Prof Jimly Asshiddiqie Usul Wakil Presiden Dipilih MPR

Ketua Dewan Penasihat ICMI, Jimly Asshiddiqie usul presidential threshold dihapus.

Republika/Putra M. Akbar
Ketua Dewan Penasihat ICMI, Prof Jimly Asshiddiqie.
Rep: Wahyu Suryana Red: Erik Purnama Putra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Penasihat ICMI, Prof Jimly Asshiddiqie, memberi usulan agar pemilihan presiden (pilpres) dipisahkan dari pemilihan wakil presiden (pilwapres). Dia mengusulkan, wakil presiden (wapres) dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI.

"Pemilihan presiden langsung oleh rakyat tetap, tapi wapres tidak usah dipilih rakyat, sehingga semua partai bisa mencalonkan," kata Jimly dalam webinar yang digelar Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) di Jakarta, Jumat (11/8/2023).

Dia menerangkan, wapres bisa dipilih MPR dari calon yang diajukan presiden. Tujuannya agar wapres menjadi hasil dukungan mayoritas di MPR oleh partai yang sedang mempersiapkan diri dalam pemerintahan.

Nantinya, mereka akan memberikan dukungan mayoritas kepada cawapres, dan cawapres diajukan presiden terpilih. Tidak seperti Rusia atau Prancis, sambung dia, wapres tetap jadi wakil kepala pemerintahan dan wakil kepala negara. "Gunanya, orang yang diajukan orangnya presiden, bisa lebih kompak," ujar Jimly.

Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu  mengingatkan, pemerintah bisa belajar dari pelaksanaan pilkada. Yang mana, kekompakan gubernur, bupati, wali kota dan wakil mereka paling lama hanya bertahan satu tahun. Setelah itu mulai bermunculan masalah pecah kongsi gara-gara koalisi.

Maka itu, ia mengusulkan agar wapres dapat dipilih MPR agar keberadaan wapres semakin penting. Pekerjaannya tidak cuma simbolis dan cuma gunting pita. Jimly merasa, semua bisa dilakukan tanpa merubah sistem ke parlementer.

Dia mengingatkan, pada 1999 ada lima kesepakatan yang salah satunya memperkuat sistem presidensial. Karena itu, Jimly mengusulkan wapres dipilih MPR agar kasak-kusuk seperti hari ini tidak lagi terjadi.

"Ini salah satu cara kita untuk menawarkan solusi dari tontonan yang tidak sehat yang sekarang ini," kata Jimly.

Baca Juga

Evaluasi presidential threshold...

Dinamika poros menuju Pilpres 2024 masih dinamis walau satu bulan lagi pendaftaran dimulai. Ketua Dewan Penasihat ICMI, Prof Jimly Asshiddiqie menilai, presidential threshold menjadi biang keladinya.

Dia mengajak masyarakat memikirkan evaluasi sekaligus menawarkan satu reformasi kebijakan. Pasalnya, dinamika politik yang ditonton hari ini jelas tontonan kurang sehat, semua pragmatis dan transaksional.

Semua saling kasak-kusuk, saling intip, sehingga capres-cawapres tidak sejati dan cuma akan melahirkan pemimpin yang koalisinya tidak langgeng. Jimly merasa, jika dibiarkan akan membuat semua berlomba nikmati kekuasaan.

"Tidak bisa kita bayangkan untuk transformasi jangka panjang," kata Jimly di Jakarta, Jumat. Dia memandang, dinamika hari ini menunjukkan kelembagaan politik pemerintahan yang belum final, sehingga harus terus dievaluasi dan direvisi sambil memperkuat.

Termasuk, sistem yang dirumuskan dalam konstitusi lewat peraturan perundangan.
Salah satu yang Jimly tawarkan, yaitu penghapusan presidential threshold. Da menilai, ambang batas seperti itu boleh saja diterapkan untuk partai demi konsolidasi, tapi tidak untuk pilpres dan saatnya untuk dievaluasi.

"Presidential threshold sudah tepat dievaluasi, apa benar ini berguna untuk kemajuan bangsa, untuk peradaban demokrasi, mungkin lebih baik ditiadakan saja, dari pengalaman rumitnya koalisi ini," ujar Jimly.

Andai ditiadakan, ia menekankan, semua partai pemilu diberi hak saja untuk mengajukan calon, sesuai konstitusi. Pada dasarnya, dalam sistem multi partai harus tercermin dalam kelembagaan partai multipartai "Tapi, tidak usah kita halangi jumlah capres harus dua, harus tiga, itu gara-gara presidential threshold," kata Jimly.

Jimly sempat diundang sebagai pemantau internasional di Rusia saat Vladimir Putin terpilih sebagai presiden Rusia. Saat itu, ada 34 pendaftar presiden dan usai diseleksi tersisa delapan calon presiden.

Kala pemilihan, Putin menang dengan raihan 76 persen karena memang sangat populer. Melihat dari pengalaman Rusia tersebut, ia menekankan, siapa saja kalau rakyat menghendaki menang memang pasti menjadi presiden. "Tapi, tidak perlu menghalangi tujuh capres lainnya," ujar Jimly.

 

 
Berita Terpopuler