi TNI diwajibkan untuk taat dan tunduk kepada segala perintah dari instruksi yang dikeluarkan oleh pucuk pimpinan TNI.

Setelah TKR diubah menjadi TNI, maka sikap Hizbullah Sunan Ampel pun melunak. Hizbullah akhirnya lebih memilih mengikuti langkah pemerintah dan pimpinan TNI dengan berbagai pertimbangan, diantaranya karena keterbatasan persenjataan yang dimiliki.

Sebagai tindak lanjut, pada 15 Juni 1947 seluruh jajaran pimpinan pusat Hizbullah mengadakan Konferensi Hizbullah se-Jawa dan Madura di Yogyakarta. Hasil konferensi didapatkan keputusan aklamasi bahwa Hizbullah bergabung ke dalam TNI. Akhirnya, kesatuan-kesatuan Hizbullah dalam TNI melebur ke dalam kesatuan setingkat brigade, resimen, batalyon, dan seksi pasukan dalam organisasi TNI.

Namun, berdasarkan keterangan KH Saifuddin Zuhri, perundingan tingkat tinggi antara pimpinan kelaskaran dengan pihak pemerintah dicapai satu keputusan bahwa tidak semua anggota kelaskaran dilebur dalam TNI. Pemerintah menetapkan bahwa Hizbullah hanya mendapat satu batalyon dalam satu divisinya.

KH Wahib Wahab akhirnya menyerahkan Batalyon Munasir menjadi TNI dan Munasir menjadi komandan dengan pangkat Mayor. Sedangkan devisi yang dipimpin KH Saifuddin Zuhri menyerahkan Batalyon Suroso menjadi TNI dan Suroso sebagai komandannya. Begitu juga dengan devisi-devisi Hizbullag di beberapa daerah.

Keputusan yang diambil oleh kesatuan Hizbullah itu untuk membantu TNI memperkuat barisan pertahanan. Mereka bertekad untuk menjaga kemerdekaan Indonesia tanpa harus bersikukuh mempertahankan eksistensi laskar.

Ketika Hizbullah dilebur ke dalam TNI, Panglima Hizbullah KH Zainul Arifin diangkat sebagai sekretaris pada pucuk pimpinan TNI atau semacam Sekretaris Jenderal Pertahanan Keamanan sekarang. Kiai Zainul Arifin sempat kecewa dan prihatin dengan banyaknya anggota Hizbullah dan Sabilillah yang tidak lulus untuk masuk TNI.

 

Namun, bagi kiai dan santri, perjuangan untuk meraih kemerdekaan itu semata-mata hanya karena Allah. Karena itu, meskipun saat itu banyak santri dan kiai yang tidak diterima masuk TNI, mereka tetap menerimanya dengan ikhlas dan kembali ke pesantren untuk memberikan pendidikan agama kepada generasi muda. 

 

 

 
Berita Terpopuler