Apakah Semua Orang Zina Dirajam? Ini Ragam Hukumnya

Hukuman bagi orang-orang yang berzina relatif sesuai dengan perbedaan penggolongan.

EPA/ HOTLI SIMANJUNTAK
Seorang perempuan Aceh menerima hukuman cambuk hingga 25 cambukan karena melanggar hukum Syariah di Banda Aceh, Indonesia, (7/6/2023). Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang menegakkan hukum Syariah, hubungan lesbian, gay, biseksual, dan seks di luar perkawinan sebagai pelanggaran hukum syariah. EPA-EFE/HOTLI SIMANJUNTAK
Rep: Imas Damayanti Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berzina dalam Islam tentunya merupakan dosa. Jangankan untuk melakukannya, seorang Muslim bahkan diperintahkan menjauhi perbuatan zina.

Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid menjelaskan bahwa hukum melakukan perbuatan zina tidak seluruhnya dirajam. Sebab terdapat ragam hukum dari zina itu sendiri.

Hukuman bagi orang-orang yang berzina itu relatif, sesuai dengan perbedaan penggolongan mereka yang terbagi menjadi empat golongan. Yakni yang berstatus muhshan baik sudah tidak berkeluarga (janda atau duda) maupun yang masih berkeluarga (suami atau istri), yang berstatus bujang atau gadis, dan yang berstatus budak maupun merdeka.

Sementara, hukuman hadd dalam syariat Islam itu ada tiga jenis, yakni hukuman rajam, hukuman dera, dan hukuman pengasingan atau penjara.

Adapun tentang orang berzina yang berstatus muhshan, merdeka, dan sudah menikah, kaum Muslimin sepakat hukumannya terhadap itu adalah dirajam. Kecuali pendapat segolongan orang yang hanya mengikuti kemauannya sendiri yang menyatakan hukuman terhadap setiap orang yang berzina ialah didera.

Menurut mayoritas ulama, hukuman rajam dijatuhkan padanya karena berdasarkan beberapa hadits yang menerangkan hal itu. Jadi, mereka merinci ayat Alquran dengan hadits.

Yang dimaksud ialah firman Allah SWT dalam Alquran Surat An Nur ayat 2, "Azzaniyatu wazzani." Yang artinya, "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina."

Kemudian, mereka berselisih pendapat tentang dua hal...

Baca Juga

Kemudian, mereka berselisih pendapat tentang dua hal. Pertama, tentang apakah selain hukuman rajam juga dikenakan hukuman dera atau tidak. Kedua, tentang syarat-syarat status muhshan.

Para ulama berselisih pendapat tentang orang yang harus dihukum rajam, apakah sebelumnya ia harus didera terlebih dahulu, baru kemudian dihukum rajam pada hari berikutnya atau tidak.

Menurut mayoritas ulama, orang yang harus dihukum rajam itu tidak didera. Sedangkan menurut Al Hasan Bashri, Ishaq, Imam Ahmad, dan Imam Dawud, jika berstatus muhshan ia dedera dahulu kemudian dirajam.

Para ulama ini berijtihad berdasarkan pada sebuah hadits, "Sesungguhnya Rasulullah SAW menghukum rajam Ma'iz dan juga menghukum rajam seorang wanita dari suku Juhainah. Beliau juga menghukum rajam dua orang Yahudi dan seorang wanita dari keluarga besar Amir Al Azd."

Hadits-hadits ini ditakhrif dalam kitab-kitab shahih. Dan mereka melihat tidak ada satu pun di antara orang-orang yang berzina tersebut yang didera oleh Rasulullah.

Sebab dari segi pengertian, hukuman yang kecil itu sudah tercakup ke dalam pemberlakuan hukuman yang besar. Karena tujuan utama pemberlakuan hukuman hadd adalah untuk memberikan efek jera agar ke depan perbuatan tersebut tidak dilakukan lagi. Sehingga hukuman dera yang diberlakukan bersamaan dengan hukuman rajam tidak ada pengaruhnya sama sekali.

 
Berita Terpopuler